6.5.14

Tentang Pertemuan dengan Seorang Gadis 100% Sempurna pada Sebuah Pagi April yang Indah

oleh: Haruki Murakami

Sebuah pagi bulan April yang indah di Tokyo, di sisi jalan sempit  lingkungan modis Harujuku, aku berjalan berpapasan dengan seorang gadis yang 100 persen sempurna. Terus terang, ia tidak cantik. Ia tidak menonjol dalam hal apapun. Tidak ada yang istimewa dari pakaiannya. Bahkan rambut bagian belakangnya masih kusut bekas tidur. Ia juga tidak muda - pasti menjelang tiga puluh, dan sejujurnya, agak kurang tepat disebut "gadis." Tapi tetap saja, dari jarak lima puluh meter aku langsung tahu: ia gadis yang 100 persen sempurna untukku. Begitu melihatnya, ada gemuruh di dadaku, dan mulutku terasa kering seperti gurun.

Kau mungkin punya tipe gadis idamanmu sendiri -cewek berkaki jenjang, misalnya, atau bermata indah bola pingpong, atau yang jemarinya lentik, atau bisa jadi tanpa alasan yang jelas kau tertarik dengan cewek yang kerjanya makan melulu. Aku pribadi pun punya preferensi, tentu saja. Kadang-kadang di sebuah restoran aku rela berlama-lama menatap gadis di meja sebelah karena aku suka hidungnya.

Tapi tak ada yang bisa bertahan dengan ciri tertentu gadis 100 persen sempurna yang ia yakini. Meski kebanyakan aku suka bentuk hidung, aku tak bisa ingat bentuk miliknya -bahkan aku lupa apakah ia punya hidung. Yang bisa kuingat pasti adalah bahwa ia tidak cantik. Ini aneh.

"Kemarin di jalan aku ketemu cewek 100 persen sempurna," kuberitahu seseorang.

"O, ya?" katanya. "Cakep?"

"Nggak terlalu sih.."

"Tipe favoritmu, berarti?"

"Aku nggak tahu, nggak bisa ingat apapun tentang dia -bentuk matanya atau ukuran dadanya."

"Aneh."

"Iya. Aneh."

"Jadi gimana," katanya, kelihatan mulai bosan, "apa yang kamu lakukan? Ngobrol? Nguntit dia?"

"Itulah masalahnya. Cuma papasan."

Ia berjalan dari timur ke barat, dan aku dari barat ke timur. Sungguh mati ini pagi di bulan April yang cerah.

Aku menyimpan harapan untuk berbincang dengannya. Setengah jam cukuplah: bertanya padanya tentang dirinya, bercerita tentang diriku sendiri, dan -yang paling ingin kulakukan - menjelaskan kepadanya kompleksitas nasib yang menyebabkan kami melewati satu sama lain di sisi jalan di Harajuku pada April pagi yang indah di tahun 1981. Ini barang tentu adalah sesuatu yang akan dijejali rahasia hangat, seperti kesan jam antik di masa perdamaian memenuhi dunia.

Setelah bercakap-cakap, kami akan makan siang di suatu tempat, mungkin menonton film Woody Allen, mampir di bar sebuah hotel untuk minum koktail. Dan kalau beruntung, akhirnya aku bakal begituan dengannya.

Potensi itu menggedor pintu hatiku.

Sekarang jarak antara kami makin menyempit jadi lima belas meter.

Bagaimana aku bisa mendekatinya? Aku harus bilang apa?

"Selamat pagi, Nona. Apakah Anda bisa menyisihkan waktu barang setengah jam untuk ngobrol ringan dengan saya?"

Konyol. Aku akan terdengar seperti salesman asuransi.

"Maaf, numpang tanya, tahu binatu yang buka sampai malam di daerah sini?"

Ah, tambah konyol. Satu hal, aku sedang tidak membawa pakaian kotor. Lagi, siapa pula yang sudi menanggapi pertanyaan bodoh seperti itu?

Barangkali jujur apa adanya akan jauh lebih baik. "Selamat pagi, kamu gadis yang 100 persen sempurna buat aku."

Tidak, ia tak akan percaya. Kalaupun percaya, belum tentu juga mau berbincang denganku. Ia bisa bilang, maaf, saya mungkin gadis yang 100 persen sempurna buat Anda, tetapi Anda bukan 100 persen bujang buat saya. Itu bisa terjadi. Dan jika aku mendapati diriku dalam situasi itu, aku akan hancur berantakan. Aku sulit pulih dari shock. Sekarang usiaku tiga puluh dua, dan begitulah menua.

Kami melewati sebuah toko bunga. Lembut, udara hangat menyentuh kulitku. Aspal basah, dan aku menangkap aroma mawar. Aku masih tak kunjung berani menyapanya. Ia memakai sweater putih, memegang amplop putih bersih tanpa prangko di tangan kanannya. Dilihat dari tampilan ngantuk matanya, mungkin ia menulis hampir sepanjang malam. Amplop itu bisa saja berisi semua rahasianya.

Aku mempercepat langkah dan berbelok: Ia lalu hilang dalam kerumunan.

