24.1.10

Memahami Komunisme Bersama Gus Dur

Eksistensi komunisme atau marxisme-leninisme di Indonesia dan dunia merupakan kenyataan sejarah. Gus Dur persis mengamini komunisme sebagai paham yang harus dilihat secara utuh. Tidak boleh bopeng atau sepintas politis dan formal saja. Melalui artikel yang ditulisnya pada tahun 1982; “Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme”, Gus Dur mengajak khalayak pembacanya mengkaji lebih rinci hubungan Islam dan Komunisme.


Dilihat dari konteks geo-politik dan sosio-politik Indonesia saat itu, artikel ini mengajak umat Islam untuk mengerti dan memahami komunisme dengan jernih dan obyektif. Secara umum, Gus Dur membaca hubungan diametral-konfrontatif Islam vis a vis komunisme. Kemudian menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan keberhadapan tersebut. Baik secara politis maupun ideologis. Pada akhirnya, Gus Dur melihat adanya titik-titik persamaan -bukan titik sambung- keduanya dalam aneka dimensi.

Pertentangan komunisme dan Islam

Islam dan komunisme linea recta bertentangan dalam banyak hal. Marxisme-leninisme menganggap agama sebagai opium (candu) yang hanya akan membuat rakyat mabuk dan alpa akan perjuangan strukturalnya merebut alat-produksi dari tangan kaum kapitalis. Meskipun Islam mengandung semangat antikapitalisme. Bagi paham ini, Islam hanyalah kontradiksi internal dalam tubuh kapitalisme yang terus-menerus mengevaluasi dirinya. Doktrin ini merupakan dialektika ekstrem filsafat marxisme yang menyandarkan diri pada materialisme belaka.

Sementara Islam, betapapun praktisnya secara duniawi, masih berdasar pada spiritualisme yang sulit dibuktikan secara empiris, apalagi dengan pisau analisa materialisme Marx. Nalar yang berseberangan ini pada gilirannya membenturkan keduanya dalam fungsi kemasyarakatan. Landasan komunisme yang rasional melulu, tentu sulit bertemu dengan ajaran-jaran Islam yang berasal dari wahyu-wahyu. walaupun Islam memiliki cakrawala rasional dan pragmatisnya sendiri dalam mengatur kehidupan masyarakat.

Maka tidak heran bila para budayawan, pemikir, dan ideolog serta forum-forum formal Islam mengidentifikasi komunisme sebagai “ideologi lawan” yang musti tuntas ditolak. Salah satu bentuk penolakan ini adalah dengan memposisikan Islam di antara kapitalisme dan komunisme. Islam dipahami sebagai jalan tengah dan yang terbaik.

Persinggungan dan perselingkuhan

Namun anehnya, komunisme justeru mampu tumbuh subur di lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia. Dan lebih menarik lagi, ada upaya berkesinambunganan dalam meramu ajaran islam dengan paham komunisme. Gus Dur pun mengungkap kesamaan orientasi keduanya. Komunisme bersumber pada kolektivisme dan masyarakat Islam pertama di Madinah memiliki tradisi kesederhanaan hirarki. Keduanya sama-sama memiliki semangat egalitarianisme dan populisme yang besar.

Menurut Gus Dur, tinjauan hubungan Islam dan komunisme selama ini seringkali bersifat dangkal. Sehingga gagal memahami pemisahan sikap Islam yang dirumuskan secara resmi dan “sikap Islam” yang hidup dalam praktik. Menggunakan pendekatan vocabularies of motives-nya Bryan Turner dalam buku terkenal Weber and Islam (1974:142) Gus Dur kemudian mengulas prilaku kaum muslim dalam menyikapi komunisme.

Gus Dur dengan fasih mengetengahkan bagaimana paham komunisme yang secara formal dilarang di Libya. Namun doktrin politik Khadafi diliputi banyak unsur komunisme. Secara faktual, terdapat “kelompok pelopor revolusi” dan “dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) yang diadopsi dari konsep-konsep komunisme.

Dengan perspektif ini, Gus Dur juga menyodorkan praktik perselingkuhan Islam dan komunisme yang berbeda-beda. Mulai dari Khadafi dan Masoud Rajavi yang menolak komunisme secara prinsipiil tapi menggunakan analisis perjuangan kelas. Jamal Abdul Nasser di Mesir yang menolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis selama tidak melakukan aktivitas subversif. Sikap ini diikuti rezim sosialis Ba’ath di Irak dan Syiria. Sampai perbedaan ideologis yang dijembatani kesamaan orientasi dalam kasus Partai Tudeh di Iran. Padahal gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga marxis-leninis di negara tersebut terus-menerus diburu rezim revolusi Islam.

