16.3.11

Mengapa Kita Harus Bicara Timur-Tengah?

Kawasan Timur Tengah terus bergejolak. Satu demi satu diktator tumbang. Terinsiprasi keberhasilan Tunisia dan Mesir, kini Yaman, Bahrain, Oman, Yordania, Aljazair dan Libya sedang menguntit. Revolusi Timur-Tengah bergema di seluruh dunia.


Ketika Mesir mulai bergejolak, media kita, lebih-lebih televisi, ramai-ramai memberitakan besar-besaran. Dua televisi swasta bahkan tergopoh-gopoh menyiarkan breaking news, relay siaran Al-Jazeraa dengan kualitas penerjemah dan komentator yang payah demi mengetahui update perkembangan di sana. Tapi untuk apa? Apa kepentingan kita?

Kita bisa mengerti, bahwa Mesir punya kedekatan khusus dengan Indonesia.  Mengingat Mesir adalah salah-satu negara awal yang mengakui kedaulatan RI. Kita juga maklum, mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam sejak kecil sudah mendengar dan mengimajinasikan sebuah negeri bernama Mesir, karena kisah Nabi Musa berikut sejumlah alim-ulama berlangsung di sana. Kita pun penasaran bagaimana kabar dan nasib TKI, mahasiswa dan WNI yang berada disana. Kita ingin memastikan saudara-saudara kita  dalam keadaan aman dan baik-baik saja.

Tapi selebihnya, banyak media yang lebay dalam memberitakan Revolusi 14 hari Mesir. Sepanjang ingatan saya, selain pembicaraan untuk mengevakuasi WNI, topik bagaimana seharusnya sikap atau politik luar negeri RI sangat miskin –untuk tidak bilang tidak ada-. Obrolan yang kemudian muncul justeru kemungkinan virus revolusi Timur-Tengah sampai ke Jakarta.

Kenyataan seperti ini hanya dapat kita pahami jika mengingat kegemaran media kita, -terlebih televisi- dalam mendramatisisasi peristiwa demi rating tinggi. Tengoklah perbedaan penyajian berita bencana Jepang antara NHK dan TV kita. TV kita begitu lebay dengan musik yang menyayat dan gambar penderitaan yang di-slow motion. Sementara NHK bahkan sama-sekali tidak menampilkan gambar korban, karena bagi mereka, ini adalah bencana bukan drama. Masih segar juga dalam ingatan,  Rabu kemarin (15/3) sebuah stasiun televisi mengulang-ulang tayangan Bom Utan Kayu dan mencuplikkan dengan telanjang video korban yang putus tangan.  Tayangan itu ditampilkan pada jam yang banyak anak-anak sedang menonton. Menyebalkan.

Maka tak heran, bila perkara failed state dan wikileaks dijadikan makanan empuk politik domestik, alih-alih bicara diplomasi internasional. Tak bisakah kita memandang perkembangan dunia dalam kacamata formulasi kebijakan luar negeri? Akan lebih baik dan menarik misalnya, jika kita menjajaki pembicaraan agar pemerintah RI menyerukan dan berperan aktif dalam demokratisasi serta penghargaan nilai-nilai HAM di Timur-Tengah.

Meramaikan Pembicaraan Kebijakan Luar Negeri.
Wacana kebijakan dan politik luar negeri memang masih sepi di ruang publik kita. Kampanye Pemilu Presiden dapat dijadikan tolak ukur penting, dimana isu politik luar negeri sangat sedikit disinggung –lagi-lagi untuk tidak bilang tida ada-. Setiap kejadian besar dunia ujung-ujungnya seringkali hanya untuk diambil ‘hikmah’ dan ‘pelajarannya’, bukan bagaimana sebaiknya sikap kita?

Sementara di Amerika sana, peristiwa-peristiwa besar, termasuk rentetan revolusi Arab dibicarakan di banyak media untuk menganalisa dampaknya dan meramaikan diskusi bagaimana kebijakan luar negeri yang mesti diambil Obama. Mereka tidak bicara seperti mengomentari sinetron atau telenovela.

Selama ini, isu politik luar negeri yang memperkaya diskusi masyarakat kita hanya isu-isu yang berhubungan langsung  dengan Indonesia. Misalnya, Sengketa RI-Malaysia, dan kunjungan Presiden SBY ke Belanda yang dibatalkan lantaran kedatangannya disambut tuntutan penangkapan oleh RMS. Isu-isu yang berhubungan langsung tersebut, pasti akan dibesarkan oleh media. Dan tentunya, dalam isu-isu itu selalu dibicarakan kepentingan nasional, harga diri bangsa dan lain-lain.

Lalu kenapa kita tidak bicara kepentingan nasional dan peran aktif Indonesia dalam menyikapi revolusi di Timur-Tengah? Semoga bukan soal rating rendah dan kurang dramatis.

3 komentar: