22.12.12

Fata Tetaplah Fata

Hari ini, 22 Desember 2012, Fata Mustofa resmi melepas masa lajangnya. Untung kiamat tak jadi jatuh di hari terakhir kalender suku Maya seperti yang ramai digembar-gemborkan. Jika sampai kiamat kejadian kemarin, alangkah sedihnya kawan ini. Segala persiapan untuk hari bahagianya akan sirna belaka.


Fata beruntung, kiamat belum datang dan akhirnya duduk di pelaminan. Lebih beruntung lagi, sampai tua pun Fata tetap akan dipanggil Fata, PEMUDA. Menikah, tidak akan menghapuskan namanya sebagai pemuda. Sebagaimana orang-orang yang bernama Young, Joko atau Jaka. Nama Fata Mustofa tidak perlu diganti menjadi Syaikh Mustofa, Ashley Young tak usah jadi Ashley Old dan meski sudah tua, nama Menko Polhukam masih Djoko Suyanto, bukan Tuo Suyanto.


Ada yang bilang, kehidupan seorang lelaki berhenti saat menikah. Ada juga yang menyatakan, seorang lelaki baru sempurna hidupnya setelah menikah dan punya keturunan. Keduanya barangkali benar dalam rasa yang berbeda.

Hidup Fata yang berhenti adalah hidup yang isinya cuma suka-suka. Karena telah menjadi suami, Fata punya tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anak-anaknya kelak. Tentu kami, teman-temannya, tak bisa lagi  terus-menerus menyita waktunya untuk hal-hal yang tidak perlu dan senang-senang belaka. Masa-masa bujangnya bersama kami yang gila-gilaan tak bisa lagi diulangi. Meski kenangan itu akan selalu hidup dan menyegarkan bila dipercakapkan.

Dulu, kami pernah begitu bergembira bermain sepakbola di halaman Nusa Damai, kamar kami di Pondok Pabelan waktu Kelas Enam. Hampir setiap sore, kami bermain sepakbola tak karuan, saling terjang, terkam, menggulingkan dan tertawa lepas di bawah guyuran hujan seperti kanak-kanak. Kami berguling-gulingan di  tanah becek, tak peduli adik kelas yang senyam-senyum melihat tingkah-polah kami. Sandi, Alif, Amri, Dadan, Danang, Fadilah, Ruli, Zainal dan lain-lain pasti akan selalu terkenang.

Hampir setiap malam kami habiskan waktu dengan bernyanyi dan bermain kartu. Bahkan menjelang Ujian Nasional, kami tidak terlalu ambil pusing, kami lalui dengan lapang dada. Kadang-kadang dengan beberapa kegilaan khas kenakalan remaja.

Pernah suatu malam kami beroperasi di kebun singkong milik warga di belakang SDN Pabelan. Sebagai maling, harusnya kami mengendap-endap dan sebisa mungkin tidak berisik. Tapi dasar maling kacangan, selalu ada saja yang memulai keributan. Mulai aroma khusus tanda-tanda kehadiran hantu hingga aroma umum yang keluar dari tubuh manusia.

Operasi ini, akan selalu saya ingat  karena satu-satunya penerang yang kami gunakan adalah telepon genggam milik Fata. Kebun itu gelap gulita, cahaya kehijauan dari handphone sony ericsson entah-seri-apa miliknya menerangi jalan kami, seperti ajaran para nabi menerangi jalan umat manusia. Bayangkanlah, Fata malam itu berpakain seperti parlente, memegang handphone yang pada zaman itu sangat mewah, memimpin operasi pencurian singkong! Kurang ajar betul.

Ya, hidup yang seperti itu terhenti saat Fata memutuskan menikah. Kami tak bisa lagi menghabiskan liburan seenak-jidat bersama-sama. Dan di lain pihak, kehidupannya lebih dahulu lengkap dibanding kami yang masih lajang. Fata lebih dulu memasuki fase hidup yang membahagiakan dan menenangkan: beristri, berumah-tangga dan membangun rumah sendiri.

*********
Oktober 2009, Pantai Depok, Yogyakarta.
Berdiri: Fata, Adiknya Danil, Ujo, Bana, Kajol, Tira.
Duduk:  Bende, Alif, Danil, Amri. Melata: Arif.
Saya lupa kapan, dimana dan bagaimana pertama kali berkenalan dengan Fata. Yang saya ingat, pemuda berambut ikal berkaca-mata itu kerap terlihat mengenakan jersey Juventus di masa-masa awalnya mondok di Pabelan. Sekilas ia seperti pendiam yang muram.

Tapi Fata ternyata bukan pendiam. Ia penggembira, suka ngobrol ngalor-ngidul. Tentu saja dengan orang-orang yang telah cukup dekat dengannya. Kepada asing, ia tampak seperti orang yang dingin.

Fata orangnya berkemauan keras. Di antara teman-teman kami, ia adalah peneladan utama satu sifat setan. Kata Guru kami, Pak Najib, ada satu (dan satu-satunya) sifat setan yang harus dituruti: pantang menyerah. Dari zaman Adam hingga akhir zaman, setan tak pernah lelah menggoda umat manusia. Sifat setan itu seperti telah menyatu dalam diri Fata. Sekali punya keinginan, tak akan pernah menyerah ia untuk mewujudkan. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Itulah Fata.

Pernah suatu ketika, saya memberinya tantangan catur; mematikan raja dalam tiga langkah. Ia lalu menekuri papan catur demikian keras. Setelah satu jam, saya tanyakan apakah dia menyerah, dia bilang tidak. Kunci tiga langkah yang saya tawarkan dimentahkannya. Ia berkeras memikirkan dan memecahkan sendiri teka-teki itu.

Malas menungguinya, saya pergi untuk kegiatan lain. Setelah 3 jam, saya kembali menghampirinya yang masih berkutat pada tantangan yang sama. Raut mukanya menunjukkan keteguhan luar biasa yang hanya bisa dilenturkan sebatang rokok dan seplastik es teh yang saya bawa. Demikianlah, setelah beberapa jam lagi, tawanya berderai lantaran puas memecah misteri tanpa kunci jawaban.

Bukannya sombong, sebelum lulus pondok, kemampuan bergitar saya jauh lebih jago dibanding Fata. Kala itu, Fata hanya seorang drummer. Perkara menggebug drum, saya angkat stik untuknya. Kami pernah menjuarai salah-satu festival band bergengsi antar-SMA di Magelang, dan kontribusi permainan drum Fata tidak bisa diragukan dalam kemenangan itu.

Ealah, setahun setelah lulus, kemampuan penjariannya meningkat pesat. Saya hanya bisa bengong menyaksikannya telah begitu lancar memainkan melodi-melodi cepat bin sulit.

Medio 2006, Saya dan Fata mengikuti audisi Indonesian Idol di Jogja Expo Center. Iseng-iseng berhadiah saja. Pagi-pagi ia menjemput saya di Pabelan. Ketika itu saya masih praktik mengajar, uang di kantong pas-pasan. Fata dengan sigap menanggung semuanya. Urunan ditolaknya. Bahkan dengan sabar dia mau memutar balik, setelah setengah perjalanan baru sadar KTP saya tertinggal. Kawan memang seringkali merepotkan dan tak tahu diri.

Alih-alih serius mengikuti audisi, kami justru sibuk mengomentari ramainya orang-orang yang membeli mimpi. Kelakuan mereka yang ikut audisi banyak yang seperti Danil, karib kami asal Pontianak.

Pasca audisi itu, Fata sungguh-sungguh mendalami musik. Selama kuliah hukum di Universitas Islam Indonesia, rasanya dia lebih banyak bergaul dengan gitar daripada tugas makalah. Lebih banyak menjamah studio dan panggung daripada kelas Prof. Mahfudh MD. Tidak ada instrumen dalam band yang tidak dikuasainya. Perlahan tapi pasti, lagu-lagu bagus diciptakannya. Bersama beberapa teman, ia memotori Relief Band. Ia tidak main-main untuk menjadi musisi. Begitulah bila Fata telah berkehendak.

Selain bermusik, saya melihat dari jauh Fata mulai merintis berbagai usaha sendiri, menghasilkan banyak uang yang belum tentu bisa dihasilkan sebayanya. Sebuah persiapan yang baik untuk masa depan yang lebih baik.

Firasat saya mengatakan, semua yang dilakukan Fata selama ini demi keinginannya bersanding dengan Ita, gadis cantik yang begitu dicintainya. Semua yang dilakukannya, adalah upaya untuk membahagiakan sang pujaan hati dan mempersiapkan segalanya untuk sang buah hati, nanti.

Selamat menempuh hidup baru, Ta! Jangan bulan madu ke Lombok, ada Amri dan Danil, bahaya.

3 komentar:

  1. menarik, keren dan lucu sebagaimana anda menuturkannya sampai penuh rasa.

    meski gak kenal, tetap berkeras untuk mengatakan:
    "Selamat menempuh hidup baru untuk bang Fata dan ka Ita.." hehe (",)v

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe :D
      kak maw pengen segera nyusul ya?

      Hapus
  2. tulis yang lebih banyak lagi tentang teman2 pabelan bro..

    BalasHapus