Gus Dur menegaskan bahwa memahami hubungan Islam dan komunisme, tidak dapat begitu saja dilakukan generalisasi. Butuh banyak kacamata agar sampai pada kesimpulan yang tidak keliru. Gus Dur bahkan berani meramalkan bahwa akan muncul varian lain dari pola hubungan keduanya. Salah satu proyeksinya adalah hasil akhir ideologis dari upaya intelektual dalam meramu keduanya. Karena Gus Dur melihat prospek kajian serius yang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, serta berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme sehingga membawa membawa angin segar berupa apresiasi lebih terhadap wawasan keagamaan.

Konteks Indonesia

Sementara di Indonesia, bagi Gus Dur; penolakan terhadap Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR hanya mampu dijelaskan dengan kenyataan bahwa kaum muslimin telah dua kali dikhianati kaum komunis pada tahun 1949 dan 1965. Kesimpulannya, penolakan demikian lebih berwatak politis daripada ideologis.

Kenyataan tersebut yang kemudian didramatisasi oleh pemerintah orba. Stigma negatif tentang komunisme yang luas berkembang di masyarakat, dipanaskan dengan kampanye massif pemerintah tentang bahaya laten komunisme. Dan didukung oleh strategi politik AS dalam membendung penyebaran komunisme internasional. 

Gus Dur lalu memperjuangkan gagasannya tidak hanya dengan perumusan-perumusan konseptual. Melainkan juga dengan tindakan-tindakan yang mengambil berbagai risiko politik. Terbukti ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur mengusulkan pencabutaan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme, supaya terwujud rekonsiliasi nasional. Usul ini tak urung melahirkan pro-kontra di masyarakat. Namun Gus Dur tetap bergeming sebagai demokrat sejati demi mempertahankan apa yang diyakininya benar dalam proses demokratisasi di negeri ini.

Percaturan politik dunia pun telah berubah secara drastis. Gus Dur menulis tentang komunisme ketika dunia masih diselimuti nuansa perang dingin, sementara perang dingin telah lama berakhir. Panggung internasional pun pernah secara radikal mengubah musuh baru Barat, dari komunisme menjadi Islam sejak tragedi 11 Sepetember 2001.

Namun satu hal yang pasti, Gus Dur telah begitu berani memahami segala sesuatu secara tuntas.

7 komentar:

  1. tulisan bagus, hanya bgn akhir "...Panggung internasional pun pernah secara radikal mengubah musuh baru Barat, dari komunisme menjadi Islam ..." ini memang bisa diperdebatkan; mungkin sekali ini kesan di zaman Bush, sekalipun sudah dijelasi beberapa kali bahwa Islam bukan sasaran, tetapi memang Al-Qaidah merupakan organisasi dari komunitas Islam, apakah dg begitu Al-Qaidah = Islam?

    BalasHapus
  2. Trima kasih untuk komentarnya.. :-) yaa, bagian itu memang debatable. Tp mksudnya, sama skali bukan menyamakan alQaeda n Islam. Tp lebih pd pmahaman pnulis -saat ini msh kuliah d Hubungan Intrnasional UIN Syahid-, bhwa memang pasca tragedi 9/11, arus utama diplomasi Intrnasional lbh bnyk hirau pd wacana Islam=agama kekerasan, dprtanyakn n dprmaslhkn kompatibilitasnya dg nilai2 demokrasi, HAM n gender. Pd masa ini, tesis huntington ttg bnturan pradaban mnjd sangat populer. Smpai2 Indonesia mnjual citra sbg 'Islam Moderat' d panggung int'l. Kira2 bgitu titik tolaknya, bung.. :-)

    tp skali lg trimakasih.. Pnulis jg akn mmprtimbangkan revisinya, btw.. He3hE

    BalasHapus
  3. mantap...
    keren, teruskan perjuanganmu, kawan...
    terus berkarya...
    :-)

    BalasHapus
  4. mantap...
    keren, teruskan perjuanganmu, kawan...
    terus berkarya...
    :-)

    BalasHapus
  5. tulisan yang menarik tentang gagasan luar biasa seorang guru bangsa,,, terus berkarya...

    BalasHapus
  6. terima kasih untuk komentar2nya kawan2...
    :-)

    BalasHapus
  7. lalu bagaimana masa depan hubungan Islam dan komunisme...? bagaimana dengan masa depan dunia?

    BalasHapus