Sekarang, aku tahu persis apa yang harus kukatakan padanya. Harusnya ini jadi obrolan panjang, meskipun, akan makan waktu terlalu lama agar aku mampu menyampaikannya dengan baik. Ide-ide yang datang dari kepalaku memang tak pernah praktis.

Oh, baiklah. Akan kumulai dengan "Pada suatu masa" dan diakhiri "kisah sedih ya, kan?"

Pada suatu masa, hiduplah seorang anak laki-laki dan perempuan. Si anak lelaki berumur delapan belas dan si anak perawan enam belas. Si cowok bukan cowok yang gantengnya tidak umum, dan si cewek bukan cewek yang cantiknya aduhai. Mereka hanya terong-terongan dan cabe-cabean biasa yang kesepian, seperti kebanyakan. Tapi masing-masing percaya sepenuh hati bahwa di suatu tempat di dunia ini hiduplah cowok yang sempurna 100 persen dan cewek 100 persen sempurna baginya. Ya, mereka percaya akan ada keajaiban. Dan keajaiban itu benar-benar terjadi .

Suatu hari mereka berpapasan di sudut jalan.

"Ini luar biasa," kata si terong, "aku sudah nyari kamu seumur hidupku. Kamu mungkin tak percaya, tapi kamu gadis yang 100 persen sempurna buatku."

"Dan kamu," kata si cabe kepada terong, "bujang yang sempurna 100 persen untukku, persis seperti detail yang kubayangkan tentang kamu. Rasanya kayak mimpi."

Mereka kemudian duduk di bangku taman, berpegangan tangan, dan saling menceritakan kisah mereka jam demi jam. Mereka tak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh sesama 100 persen sempurna mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan 100 persen sempurnamu. Ini keajaiban, keajaiban kosmis.

Namun ketika duduk dan bergantian curhat, tiba-tiba sepotong kecil keraguan, sangat kecil, tumbuh di hati mereka: tidakkah ada sesuatu yang salah jika mimpi seseorang begitu mudahnya jadi kenyataan?

Maka, ketika ada jeda sesaat dalam percakapan, si terong berkata kepada si cabe, "mari kita uji diri kita -sekali saja. Kalau memang kita 100 persen pecinta sempurna satu sama lain, maka suatu saat, di suatu tempat, kita akan bertemu lagi. Ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan 100 persen sempurna, kita akan menikah saat itu juga. Gimana menurutmu?"

"Ya," kata si cabe, "itulah yang harus kita lakukan."

Mereka pun berpisah, cabe ke timur, terong ke barat.

Sebenarnya, ujian yang telah mereka sepakati itu sama sekali tidak perlu. Mereka seharusnya tak usah lagi berpisah, karena mereka betul-betul dan betul-betul 100 persen pecinta sempurna satu sama lain, dan perjumpaan mereka sungguh sebuah keajaiban. Tapi memang mustahil bagi keduanya untuk mengerti, mereka masih terlalu belia. Gelombang nasib yang buta terus mengombang-ambingkan mereka tanpa ampun.

Pada suatu musim dingin, baik si terong maupun si cabe terserang flu ganas. Setelah terbaring tanpa daya selama berminggu-minggu antara hidup dan mati, mereka kehilangan semua kenangan di tahun sebelumnya. Ketika mereka terbangun, kepala mereka kosong sebagaimana celengan DH Lawrence kecil.

Bagaimana jua, mereka adalah dua pemuda-pemudi harapan bangsa, cerdas, tangkas, dan melalui upaya tanpa henti mereka akhirnya memperoleh kembali perasaan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai syarat yang tak bisa diganggu-gugat untuk kembali sebagai anggota masyarakat.

Puji Tuhan, mereka pun jadi warga yang benar-benar terhormat yang tahu bagaimana pindah dari satu jalur kereta bawah tanah ke jalur lain, yang sepenuhnya tahu di mana meja pengiriman surat khusus di kantor pos. Memang, mereka sempat pacaran dengan orang asing, kadang dengan kadar cinta 75 persen atau bahkan 85 persen.

Waktu berlalu dengan kecepatan mengejutkan, dengan segera si terong berumur tiga puluh dua dan si cabe tiga puluh.

Suatu pagi April yang indah, mencari secangkir kopi untuk memulai hari, terong melangkahkan kaki dari barat ke timur, sementara cabe yang berniat mengirimkan surat khusus, berjalan dari timur ke barat, sepanjang jalan sempit yang sama di lingkungan Harajuku, Tokyo. Mereka berpapasan di tengah jalan. Kilau samar kenangan mereka yang sempat hilang mendadak bersinaran dalam hati mereka. Masing-masing merasakan gemuruh di dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100 persen sempurna bagiku.

Dia adalah bujang yang sempurna 100 persen untukku.

Tapi cahaya dari kenangan mereka terlalu lemah, dan pikiran mereka tak lagi memiliki kejelasan empat belas tahun sebelumnya. Tanpa bicara, mereka bersinggungan jalan, menghilang ke dalam kerumunan. Selamanya.

Kisah sedih ya, kan?

Ya, itu saja, itulah yang seharusnya kukatakan padanya.

1 komentar: