25.10.12

Nasya Hu Rahma

"Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan." -  Pramoedya Ananta Toer

Tak terbayangkan betapa senangnya Bapak. Berpuluh-puluh tahun ia menanti kelahiran seorang puteri darah-dagingnya sendiri. 25 September 2012, tangis pertama Nasya Hu Rahma membuncahkan kebahagiaan.

Nasya Hu Rahma
Bapak begitu mendambakan anak perempuan. Dua kali menikah, empat anaknya semua lelaki. Sejak si bungsu, Buana Al Rasyid, mulai besar, harapan Bapak seakan tak mungkin lagi terwujud. Bapak mulai mengambil anak perempuan temannya untuk tinggal di rumah, diperlakukan sebagai anak. Beberapa kali begitu. Dari cara Bapak menyayangi, memberi perhatian beberapa itu, terlihat dalam di matanya keinginan besar untuk punya anak perempuan sendiri, darah dagingnya sendiri.

Tuhan memang seringkali bekerja dengan cara misterius, kadangkala dengan humor yang tak terkira. Anak perempuan idaman Bapak akhirnya lahir, setelah saya, anak pertamanya, berusia lebih 25 tahun! Saya hanya bisa mengulum senyum dengan cara bercanda yang seperti ini.

Nasya Lahir di pagi hari, kira-kira pukul sembilan, setelah malam sebelumnya, nigo (peringatan 3 hari kematian) Akas Didik, Ayah dari Umak. Pelipur lara yang manjur untuk Umak.

Nasya lahir ketika bumi ini dihuni oleh kira-kira 7 miliar jiwa. Ketika angka kematian ibu di Indonesia cukup tinggi,  228 jiwa per 100.000 kelahiran. Ketika anak Adam di berbagai tempat yang berbeda berusaha mengendalikan penambahan atau pengurangan angka kelahiran. Ada kebijakan pro-natalis, ada pula anti-natalis, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Ah, saya tidak akan bicara lebih banyak tentang ini.

Dan Engkau lahir, Dik... Selamat datang. Terima kasih telah menghadirkan kebahagiaan tiada tara itu di hati Bapak dan Umak. Kebahagiaan untuk keluarga besar di desa. Mang As dan Bibi, bahkan memberikan nama berbeda untukmu wahai sang buah hati, Ainun Rahmatullah, Rahma juga.


Setiap menelfon, Bapak bercerita dengan antusiasnya tentang Nasya. Bapak bilang, dia persis saya saat kecil. Oh. Sama seperti Bana kecil, dia sering berkeringat, jelas Bapak. Basah. Terbangun di malam hari, ia tidak akan berhenti menangis kalau belum diajak bicara, bercanda atau digoda.

"Kau 'ni Banut kecik," kata Bapak mengajaknya bicara, mencubit-cubit pipinya. Ia tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar