26.1.14

Pemburu vs. Pemburu (Bagian Kedua)

Sebuah tribut untuk Bazar Buku Murah Gramedia Cinere


Pria itu bernama Ahmad Yani. Badannya tinggi besar. Ia bukan pahlawan revolusi, melainkan Supervisor Bazar Buku Murah Gramedia Cinere. Barangkali karena perawakannya di atas rata-rata itu, ia gampang berkeringat. Pertama kali saya melihatnya di pintu masuk tenda bazar, di malam hari pertama, ia mengenakan setelan safari hitam dan sekujur wajahnya bersimbah peluh.

Mungkin ia habis olahraga. Tapi dugaan itu tentu saja salah. Ia sedang bertugas mengawasi bazar, mana sempat lari-lari atau angkat barbel?

Ia tampak ramah. Senyum selalu dikulumnya di hadapan setiap pelanggan. Sesekali ia mengangguk takzim pada yang melintas di depannya. Saya coba hampiri, sedikit berbasa-basi.

“Abis fitnes, Pak?” tanya saya dengan nada sok akrab. Ia tertawa.

“Saya emang gini, Mas, kalo abis makan. Apalagi ini kan tendanya terpal, jadi sumuk,” katanya mencoba menjelaskan sambil setengah tertawa. Bener juga. Hawa tenda ini memang panas, padahal malam, meski di beberapa titik ruangan diletakkan penyejuk ruangan.

Setelah basa-basi seputar bazar dan jenis buku favorit, saya minta nomor telepon genggam Pak Yani, --begitu kemudian saya biasa memanggilnya. Dengan senang hati dia memberi dan berjanji akan menghubungi setiap stok baru datang. Wah, rasanya seperti semua nasib baik akan menaungi dan berkisar pada saya seumur hidup.

Pesan pendek Pak Yani adalah senjata rahasia yang tidak dimiliki oleh Zakky Zulhazmi dan Jomblo Budiman. Belakangan baru saya ketahui bukan hanya saya yang memiliki akses terhadap pusaka itu, ada seorang Jomblo Ngenes dan seorang penjual buku berambut gondrong dari negeri entah berantah yang punya previlise sama.

Seterusnya tinggallah sejarah.

***

Setelah di hari Rabu saya sedikit kecele karena stok baru yang datang kesemuanya komik, Sabtu (25/1) Pak Yani meyakinkan bahwa stok yang datang kali ini tidak akan mengecewakan.

“Banyak novel bagus yang Mas cari. Kemarin baru dapet 20 koli,” katanya via pesan pendek.
Dengan semangat sumpah pemuda, semangat 45 dan segala semangat yang pernah menyala di titik puncaknya di negeri ini, saya dan Ahsan melangkah pasti menembus perkampungan yang masih asri ke arah Cinere. Hari yang cerah untuk jiwa yang mencari.

Ya, surga terhampar di hadapan kami dan kelihatannya belum banyak dijamah. Baru masuk, belum sempat mengaduk tumpukan, mata saya sudah menangkap Bilangan Fu-nya Ayu Utami dan Titik Nol-nya Agustinus Wibowo. Harganya berapa? Saya tidak sempat perhatikan, karena segenap indra saya telah terkonsentrasi untuk mencari buku keren yang tak boleh ditinggalkan. Lagian harga di sini bukan masalah, bukan? Dengan uang yang biasa kamu habiskan untuk sepuluh buku, kamu bisa mendapatkan lebih dari empat puluh buku. Buru dan tangkap sebanyak-banyaknya, tandaskan yang terbaik tanpa sisa, tak boleh luput.

Saya membongkar tumpukan satu per satu dengan damai, memastikan tak ada buku kualitas super yang terlewatkan. Hasil buruan segera saya taruh di tas berwarna hitam yang disediakan pihak bazar. Selang setengah jam, tas yang saya jinjing itu mulai kembung kepenuhan. Saya ambil tas lain. Ketika mengobok-obok, tas itu saya letakkan di tempat yang terjangkau tangan. Seakan tak mau lepas. Pindah ke lain tempat, keduanya saya jinjing. Cukup berat.

Tenda semakin ramai, hawa panas semakin terasa. Penyejuk ruangan di setiap pojok sebertinya tidak cukup. Melihat dua tas yang saya tenteng, dan perasaan yang sudah cukup puas, timbul keinginan saya mendekat ke penyejuk untuk menyapu peluh. Maka melangkahlah saya ke pojok kiri bagian belakang tenda. Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan seorang pria setengah baya yang hanya menenteng satu buku, tanpa tas jinjing, hanya satu buku tebal.

Mendadak saya lemas melihat apa yang didapat pria itu. Musashi karya Eiji Yoshikawa yang tebalnya masya Allah!

Saya mengutuk diri, menyesali keberuntungan pria yang terlihat tenang dan tanpa ambisi itu. Ia seperti diutus Tuhan, memperlihatkan kepada saya bagaimana orang yang tidak bernafsu besar memburu justru memperoleh mangsa terbaik. Saya sapa lelaki itu.

“Wah, dapet Musashi, Pak?”

“Hehe, iya. Beruntung.” Tentu saja Anda manusia paling beruntung di bawah
tenda ini.

“Boleh buat saya aja, Pak?” Pertanyaan bodoh. Namanya juga usaha.

“Saya emang udah punya sih, di rumah. Tapi udah buluk. Pasti lebih enak baca yang baru, murah lagi. Nggak rugi dikoleksi. Maaf ya,” katanya. Saya tereperangah mendengar jawabannya. Detik itu juga, saya ingin membakar tenda ini. Bapak itu berlalu meninggalkan saya yang berwajah muram.

Saya masih berdiri di tempat yang sama, menatap nanar Jomblo Ngenes, ketika tiba-tiba bapak itu memanggil saya lagi. Saya menoleh setengah melongo ke arahnya. Ia masih terlihat sangat tenang dan barangkali saya sangat mengenaskan.

“Saya tadi dapet ini di belakang, Mas. Di kardus-kardus. Coba cari lagi, siapa tahu masih ada,” katanya. Saya masih melongo. Di belakang? Kardus?

Kesadaran saya perlahan-lahan mulai kembali. “Oh, makasih, Pak.” Bergegas ke arah kardus-kardus yang ditumpuk, melupakan penyejuk ruangan. Dan puji Tuhan, tanpa mengacak-acak kardus terlalu lama, mata saya segera mendapati buku tebal yang menonjol itu. Saya girang bukan main. Langsung saya hampiri Bapak tadi dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ia membalas dengan senyum yang masih sangat tenang. Jomblo ngenes menghampiri saya dengan wajah terpana. Setelah memuji buku itu, dia juga bergegas ke kardus.


Tapi jomblo ngenes tak menemukan apa yang dicarinya. Stok buku itu mungkin hanya dua.

Saya kembali ke tumpukan buku dengan perasaan lega luar biasa. Tidak ada keinginan untuk membongkar tumpukan lagi, hanya ingin melihat-lihat barangkali ada yang menarik.

Sambil bersantai-santai, saya iseng menghubungi Zakky dan Jomblo Budiman. Zakky langsung membalas. Dia bilang dia sedang ambruk di tempat tidur, belum kuat ke mana-mana. Seketika itu simpati terdalam saya muncul. Dendam seakan menguap. Saya pikir saya harus mengunjunginya, membawakan oleh-oleh buku dan beberapa kilo jeruk.

Saya tanya apakah Zakky masih menginginkan Bilangan Fu, karena saya sudah punya, dia jawab sangat bergairah. Saya carikan beberapa buku lagi, bagaimanapun ia telah berjasa karena memberitahu tentang bazar. Saya temukan Manusia Atap-nya Astrid Lidgren dan Bermain dengan Cerpen-nya Maman S. Mahayana ada dua eksemplar, maka saya boyong semuanya. Satu untuk Zakky, satu untuk saya.

Saya ajak Ahsan segera pulang untuk menengok keadaan Zakky. Semoga ia baik-baik saja dan segera sembuh. Tidak adil rasanya berlomba dengan lawan yang sedang cedera. Saya ingin kompetisi yang sehat dalam perburuan ini.

Zakky menyambut kami dengan wajah tahanan dibesuk famili. Matanya berkaca-kaca seperti akan menangis ketika saya hibahkan tiga buku untuknya. Ah, mengharukan sekali. Ia lalu dengan lapang dada merelakan satu Cantik itu Luka untuk saya. Tentu saya terima dengan tangan terbuka.

Saya tinggal di Lembah Bunin untuk menemani Zakky hingga larut malam. Kira-kira pukul sembilan, Jomblo Budiman dengan wajah lelah tapi lega tentara pulang dari medan perang. Ternyata ia dari Cinere juga. Wajahnya tidak menunjukkan menang perang, karena hasil buruannya tidak begitu bagus. Terlebih sejak di perjalanan ia berniat membarter Bilangan Fu dengan Cantik itu Luka milik Zakky, tapi keinginan itu harus pupus. Beberapa jam sebelumnya telah terjadi serah-terima antara saya dan Zakky. Ciyan.

Melihat apa yang saya dapat, Jomblo Budiman terlihat begitu murka. Saya segera pasang kuda-kuda, berjaga kalau-kalau ia menyerang. Tapi ternyata ia tak punya cukup nyali untuk berlaga. Dengan wajah marah, ia bercerita bertemu dengan banyak orang Ciputat di Cinere. Abi Setio Nugroho, Matin Halim, Reval, Udin dan lain sebagainya. Ketika ia ngoceh, tanpa sepengetahuannya, saya seluncupkan Senopati Pamungkas miliknya ke dalam tas saya.

Saya pulang ke Macondo dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Melampaui puas dan bahagia. Reval dan Udin menyambut dengan kopi panas. Lalu saya nyalakan sebatang rokok sambil mengintip buku-buku yang dibeli Reval. Berikut judul-judulnya: Wealth Management: Menuju Kebebasan Finansial; Pemimpin dan Perubahan: Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia; 111 Ide Penjualan Dosis Tinggi yang Terbukti Sukses; Semua Bisa Mmenjadi Programmer Java; Guerilla Publicity: Ratusan Taktik Jitu Menjual secara Maksimal Dengan Modal Minimal; Omset Meroket dengan Strategi Manajemen Pemasaran dan Manajemen Sumber Daya Manusia; Crowd: Marketing Becomes Horizontal; Manajemen Ha$il: Pengelolaan Orang yang Efektif untuk Pencapaian Hasil yang Luar Biasa; Handbook Pintar Bisnis dari Nol; Membuka Rahasia Rasulullah dalam Berbisnis (Pedagang yang Amanah & Benar Akan Bersama dengan Para Syuhada di Hari Kiamat Nanti ~ HR. Ibnu Majah)

Subhanallah sekali, bukan? Anda perlu tahu, sejak mengkhatamkan Rahasia Bisnis ala Rasulullah itu, Reval semakin rajin salat. Saya turut bangga dan bahagia. Bukan apa-apa, Reval adalah aktivis sebuah organisasi yang sering dicap sebagai komunis dan atheis. Tentu ini kabar gembira.

Karena pengaruh kopi, saya tidak bisa langsung tidur. Reval, Udin dan Ahsan telah tenggelam dalam bacaannya masing-masing. Sementara saya, saking banyaknya pilihan buku bagus, sampai bingung sendiri mau mulai baca yang mana. Saya ingat pernah membaca tulisan yang tertempel di dinding Perpustakaan Pabelan; "pemilik buku yang sesungguhnya adalah pembacanya, bukan kolektornya." Entah milik siapa kata-kata itu. Berdasarkannya, derajat saya sekarang berarti masih kolektor. Saya harus membacanya agar benar-benar menjadi pemilik. (Bersambung)

Baca juga: Pemburu vs. Pemburu (Bagian Pertama)

24.1.14

Gaus

Saya baru bangun tidur. Tiba-tiba saja kepikiran untuk iseng setelah mengucek-ucek mata menguap dan meregangkan badan. Pagi ini tentu akan seru kalau melakukan hal-hal menyenangkan yang tak harus penting seperti garuk biji menonton ibu-ibu senam pagi dan membuat catatan tentang Ahmad Gaus. Penting di sini maksudnya kegiatan yang kalau saya lakukan bisa membuat langit runtuh dan bumi terbelah atau minimal membuat SBY datang berkunjung lalu difoto Bu Ani kemudian diunggah di akun instagram ibu negara paling nge-hit sedunia itu. Bagaimana tidak nge-hit? Oh iya, maaf lupa, saya mau menulis tentang Ahmad gaus, bukan Bu Ani walaupun saya masih terobsesi menonton konser tunggal Bu Ani senam. Pasti sensasinya jauh melampaui sekaligus membungi-hanguskan kenikmatan tontonan senam depan pondokan saya yang dihelat oleh seorang caleg wanita lokal. Para pengendus kursi legislatif jaman sekarang memang kreatif-kreatif ya. Ada-ada saja terobosannya. Ada yang... wah, saya ngelantur lagi. Begini.
Dua hari yang lalu, nama Gaus bersliweran di linimasa twitter. Saya sudah kenal nama itu cukup lama, karena saya pernah mendengar beberapa teman saya yang HMI membicarakan bukunya, Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visoner. Saya cukup tahu bahwa dia tidak berhubungan dengan Daus Mini. Namanya Gaus, bukan Daus. Catat itu, Kisanak! Teman-teman saya, para aktivis HMI yang berdarah panas penuh gelora menguasai Indonesia dan dunia itu, dengan gampang naik-turun otot lehernya begitu mendapati kata api, Islam, visioner dan yang mulia Nurcholis Majid di judul buku Gaus. Dengan segera buku itu mereka anggap sebagai karya luar biasa tiada tara tanpa diskon tak perlu diragukan lagi. Dalam bahasa yang lebih singkat mereka bilang "keren banget." Sampai sekarang saya belum pernah membaca buku itu. Sumpah. Barangkali memang keren. Dan, sepertinya terlalu berat buat saya yang bukan intelektual ini. Selera membaca saya pun tiba-tiba melorot seperti habis dimarahi Bu Ani begitu mengeja judulnya. Saya menggeleng ketika Ahda, teman saya yang HMI dan sekarang jadi caleg di Ponorogo, menawarkan buku itu. Sangat berbeda ketika Ahda menawarkan satu bundel kumpulan esai Cak Nur yang topik dan judulnya sederhana seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Saya melahap esai-esai itu dengan rakus karena sangat gurih dengan paparan konteks dan argumen yang belum pernah saya dengar sebelumnya di pesantren. Kualitas super deh. Saya tidak perlu berlebihan memberi testimoni tentang kualitas Cak Nur, bukan? Saya rela sunat dua kali agar isi otak saya bisa menyamai atau melampauinya. Wajar jika Gaus sampai menulis buku tentangnya dan menganugerahinya gelar yang peluangnya mampir di kepala SBY sangat kecil: visoner. Nah, gegeran soal Gaus kemarin itu tak berkaitan langsung dengan HMI, Islam, visioner dan Cak Nur. Namun kurang-lebih, ada hubungan dengan api. Api yang berkobar-kobar di dunia sastra Indonesia. Sedddaaap. Adalah Gaus dkk yang menamai diri mereka Tim 8 yang menyulut api itu. Mereka menelurkan buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" yang memicu kontroversi, gosip dan olok-olok tentang masuknya Denny JA di dalam daftar. Barangkali tak perlu dituliskan lebih jauh di sini bagaimana api itu melahap kanan-kiri lalu perlahan-lahan berbalik melahap Gaus dkk. Di luar sana, banyak sekali para pengulas buku itu yang lebih baik. Intinya memang lucu. Denny JA, yang karyanya seperti puisi anak-anak tapi sedikit dibumbui catatan kaki agar punya kesan cerdas dan dewasa, memang punya pengaruh di lingkaran terdekatnya yang kebetulan terdiri dari beberapa orang yang sudah cukup lama malang-melintang di dunia kesusastraan. Pengaruhnya kemudian diperluas oleh orang-orangnya, dengan membuat lomba-lomba mengikuti gayanya, menyewa seorang sineas terkemuka untuk membuat film berdasarkan bukunya. Luar biasa. Pengaruh buatan itulah yang kemudian disandingkan dengan pengaruh alami yang dimiliki 32 nama lain. Saya terus terang tertawa ketika mendengar namanya diagungkan dalam buku itu. Bukan apa-apa, baru seminggu sebelumnya saya ledek-ledekkan dengan seorang teman; dia bilang belum ada sastrawan besar Indonesia yang lahir dari kota asal saya, Palembang, sembari menyodorkan nama-nama asal daerahnya. Brengsek. Tiba-tiba muncul Denny JA. Tentu sangat menghibur. Untuk merasa terhibur oleh Sule dkk, saya perlu menonton Opera Van Java. Tapi tanpa membaca buku itu, saya telah terpingkal-pingkal dibuat Denny JA. Ini satu tingkat di atas komedi biasa. Hanya manusia-manusia terpilih yang bisa. Tentu saja buku 33 Tokoh Sastra tidak bisa dilihatnya sebagai proyek lucu-lucuan semata, begitu kata AS Laksana. Jelas itu proyek ambisius. Denny JA pernah melakukan hal serupa dengan memasukkan namanya sebagai salah-satu tokoh reformasi. Tidak terlalu ribut, gemanya kecil. Tapi kali ini gemanya cukup besar. Tidak sedikit yang protes dan menuntut pertanggungjawaban terbuka dari tim 8. Alih-alih membuka dialog, eh yang keluar malah postingan blog dari Gaus. Sensasional-spektakuler pula isinya. Merasa kurang dengan apa yang ditulisnya di blog, di twitter ia pun menambahkan “li an takunuu fi shirathil mustaqim.” (agar kalian berada di jalan yang lurus) Seketika saya menggumam,”ainuka!” (umpatan yang tidak dikenal di jazirah Arab, tapi dikenal di dunia pesantren, yang artinya “matamu!”) jalan lurus yang dimaksud Gaus adalah jalan martir untuk Denny JA yang memberinya nafkah. Sejauh Gaus tidak mendorong orang lain untuk berada di jalur yang sama, sesungguhnya tak masalah. Tapi Gaus berseru-seru kepada banyak orang bahwa itu rel kebenaran. Dengan argumen yang letoy pula. Alangkah.

Sumber gambar: change.org

22.1.14

Pemburu vs. Pemburu (Bagian Pertama)

Sebuah tribut untuk Bazar Buku Murah Gramedia Cinere.


Bersama beberapa kawan, Jumat, 17 januari 2014, saya bermain ke Taman Ismail Marzuki. Taman ini indah sekali, banyak bunga kota berkeliaran. Sungguh sedap dipandang mata dan menghangatkan dada. Lebih-lebih musim penghujan dan banjir, kautahu, sedang melanda Jakarta. Kembang urban tentu akan mengalihkan duniamu, seperti kata Afghan.

Setan! Seseorang membubuhkan Afghan di paragraf pertama ketika saya sedang kencing.

Di TIM, kawan-kawan saya begitu bahagia bertemu dengan idola mereka. Idola yang buruk, sebenarnya: para penulis buku yang boleh jadi hanya dikenal oleh tak lebih dari lima persen penduduk Indonesia. Tidak cukup populer untuk jadi caleg. Tak pernah ikut main sinetron atau layar lebar. Belum pernah jadi bintang iklan produk kecap maupun capres. Jarang nongol di acara berita apalagi infotainmen. Lebih sedih lagi, nama-namanya belum tercantum di buku pelajaran Bahasa Indonesia.

Tapi kawan-kawan saya itu pengidola yang teguh, lagi gigih dan tangguh. Mereka memiliki semacam perasaan menjadi keren karena idola mereka bukan pujaan pasaran. Bukan sembarang pujaan. Pujaan sesejati-sejatinya pujaan. Alasannya apa, tentu kurang elok membeberkan rahasia para sahabat karib saya di sini. Lagipula bukan maksud tulisan ini membocorkannya.

Selesai acara Anugerah Kritik Sastra DKJ dan penampilan Band Float, hujan mulai turun. Beberapa saat kami bercengkerama di depan Teater Kecil, mencoba sok akrab dengan beberapa penulis yang kami kagumi sambil menunggu reda hujan. Apa mau dikata, hujan malam itu begitu kolokan. Sebentar berhenti, sejurus kemudian ambyar lagi. Mulai sepi. Kami lalu menyeberang ke Toko Buku Jose Rizal. Di depan pintunya, sedang berdiri Bandung Mawardi. Langsung kami salami dan ajak ngobrol ini-itu. Haha-hihi sampai cukup lama sampai kami sadar hujan malam ini tak bisa diajak kompromi. Kami menerobos gerimis.

Teman saya, seorang jomblo budiman, mengantar Mas Bandung ke hotel tempatnya menginap. Ketika kami mengatur rencana untuk mengisi perut, air dari langit tumpah lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Kami langsung menarik gas untuk ke pom bensin terdekat. Zakky dan Adi melaju. Saya yang dibonceng Ahsan, memutuskan singgah dan berteduh di Seven Eleven Cikini, meghindari basah yang lebih kuyup, begitu pula si jomblo budiman.

Malang bagi jomblo budiman, setelah menghangatkan badan dengan mie instan, beberapa potong roti dan segelas kopi, matanya tertumbuk pada Grato Café & Bistro, persis di depan tempat duduknya. Tatapannya mulai nanar, pikirannya mengembara ke rimba entah. Saya dan Ahsan sempat prihatin oleh raut mukanya. Selang beberapa menit, ia membuka mulut.

“Di tempat itu gua pertama kali ngobrol panjang sama X.”

Kami mengangguk, mencoba memasang wajah bersimpati. Dalam hati, saya bersorak-gubrak: yaelah, bro.

Tak ada keterangan lanjutan. Jomblo budiman kita kemudian membuka laptop, mencoba menuliskan sesuatu. Saya memutuskan keluar agar bisa merokok. Sengaja memilih tempat duduk yang bisa memantau perkembangan ekspresinya. Khawatir kalau-kalau ia mengamuk dan tiba-tiba berubah jadi harimau, kan repot?

Setelah dua paragraf, jomblo budiman kita memegang kepalanya, meremas rambut bagian kiri atas. Ia terlihat geram, kautahu, oleh entah. Dua paragraf budiman barusan dihapusnya. Ia mulai lagi menulis dari awal dengan bentuk percakapan. Setelah beberapa baris, matanya menerawang seperti hendak menangis.

Hujan mulai menenggelamkan Jalan Cikini. Bahu jalan seperti pinggir kali. Beberapa kendaraan bermotor yang lewat mesinnya mati kemasukan air. Banyak orang mengabarkan air meluap di berbagai titik di Jakarta. Peluang kami untuk segera pulang dalam keadaan kering semakin kecil. Harus menunggu air surut.

Menjelang pagi kami baru pulang ke Ciputat.

***

Saya bangun tidur jam 3 sore. Keluar dari kamar, di ruang depan ada Reval, Udin dan Ahsan sedang bercengkerama tanpa juntrungan tentang status jomblo dan LDR. Biarlah, memang begitu anak muda jaman sekarang. Saya bergabung dengan mereka untuk minum air putih. Tak lama kemudian, Udin ke dapur memasak mie dan menawari kami. Betapa kreatif dan perhatiannya.

Sore yang cukup indah. Halaman depan telah kering. Angin sore menggoyang-goyangkan daun jambu biji, pepaya dan jeruk nipis depan pondokan. Sementara memanaskan air untuk kopi, bungkus-bungkus plastik yang berserakan saya sapu dan buang ke kotak sampah. Setelah beres, ruang depan jadi lebih sedap dipandang. Jendela dan gorden saya buka agar udara segar masuk. Adem sekali. Udin pun datang dengan semangkok mie telor.

Berihitam saya berbunyi, sendokan mie yang sempat terangkat jatuh lagi ke mangkok. Pesan dari Zakky Zulhazmi. Tumben. Barangkali ada sesuatu yang urgen, segera saya baca.

“Ada surga di Cinere Mall. Segera kunjungi. Hehe,” katanya via BBM. Benar-benar darurat.

“Dapet apa aja?”

“Wah banyak. Cek aja sendiri,”

“Oke, abis maghrib ke sana. Dapet apa aja?”

Cantik Itu luka, Burung-burung Cakrawala, Manjali Cakrabirawa, Lalita, 1Q84 dan lain-lain. Semua 34 buku. Rata-rata 10 ribu.”

Asu buntung!

“Ini hari pertama. Masih seger-seger.”

Taek. Saya risau tak alang kepalang. Bazar buku selalu untung-untungan. Lain ladang lain belalang, lain tangan lain peruntungan. Saya tak tahu apakah masih akan kebagian atau kehabisan. Pengalaman di Bintaro Plaza akhir tahun kemarin menunjukkan itu, Jomblo Budiman dan Zakky menang banyak sedangkan saya gigit jari karena ketinggalan. Ahsan langsung saya ajak berangkat. Reval dan Udin mau ikutan. Setelah mie habis, kami siap-siap berburu.

Karena jalan berombongan, persiapan jadi ribet bukan main. Reval harus pulang ke indekosnya terlebih dahulu untuk mandi, berganti pakaian, coli dan lain-lain. Makan waktu. Saya hanya bisa bersungut-sungut menunggu. Memikirkan ketertinggalan, kekesalan saya pada Zakky semakin memuncak. Setelah puas dan bahagia dengan hasil buruannya, baru dia beritahukan khalayak tentang hutan terlarang itu. Brengsek sekali.

Hari mulai gelap ketika akhirnya kami meninggalkan Ciputat. Menelusuri jalan perkampungan di belakang Pondok Cabe, kami melalui gang-gang sempit. Di beberapa tempat, terlihat pohon rambutan yang buahnya mulai memerah. Terlihat ranum. Menggoda iman untuk sejenak berhenti memetik beberapa biji dan menikmati. Tapi iman saya cukup teguh. Saya kuatkan tekad: tujuan kami adalah Cinere, berburu buku. Buku yang tidak akan habis dalam sekali comot. Buku yang boleh dibilang akan abadi, bisa dinikmati oleh anak-cucu nanti. Bukan mencuri rambutan yang, lewat dari tenggorokan, rasa manisnya cepat hilang.

Sampai di tenda bazar, Adi, rekan kosan Zakky di Lembah Bunin, sedang membolak-balikkan tumpukan buku. Wajahnya sumringah dan memancarkan kemenangan, seolah mengatakan “kalian terlambat” kepada kami yang baru datang. Menyebalkan. Tapi Adi rupanya masih menyisakan kebaikan hati. Dia menawarkan 1Q84 jilid 2 karya Murakami yang diperolehnya dua, tapi segera saya tolak, karena tak melihat jilid 1-nya. Biar saya berburu sendiri, mengobrak-abrik tenda ini. Hari berikutnya saya baru tahu, buku itu kemudian dibarternya dengan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan milik Zakky.

Anda tahu berapa novel Cantik Itu Luka yang digondol Zakky dari Cinere? Tiga buku. Tiga! Tanpa menyisakan belas kasihan untuk para pencari setelahnya. Bejat, sangat bejat. Tidak bisa tidak saya memendam dendam kepadanya. Mulai hari itu, saya bersumpah akan memenangkan perlombaan ini. Tidak apa saya menyimpan sifat buruk. Saya memang mudah iri, dengki dan dendam dalam urusan buku.

Untuk sementara, saya cukup puas dengan mangsa yang saya tangkap. Tidak buruk. Dua puluh dua buku pilihan. Sebagian besar fiksi, beberapa non-fiksi. Saya tak perlu menyebutkan judul-judulnya, bukan? Sebagai gantinya, nanti akan saya pampangkan judul-judul buku yang dibeli Reval. Ahsan yang seleranya tak jauh beda dari saya, memboyong beberapa novel karya Paulo Coelho, Ayu Utami dan cerita-cerita anak. Ia kalap dan sepertinya melupakan rencana liburannya ke Bandung. Tanpa perhitungan yang cermat, uangnya dihabiskan untuk nafsu bukunya. Udin membeli beberapa buku untuk persiapan skripsinya: statistik, teori-teori sosiologi, tentang budaya massa dan lain sebagainya.

Reval sungguh membuat saya terpana. Malam itu ia terlihat amat ajaib. Belum pernah sebelumnya saya menyaksikan dia membeli buku sebanyak itu. Ia semakin ajaib di mata saya karena pilihan buku-bukunya. Saya berdecak kagum. Berikut judul-judul yang dibelinya: Rest in Peace Advertising: Killed by the Power of Mouth Marketing; Step Business Plan: Langkah Mudah untuk Memulai dan Memperbaiki Rencana Usaha; 77 Aplikasi Dahsyat Bisnis Online; Cara Mudah Membuat Template Blogger; Advanced Strategic Management: Back to Basic Approach; The 12 Factors of Business Succes: Kenali, Kembangkan dan Gali Kekuatan Anda; IT Ergonomics: Menjadi Sehat dan Produktif dalam Kantor Berbasis Teknologi Informasi; Kiat Jitu Kerja Praktek Membangun Software dan Web; Drucker Difference: Insiprasi Manajemen Terbesar di Dunia bagi Para Pemimpin Bisnis Saat Ini; The Next Evolution of Marketing: Memenangkan Hati Pelanggan dengan Pemasaran Jujur, Bersahabat dan Penuh Makna.

Jangan heran atas pilihannya itu. Reval memang sedang menekuni dua bisnis besar: agen perjalanan wisata dan usaha pakaian. Ia butuh buku-buku itu untuk mengembangkan usahanya. Skripsi di bidang Hubungan Internasional tampaknya hanya menempati ruang sempit di sebuah sudut kepalanya.

Sebelum pulang ke Macondo, pondokan saya, kami makan bebek di Legoso. Bebek yang telah menginvasi Ciputat. Tanpa tanda-tanda alam tertentu, banyak warung bebek mulai berdiri. Harganya terjangkau kantong mahasiswa pula. Seandainya buku-buku menyerang Ciputat dengan cara yang sama tentu akan sangat menyenangkan. Skala besar dan murah. Aih, tanpa perlu diburu, buku-buku berkualitas datang menghampiri. Nikmat betul, tapi tentu saja itu masih khayalan. Kita masih harus berburu. Lokasi berburu sudah ditentukan, tinggal diperlukan kesabaran untuk meraih mangsa terbaik.

Sebagai ungkapan syukur dan dengan maksud berbagi, saya menulis di twitter, “Malam minggu saya luar biasa, memboyong 22 buku bagus hanya dengan Rp. 250 ribu. Malmingmu gimana?” Beberapa teman merespons; menanyakan dimana, bertanya apakah akan saya baca semua? Sesenang hati Zakky memberi tahu setelah puas dengan perburuannya, saya pun kasih tahu tempatnya. Saya sudah akan mulai membaca ketika tiba-tiba ada mention dari Zakky, bunyinya, “dari 22 buku ada itu Cantik Itu Luka dan 1Q84, gak?”

Kita lihat saja nanti. Pertunjukkan masih jauh dari usai.

*** 

"Tumben ada sms," kata seorang jomblo ngenes yang ponselnya lebih menjadi aksesoris ketimbang alat komunikasi.

"Yaaah, dari Indosat," rutuknya kecewa.

Pura-pura tak mendengar monolog itu, saya ketawa terbahak-bahak memelototi buku sambil tiduran. Tentu saja buku yang saya baca bukan kitab lucu-lucuan: Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro. Ini buku seserius 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Sama disusun oleh orang banyak. Bedanya para penulis di buku pertama tidak mengaku sebagai sebuah tim yang mendapatkan mandat dari lembaga tertentu.

Buku kedua, kautahu, dua bulan ini membuat kehebohohan seperti penjaja obat keliling yang buka lapak di pengkolan jalan. Si penjaja terus-menerus ngoceh melalui pengeras suara, sementara orang-orang bergerombol berbisik-bisik tentang obat palsu, obat tipu-tipu, racun atau semacam itu. Tapi si penjaja tak peduli. Ia masih meyakini obatnya obat terbaik di dunia, --paling tidak di kampungnya. Ia terus berbusa-busa meski kata-kata yang keluar dari mikrofonnya makin tak karuan, acak-adut. Belakangan diketahui, lapak itu belum punya izin dari pihak terkait. Salah satu pentolan di belakang penjaja mengundurkan diri dan malah balik turut berbisik di tengah gerombolan. Tentu si penjaja kecewa, tapi ia terlanjur buka lapak. Dagangan yang laku belum seberapa, gunjingan tak sedap kian membabi-buta. Ditambah lagi, tukang gambar kemasan obatnya protes keras gara-gara gambar itu dipakai tanpa pemberitahuan. Skandal jepit!

Ngomong-ngomong, saya agak khawatir juga dicap neolib lantaran membaca buku pertama. Tapi buku ini cukup bagus dalam menghargai kiprah seorang tokoh di masa lalu. Tokoh ekonomi yang sungguhan berpengaruh, dengan kata lain pengaruhnya alami. Bukan tokoh dengan pengaruh buatan. Apalagi ditulis dengan sentuhan personal di sana-sini. Tidak melulu pembicaraan tentang kebijakan besar yang diambil sang tokoh. Jika boleh usul, ini hanya usul yang boleh digubris boleh tidak, barangkali akan keren juga bila kelak Ahmad Gaus menulis buku tebal berjudul Kesan Ahmad Gaus tentang Denny JA.

Setelah cukup lama hening, tenggelam dalam bacaan, tiba-tiba jomblo ngenes kita teriak, “yes!”

“Mas.. Mas! Besok ada stok buku baru datang,” katanya gembira.

“Serius?” saya tanya acuh tak acuh.

“Beneran! Ini aku baru di-sms Pak Ahmad Yani.”

“Ente kok seneng banget? Kayak abis jadian aja.”

Jomblo ngenes kita tertawa, lalu setelah menyeruput kopinya mulai sibuk mengatur rencana. Dia bilang malam ini dia akan tidur di kosannya, yang hanya sepenghisapan rokok putih jika ditempuh dengan jalan kaki dari Macondo, agar besok bisa bangun pagi dan langsung siap tempur. Singkatnya, biar persiapannya sangkil dan mangkus. Terus terang, saya sangat menyangsikan niatnya untuk bangun pagi. Dia makhluk malam yang kurang terpuji. Tapi saya mengangguk atas itikad sucinya.

Benar saja, sejak pukul sepuluh pagi saya hubungi si jomblo ngenes melalui telepon tapi nihil respons. Saya kirim pesan pendek, “San, jadi ke Cinere, gak?” Namanya Ahsan, lengkapnya Muhammad Ahsan Ridhoi. Tak ada balasan. Orang tuanya pasti menyisipkan doa dan berharap segala kebaikan di dunia ini dimilikinya ketika memberi nama yang canggih itu. Namun harapan memang seringkali berkebalikan dari kenyataan. Saya harus pergi ke Cinere seorang diri.

Di Cinere, saya kembali harus menelan kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Stok buku baru yang datang ternyata semuanya komik. Sempat terkulai lemas, tapi daripada tak dapat apa-apa saya menghimpun semangat untuk memeriksa timbunan buku secara seksama dan konsekuen. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, saya mendapat belasan buku non-fiksi menarik. Di antaranya, kumpulan kolom Gus Dur di Kompas mulai awal abad 21, Tahta untuk Rakyat-nya Sultan Hamengkubuwono IX. Lumayan.

Tiba di Macondo, sekitar pukul dua siang, saya disambut cengengesan Ahsan. Dalam hati saya berdoa, semoga dia lekas punya pacar dan perpustakaan pribadi yang lebih besar daripada Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Amin. (Bersambung)

Baca juga: Pemburu vs Pemburu (Bagian Kedua)

15.1.14

Sebuah Kritik Sebuah Apresiasi untuk Peterpan

Pertengahan dekade lalu, orang Indonesia mana yang tak kenal band Peterpan?

sumber gambar: Website resmi Noah

Di rumah-rumah, pasar tradisional dan modern, terminal, sekolah, kampus, kantor swasta dan pemerintah, lagu-lagu band asal kota kembang itu selalu diputar. Ada Apa Denganmu dan Mungkin Nanti diputar berulang-ulang sampai bosan telinga.

Popularitas yang luar biasa itu diraih Peterpan berkat penjualan album Bintang di Surga yang fantastis. Album kedua mereka yang dirilis pada Agustus 2004. Album dengan rekor penjualan terbanyak sepanjang sejarah musik Indonesia, laku hingga lebih dari 3 juta keping. Angka yang belum menghitung penjualan kaset dan CD di lapak bajakan.

Saking terkenalnya, pada saat album OST Alexandria diluncurkan Agustus 2005, konser mereka ditayangkan enam stasiun televisi sekaligus. Tayangan yang hanya bisa dikalahkan oleh siaran Dunia Dalam Berita dalam sejarah pertelevisian Indonesia. Tahun 2005, mereka memborong hampir semua penghargaan musik di tanah air.

Peterpan pertama kali muncul di belantika musik Indonesia pada tahun 2002. Di album kompilasi bersama sembilan band lainnya, Kisah 2002 Malam, lagu debut Mimpi yang Sempurna berhasil mengantarkan mereka ke tangga pertama popularitas.

Album perdana Taman Langit mendapat sambutan yang sangat hangat. Suara Ariel mulai akrab di telinga pendengar musik. Hits seperti Sahabat, Aku dan Bintang, Semua tentang Kita, Yang Terdalam sering diputar di radio-radio. Ariel, Uki, Lukman, Reza, Andika dan Indra menggenggam tiket menuju kesuksesan besar.

***

Banyak kritikus yang mengeluhkan kualitas musik Indonesia kontemporer. Mulai dari keseragaman tema, musikalitas yang monoton, hingga keberadaan acara musik di hampir semua stasiun televisi yang alih-alih memperkaya dan memajukan dunia musik, justeru menyeragamkan lagi mendangkalkan.

Tengoklah program televisi di pagi hari itu. Nyaris tidak ada obrolan tentang pilihan tema, sound dan proses penciptaan. Melulu canda-tawa dan pertunjukan banal.

Memang pernah ada Radio Show di salah satu stasiun televisi swasta, yang menyajikan pertunjukkan musik yang berbeda. Radio Show dibungkus dengan obrolan penciptaan, pilihan tema lagu, bagaimana band merawat komunitas fansnya dan lain-lain, yang memang berhubungan langsung dan berguna untuk perkembangan musik itu sendiri. Naas, program ini tak bertahan lama.

Peterpan, sebagai band papan atas, tidak luput dari kritik tersebut. Tema musik Peterpan adalah tema meminjam terma yang dipopulerkan Efek Rumah Kacacinta melulu. Dan secara musikalitas, Bintang di Surga tak menawarkan hal baru. Hampir tak ada pendewasaan dari Taman Langit. Suara yang dihasilkan bising karena semua instrumen yang seringkali dipaksa bermain bersamaan dengan partitur yang sama.

Sebagai contoh, simak bagaimana gitar Lukman dan keyboard Andika menumpuk di lagu Bintang di Surga. Laku keras di pasaran, tidak mengubah fakta bahwa kreativitas di lagu itu rendah.

***

Secara lirik, Peterpan sebenarnya sejak semula tidak buruk-buruk amat. Ariel, yang paling banyak bikin lagu, suka membaca karya sastra, punya minat besar pada puisi. Tidak heran bila ia sanggup menciptakan frasa “biar hujan menghapus jejakmu,” “berjalanlah walau habis terang,” dan masih banyak lagi. Bandingkan kualitas liriknya dengan lagu-lagu yang terkenal belakangan.

Secara musikalitas, mereka berbenah di album Hari yang Cerah yang dirilis 2007. Tak ada lagi bising tak penting seperti di album sebelumnya. Aransemen lebih sederhana, namun tepat guna dan mengena.

Barangkali hengkangnya bassist Indra dan keyboardist Andika di tahun 2006 turut mempengaruhi perkembangan ini. David, pengisi posisi keyboardist yang baru, bermain dengan sangat efektif dan kreativitasnya mampu mengimbangi pemain instrumen yang lain. Penumpukan partitur jarang ditemukan.

Simak lagu Menghapus Jejak yang menjadi nomor andalan. Begitu renyah di telinga, dengan komposisi yang tidak berlebihan, dinamis, dipadukan yang lirik yang kuat. Perlahan hatiku terbelenggu/ Kucoba untuk lanjutkan hidup// Engkau bukanlah segalaku/ Bukan tempat ‘tuk hentikan langkahku/ Usai sudah semua berlalu/ Biar hujan menghapus jejakmu.

Seorang teman, seorang Sahabat Peterpan totok, pernah berseloroh, “Abege jaman sekarang sering galau, susah move on, karena kebanyakan mendengarkan lagu patah hati yang memelas-melas, seakan-akan itu akhir kehidupan dan lebih baik mati. Coba kalau mereka mendengarkan Menghapus Jejak, pasti beda.”

Masih cinta melulu? Oh, tentu tidak. Ariel dkk jadi lebih banyak mengeksplorasi tema keterasingan, kekecewaan, keputusasaan dan perlawanan seorang anak manusia. Akar tema ini bisa dirujuk pada lagu Langit Tang Mendengar di album OST Alexandria. Ada Di Balik Awan yang puitis, Hari Yang Cerah untuk Jiwa yang Sepi yang bicara tentang upaya bertahan dan melawan keadaan, Kota Mati yang membisikkan mimpi-mimpi masa lalu, Melawan Dunia yang meradang-menerjang: Hanya bisa bicara/ Mereka tak beri jawaban// Tak perlu dengar kata mereka/ Teruslah berjalan. Ada pula Dunia yang Terlupa.

Praktis hanya Menghapus Jejak, Sally Sendiri dan Cobalah Mengerti yang megangkat tema percintaan. Lagu Lihat Langkahku dan Bebas meskipun secara implisit tentang hubungan lelaki dan perempuan, bisa juga dibaca dalam konteks rekanan atau pertemanan.

Sayangnya keberagaman tema itu tak dipertahankan setelah band ini bertransformasi menjadi Noah. Di album terbaru, Seperti Seharusnya, mereka terjangkit kembali virus cinta melulu. Memang ada Raja Negeriku yang mengangkat nasionalisme dan memasukkan pidato Sukarno, tapi satu lagu itu rasanya tak cukup membantu. Sayang sekali.


Ps: artikel ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Surah.