11.1.10

Warisan Gus Dur dan Pelarangan Buku

30 Desember 2009, Pukul 19.00 WIB mendadak beberapa stasiun tv menayangkan breaking news wafatnya Gus Dur. Seketika Indonesia berkabung. Berduka karena kehilangan salah satu putera terbaik bangsa. Sejenak kita dan media massa lupa tentang mobil baru para menteri, Pansus Century, dan Gurita Cikeas. Sejenak kita tinggalkan persiapan pesta tahun baru.


Kita semua tidak punya hak prerogatif untuk meragukan peran dan peranan besar Gus Dur bagi bangsa ini. Gus Dur memang sosok negarawan yang unik sehingga sering disalahpahami. Beliau sering dianggap kontroversial, sering dicap konsisten dalam inkonsistensi.

Gus Dur selalu maju dan baru. Sementara sesuatu yang baru selalu kontroversial. Ada kecenderungan alamiah manusia untuk mempertahankan status quo, kemapanan. Sementara keadaan dan peradaban selalu menghendaki perubahan. Pikiran dan tindakan Gus Dur seringkali melampaui banyak orang, sehingga kerapkali sulit diterima.

Diantara sifat Gus Dur yang paling menonjol adalah ketidaktakutannya akan perbedaan. Sehingga memungkinkan beliau menjadi pejuang demokrasi, penganjur perdamaian dan pahlawan pluralisme (Tajuk Rencana Kompas, 31/12/09). Gus Dur adalah tokoh dengan toleransi tinggi, yang meyakini bahwa perbedaan adalah rahmat.

Penghormatan terhadap Gus Dur seharusnya tidak berhenti pada upacara kenegaraan mengantar keberpulangan beliau ke rahmatullah. Bahkan pemberian gelar pahlawan nasional pun tidak akan berarti sama-sekali, jika bangsa ini tidak menghargai warisan gagasan dan pemikirannya.

Warisan Gus Dur dan pelarangan buku

Pagi hari, sebelum Gus Dur mendahului kita, media elektronik sedang meributkan buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro. Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM mengisyaratkan pelarangan buku tersebut dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun tv. Tak lama kemudian, terjadi insiden pengibasan buku oleh George, yang mengenai dahi kiri Ramadhan Pohan pada saat launching dan diskusi buku tersebut.

George sendiri adalah pengagum Gus Dur, setidaknya terlihat dari kutipan kata-kata Gus Dur pada cover bukunya. Begitu pula Patrialis, ia sendiri yang mengungkapkan kecintaannya kepada Gus Dur di hadapan para wartawan ketika tergopoh-gopoh masuk RSCM, beberapa saat setelah Gus Dur seda.

Akan tetapi, kegaguman tampaknya tinggal kekaguman. George alfa bahwa semua orang memiliki hak bicara dan musti dihormati. Sehingga lebih memilih mendahulukan akumulasi kekesalannya, daripada meneladani Gus Dur yang toleran dan menganggap ringan omongan orang.

Sementara, isyarat Patrialis dan –karena kegerahan- pemerintah untuk mengumumkan pelarangan peredaran buku George, jelas merupakan indikasi yang akan merendahkan warisan pemikiran Gus Dur. Melukai demokrasi, menodai penghormatan terhadap perbedaan.

Perbedaan pendapat dan pandangan mutlak terjadi di negara yang pluralistik. Demokrasi membuka ruang yang luas untuk perbedaan pendapat. Gus Dur telah meletakkan dasar-dasar toleransi di republik ini. Beliau telah membukakan jalan bagi perayaan perbedaan (pendapat). Akankah bangsa ini melupakannya begitu saja, segera setelah beliau wafat?

Pelarangan peredaran sebuah buku hanya akan mengulang lembaran sejarah lama, ketika republik ini dikuasai rezim otoriter. Sekaligus merupakan pembodohan sistematis yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Padahal negara, -melalui konstitusi- mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang rajin membaca. Dalam hal animo membaca masyarakatnya, Jepang merupakan negara yang menduduki peringkat teratas. Karena dibukakan kesempatan membaca seluas-luasnya. Jepang terbuka bagi semua buku di dunia ini. Bahkan buku yang dilarang di negara asalnya, dapat ditemukan copy-nya di Jepang berikut terjemahannya. Tidak tertutup kemungkinan, buku Membongkar Gurita Cikeas akan segera beredar disana.

Sekeras apapun usaha pemerintah untuk membungkam nada-nada sumbang yang menggerahkan, sejarah dan kemanusiaan akan tetap bergeming. Usaha untuk mengatasi perbedaan dengan pelarangan, hanya akan melahirkan perlawanan baru.

Sepanjang hayatnya, Gus Dur telah berjuang membela kaum minoritas dan tertindas di republik ini. Agar bangsa ini membuka mata dan telinga terhadap eksistensi dan suara mereka yang terpinggirkan. Gus Dur telah menunaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh etnis Tionghoa dan eks-PKI beserta keluarga.

Gus Dur telah memperjuangkan gagasan-gagasannya tidak hanya dengan perumusan secara konseptual. Melainkan juga dengan tindakan-tindakan yang mengambil berbagai risiko politik. Bahkan tidak jarang dengan pengorbanan.

Semoga George, Patrialis dan kita semua mampu menghormati Gus Dur dengan meneruskan perjuangannya.

1 komentar: