13.7.11

Siami, The Economist dan Harga Sebuah Kejujuran

Minggu pagi, 10 Juli di Hotel Arya Duta Cikini, saya menemukan sebuah pojok yang menjual koran-koran dan majalah-majalah internasional. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menyentuh dan membaca versi cetak majalah The Economist, Times, Foreign Policy dan lain-lain.


Tanpa pikir panjang, saya putuskan untuk membeli The Economist edisi 9-15 Juli 2011. Harganya Rp. 60.000. Judul dan laporan utamanya "Back to the coffee house: A 14-page special report on the future of news." The Economist edisi ini menurunkan laporan-laporan tentang pengaruh internet terhadap perkembangan dan masa depan media. Sangat menarik.

Tapi yang sangat menyita perhatian saya justru sebuah artikel tentang Indonesia dengan judul "More cheating, or else!" Sedih rasanya, mendapati berita memalukan tentang negeri sendiri yang dipublikasikan ke seantero dunia. Ketika Thailand disoroti karena Pemilu yang menghasilkan pemimpin perempuan baru yang cukup mengejutkan, Yingluck Shinawatra, Yunani dan Filipina dibicarakan perekonomiannya, Maroko dan Bahrain diperbincangkan karena pergolakan demokratisasi, Indonesia justeru 'dicibir' karena kasus contek-mencontek dalam Ujian Nasional. Sialan.


Tapi apa mau dikata, kenyataannya memang demikian. Dan saya terlanjur berjanji (pada diri sendiri) untuk tidak seprihatin SBY dalam melihat berbagai kenyataan di negara ini, betapa pun memprihatinkannya kenyataan itu, seperti halnya Siami yang ditulis The Economist dengan sangat menarik dan apik.

"...Indonesians have learned recently that their teachers add new twist  to a familiar tale: ordering their own pupils to cheat, even if they do not want to." Begitu kutipan pembuka dalam kabar buruk itu.

Ya, kita semua tahu, setidaknya  pernah mendengar kisah Siami. Media-media nasional beberapa waktu yang lalu sempat dibikin geger oleh kejujurannya. Siami, oh Siami. Entah kenapa, membaca satu tulisan pendek tentang Siami dalam Bahasa Inggris, rasanya lebih menyayat berlipat-lipat ketimbang tulisan berbahasa Indonesia yang paling panjang sekalipun.

"Teachers telling pupils to cheat was bad enough, but reaction to Siami's whistle-blowing was worse. Instead of being hailed for her honesty, she found her house surrounded by a mob of neighbours and fellow-parents..." Dan membaca potongan kalimat ini, seketika rasanya saya mau membunuh ke-Indonesia-an dalam diri. Malu semampus-mampusnya.

Entah bagaimana dengan si Presiden prihatin. Mungkin ia tetap akan semakin membanggakan diri di panggung internasional. Sementara masalah Siami dianggapnya tak cukup penting dan bukan masalah besar. Lebih penting penghargaan internasional tanggap bencana, sampai baliho ucapan selamat harus dipajang dimana-mana. Lebih besar urusan internal Partai Demokrat, sampai harus konferensi pers dan menuding pers memperkeruh suasana. (Saya cuma menebak-nebak, jangan tersinggung. Jauh di dasar hati, saya malah sangat berharap tebakan saya bakal keliru.)

Di Macondo, kos baru Saya dan Ahmad Makki, kami mulai berlangganan harian Kompas per Selasa, 12 Juli 2011. Hari itu, Opini Kompas memuat artikel Salahuddin Wahid dengan judul "Kejujuran Pun Terlupakan." Tulisan ini juga mengangkat Siami. Sebuah kebetulan yang menggemaskan.

Media massa dan ruang publik kita sebentar saja meributkan Siami. Kehebohan temporer seperti yang diciptakan infotainment. Dengan cepat mereda lalu kita lupa. Akar masalah dan cara mengatasinya bahkan belum juga ketemu.

Gus Sholah mengajak kita merenungkan kembali pentingnya kejujuran, yang  tampaknya semakin kita lupakan, kita tinggalkan. "Kalau kita menganggap kejujuran kurang penting diperjuangkan, kita tinggal menunggu kehancuran bangsa ini, cepat atau lambat." demikian tulisnya.

Karena kejujuran, adalah prasyarat utama dalam membentuk masyarakat yang saling percaya, tolong-menolong dan penuh kasih sayang. Tanpa rasa saling percaya, mustahil mewujudkan masyarakat yang aman dan sejahtera. Sebab, perekonomian dan perdagangan yang produktif tidak akan mungkin bisa bergerak tanpa kepercayaan.

Semoga jujurnya Siami tak disamakan harganya dengan jujur ayam dan jujur kacang ijo. Kita sebagai bangsa merdeka dan mengaku bermartabat yang membeli.

4 komentar:

  1. siap...klau dlu ada pepatah kejujuran mata uang yg brlaku dmana-mana. virus Siami harus ttap trsbar.good bang

    BalasHapus
  2. huhu

    kejujuran itu memang mahal

    BalasHapus
  3. "Semoga jujurnya Siami tak disamakan harganya dengan jujur ayam dan jujur kacang ijo. Kita sebagai bangsa merdeka dan mengaku bermartabat yang membeli."


    paragraf penutupnya luar biasa. i luv it!

    BalasHapus