21.3.14

Pria Punya Selera yang Susunya Susu Bendera

Di kantin Perpustakaan Universitas Indonesia, Faisal Kamandobat mengungkapkan keinginan terdalamnya sebagai penyair; puisinya dibaca atau dinyanyikan orang setiap hari layaknya puja-puji untuk nabi dan doa-doa yang dihayati para pemeluk agama yang teguh.


“Aku kan paling-paling baca puisiku sendiri di panggung, terus dikasih tepuk tangan, yang tepuk tangan itu temen-temenku sendiri, habis acara mereka udah gak inget puisiku. Atau koran Minggu, tapi apalah artinya koran Minggu selain honor?” katanya.

Diskusi itu sebenarnya tentang Pujangga Baru. Majalah Surah berniat menerbitkan ulang polemik kebudayaan yang banyak digeluti oleh para punggawa Poejangga Baru. Gagasan awalnya dari kritikus sastra sekaligus Dewan Redaksi Surah, Maman S Mahayana, dalam rangka memperingati dasawindu Poejangga Baroe dan sebagai upaya menyelami bagaimana akar kebudayaan Indonesia dibentuk agar dapat memahami keadaan masa kini.

“Karena dasar-dasar yang diletakkan Poejangga Baru itulah, kesusastraan modern Indonesia bekerja melalui negara, hanya lewat lembaga-lembaga pendidikan formal yang semakin lama semakin berjarak masyarakatnya. Akibatnya, karya sastra tidak benar-benar dihayati, puisi Chairil Anwar hanya jadi hafalan di Sekolah Dasar. Tidak mendarah-daging dalam derap langkah manusia sehari-hari,” tambah Kamandobat.

Mahayana mengangguk pelan, matanya menerawang. Zakky Zulhazmi mengangguk-angguk sambil saling memandang dengan Ubay Prh. Abdullah Alawi mengangguk serius. Abi Setio Nugroho menghisap rokoknya dalam-dalam, matanya menyipit dan keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius.

“Sebentar. Sebentar,” sela Kamandobat.

“Ada puisi lewat.”

Seorang mahasiswi dengan blus putih dan rok tribal selutut melintas. Parasnya putih mulus, peralatan kecantikan modern bekerja dengan baik di sana, kaki jenjangnya pun tanpa cacat dipercantik sepatu hak tinggi sehingga bentuk betisnya terlihat kencang meski kesan lembutnya tetep menempel. Hidung mancung. Menenteng tas dan berjalan dengan irama terjaga, anggun. Bentuk tubuhnya seperti rata-rata model pakaian dalam. Saya menoleh, Nugroho dan Zulhazmi nyengir.

“Itu baru puisi. Berdarah-daging,” ucap Kamandobat, tertawa.

Obrolan dilanjutkan ngalor ngidul. Di kejauhan, saya melihat tiga mahasiswi keluar dari Books & Beyond bercengkerama riang-gembira. Tidak seperti mahasiswi sebelumnya, mereka terlihat tanpa polesan memadai, tidak mengenal perawatan kulit yang mahal kecuali sabun cuci muka dan krim yang diiklankan di televisi. Bukan selera kebanyakan pria. Mereka semakin mendekat ke tempat kami ngobrol.

“Sebentar, sebentar,” giliran saya yang menyela.

“Ada tiga puisi esai mau lewat.”

“Hahahaha.. Ada catatan kakinya gitu,” timpal Nugroho.

***

7 Maret 2014 pagi, belum tidur semalaman, saya membangunkan Alawi dan Nugroho. Rencana kami hari ini membuat kepala saya bekerja demikian kerasnya, demikian antusiasnya sampai-sampai tidur tak lagi menggoda. Setelah keduanya bangun lalu mandi bergantian, kami meluncur bersama ke Bintaro Plaza. Bazar Buku Murah Gramedia menanti kami dengan stok-stok baru yang menggiurkan.

Pukul setengah sebelas, di tengah lautan buku, Alawi terlihat gelisah. “Bung, Ayo, udahan yuk. Pak Djoko udah nungggu kita nih,” katanya.

Tapi perkiraan saya bukan perkara Pak Djoko benar yang merisaukan Alawi, tapi buku yang telah diangkatnya di tas belanja sudah terlalu banyak. Kantongnya tentu akan kempis dalam tiga pekan ke depan. Perburuan harus segera diakhiri kalau tak ingin dompetnya kosong melompong.

Sesampainya di rumah Djokolelono, Pak Djoko yang dimaksud Alawi, saya baru sadar telepon genggam saya tak ada di tempatnya yang biasa, di kantong. Saya periksa di tas, juga nihil. Ada beberapa orang yang harus saya hubungi saat itu, saya mulai panik. Nugroho pun kelihatan khawatir, “coba periksa lagi,” katanya. Saya periksa lagi di semua sudut yang mungkin secara seksama dan konsekuen. Alawi dengan wajah yang ikut gelisah bilang, “ketinggalan di tempat makan tadi kali.”

Tanpa diinstruksi, Nugroho langsung memanggil nomor saya. Nyambung tapi tidak diangkat. Lalu dengan ringan dan tanpa beban si tuan rumah berkata, “gimana? Mau pakai hape saya?” saya setengah kesal dibuatnya. Di tengah keadaan yang bagi saya saat itu sangat rumit dan memusingkan, bisa-bisanya ada orang yang seolah tak punya empati. “Lha ya gimana? Jangan bingung, toh?” lanjutnya. Duh! Saya segera mengambil langkah cepat, menghidupkan sepeda motor untuk menjemput kemungkinan hape itu tertinggal di tempat makan.

Tuan rumah, adalah orang yang sangat kami kagumi. Ia yang mengantarkan kami mengenal, menikmati kisah dan umrah ke Dataran Tortilla. Nama Djokolelono selamanya tak akan pernah kami lupakan karena jasanya menerjemahkan dengan sangat hebat novel karangan John Steinbeck itu. Karena sentuhan tangannya, kami bisa mengenal dari jarak yang sangat dekat perilaku para Paisano. Djokolelono, Paisano, John Steinbeck dan Tortilla Flat adalah para primadona yang sukar tergantikan saat kami masih hobi nongkrong di Warkop Tampomas. Alawi, bersama partner in crime abadinya, Ahmad Makki, bahkan membuat sebuah blog tribut untuk mereka dengan nama Anggur Torelli, air zam-zamnya Dataran Tortilla.

Puji Tuhan hape itu aman. Pemilik rumah makan berbaik hati menyimpannya sampai saya datang. Saya gembira sampai-sampai berniat menciumnya. Di jalan pulang ke rumah Pak Djoko, saya beli rambutan untuk oleh-oleh sebagai ungkapan senang.

Kegembiraan saya bertambah-tambah ketika ngobrol dengan Pak Djoko. Dalam waktu singkat, saya sudah lupa kekesalan saya sebelumnya. Ia ternyata memang menggemaskan dan lucu orangnya. Dalam bahasanya sendiri, ia memang kekanak-kanakan. Menurut pengakuannya, bukan hanya karena menjadi kanak-kanak selamanya menggembirakan dan lebih enak baginya, tapi juga karena ia menolak semua urusan orang dewasa. Ia tak suka hitung-hitungan, ia benci pertengkaran. “Semua urusan orang dewasa, istri saya yang urus. Saya nulis aja,” ujarnya.

Alawi terlihat mengangguk-angguk dengan sangat khidmat. Matanya tajam menatap Pak Djoko dengan kekaguman dari ujung kaki hingga ujung kepala. Alawi seperti bertatap-muka langsung dengan para Paisano. Ia seolah mengalami dua momen sekaligus: puitik dan orgasmik.

Alawi begitu bersemangatnya memberondong Pak Djoko pertanyaan demi pertanyaan. Nampak benar ia bernafsu menyedot ilmu kepenulisan Djokolelono dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan Pak Djoko, selalu menjawab dengan cara yang imut dan menggemaskan. Pertama, mencoba menjawab, tapi di tengah jalan selalu terdistraksi oleh apa yang diucapkannnya sendiri atau diceletukkan oleh Nugroho dan saya. Dari jawaban yang melenceng itu, ia kemudian terdistraksi lagi oleh hal lain hingga omongannya tak tentu arah, yang penting senang. Jadilah ngalor-ngidul dan dengan sedikit cemberut, Alawi akan meluruskan kembali pertanyaannya.

Meski perhatiannya mudah terdistraksi, Pak Djoko adalah pencerita yang baik. Ada banyak cerita penting yang justru diungkapnya dengan jawaban yang melenceng dari pertanyaan Alawi.

Ia kaget ketika kami datang langsung menanyainya tentang sastra terjemahan. Ia heran kok dia lebih dikenal sebagai penerjemah ketimbang pengarang. “Yang paling pertama, saya ini penulis. Setelah banyak menerbitkan buku, baru jadi penerjemah,” katanya terkekeh-kekeh.

Ia kemudian, karena tiba-tiba saja teringat, berkisah tentang anak keduanya, Astrid. Cintanya kepada anak perempuannya itu sangat besar. Ia sengaja menulis banyak cerita anak untuk anaknya, dengan tokoh utama menggunakan nama Astrid. Ada 14 serial Astrid, beberapa dihadiahkannya untuk kami, antara lain “Astrid dan Bandit” dan “Astrid di Palungloro.”  Diam-diam, dulu ia memelihara impian suatu saat Astrid jadi bintang terkenal yang mondar-mandir di kotak televisi dan gambarnya dipajang di baliho hingga kemasan shampo.

Sebagai penulis cerita anak, ia punya saingan dari kalangan tentara. Nama rivalnya: Darto Singo. Seiring berjalannya waktu, Djokolelono jauh meninggalkan Darto Singo. “Darto selesai nulis satu novel, saya selesai delapan,” katanya kembali terkekeh.

“Tapi ternyata, anaknya Darto yang jadi artis terkenal. Anak saya, Astrid, di rumah aja,” katanya sambil melirik ke dalam rumah, lalu kembali menghadapi kami dengan mata membulat dan berbisik, “Si Astrid lagi di dalem. Pelan-pelan ya ngomonginnya..”

“Tau siapa anaknya Darto?” kami saling menatap, lalu menggeleng.

“Siapa, Pak?”

“Anggun C Sasmi yang jadi artis internasional itu. Sebel saya kalo inget saya kalah sama Darto.” Ia terkekeh-kekeh lagi.

Meski sangat produktif menulis novel, pekerjaan utamanya adalah copy writer di biro iklan. Pernah suatu saat Ajip Rosidi menyarankan agar ia berhenti dari pekerjaan itu dan jadi penulis penuh-waktu, tapi ia menampiknya. Ia tahu betul, menjadi penulis tak menjamin kebutuhan hidupnya terpenuhi. Honor dan royalti tidak seberapa, sementara kebutuhan untuk riset sangat besar. Lagipula pekerjaannya di biro iklan juga menulis naskah.

“Rumah ini kan di kompleks unilever. Ini rumah dari biro iklannya unilever,” terangnya.

Karyanya sebagai copy writer membuat kami tercengang. Apa yang dibuatnya merupakan tagline produk-produk terkenal. Ia otak di balik iklan Gudang Garam: Pria Punya Selera. Alawi dan Nugroho berdecak kagum. Saya hampir terlonjak dari kursi saking terpesonanya.

“Iya, dulu ‘Pria Punya Selera’ itu banyak yang kritik. Katanya gak sesuai EYD. Tapi biarin aja, mereka gak ngerti sastra sih.” Terkekeh-kekeh lagi.

“Saya bikin ‘Pria Punya Selera’ itu terinspirasi dari puisi Chairil Anwar, ‘Cerita Buat Dien Tamaela’"

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

“Siapa mendekat, tiga kali menyebut beta punya nama. Beta punya nama. Pria punya selera.” Ia terkekeh-kekeh lagi. Alawi dan Nugroho berdecak kagum lagi. Saya hampir terlonjak dari kursi lagi saking terpesonanya.

“Selain itu apa, Pak?”

“Banyak. Kamu pasti tau, ‘terus terang, Philips terang terus,’ sama ‘susu saya, susu Bendera.’” bahunya berguncang, terkekeh-kekeh lagi.

“Wow! wow.. ”

Saya langsung ingat Kamandobat dan keinginan terdalamnya.

Djokolelono, yang bukan penyair, justru telah berhasil menciptakan kata-kata yang menempel di otak banyak orang. Meski medianya berbeda, yang satu koran minggu atau jurnal sastra sementara yang lainnya media iklan, tetap saja kata-kata Pak Djoko dahsyat luar biasa. Dan fakta bahwa ia diingat bahkan dilagukan banyak orang tak bisa ditolak.

Dalam beberapa hal, ia lebih sublim daripada puisi terbaik Goenawan Mohamad, “Tempo: Enak dibaca dan perlu.”

Ps: kutipan lengkap wawancara dengan Djokolelono bisa dibaca di Majalah Surah Edisi V yang akan segera terbit.

1 komentar: