26.1.14

Pemburu vs. Pemburu (Bagian Kedua)

Sebuah tribut untuk Bazar Buku Murah Gramedia Cinere


Pria itu bernama Ahmad Yani. Badannya tinggi besar. Ia bukan pahlawan revolusi, melainkan Supervisor Bazar Buku Murah Gramedia Cinere. Barangkali karena perawakannya di atas rata-rata itu, ia gampang berkeringat. Pertama kali saya melihatnya di pintu masuk tenda bazar, di malam hari pertama, ia mengenakan setelan safari hitam dan sekujur wajahnya bersimbah peluh.

Mungkin ia habis olahraga. Tapi dugaan itu tentu saja salah. Ia sedang bertugas mengawasi bazar, mana sempat lari-lari atau angkat barbel?

Ia tampak ramah. Senyum selalu dikulumnya di hadapan setiap pelanggan. Sesekali ia mengangguk takzim pada yang melintas di depannya. Saya coba hampiri, sedikit berbasa-basi.

“Abis fitnes, Pak?” tanya saya dengan nada sok akrab. Ia tertawa.

“Saya emang gini, Mas, kalo abis makan. Apalagi ini kan tendanya terpal, jadi sumuk,” katanya mencoba menjelaskan sambil setengah tertawa. Bener juga. Hawa tenda ini memang panas, padahal malam, meski di beberapa titik ruangan diletakkan penyejuk ruangan.

Setelah basa-basi seputar bazar dan jenis buku favorit, saya minta nomor telepon genggam Pak Yani, --begitu kemudian saya biasa memanggilnya. Dengan senang hati dia memberi dan berjanji akan menghubungi setiap stok baru datang. Wah, rasanya seperti semua nasib baik akan menaungi dan berkisar pada saya seumur hidup.

Pesan pendek Pak Yani adalah senjata rahasia yang tidak dimiliki oleh Zakky Zulhazmi dan Jomblo Budiman. Belakangan baru saya ketahui bukan hanya saya yang memiliki akses terhadap pusaka itu, ada seorang Jomblo Ngenes dan seorang penjual buku berambut gondrong dari negeri entah berantah yang punya previlise sama.

Seterusnya tinggallah sejarah.

***

Setelah di hari Rabu saya sedikit kecele karena stok baru yang datang kesemuanya komik, Sabtu (25/1) Pak Yani meyakinkan bahwa stok yang datang kali ini tidak akan mengecewakan.

“Banyak novel bagus yang Mas cari. Kemarin baru dapet 20 koli,” katanya via pesan pendek.
Dengan semangat sumpah pemuda, semangat 45 dan segala semangat yang pernah menyala di titik puncaknya di negeri ini, saya dan Ahsan melangkah pasti menembus perkampungan yang masih asri ke arah Cinere. Hari yang cerah untuk jiwa yang mencari.

Ya, surga terhampar di hadapan kami dan kelihatannya belum banyak dijamah. Baru masuk, belum sempat mengaduk tumpukan, mata saya sudah menangkap Bilangan Fu-nya Ayu Utami dan Titik Nol-nya Agustinus Wibowo. Harganya berapa? Saya tidak sempat perhatikan, karena segenap indra saya telah terkonsentrasi untuk mencari buku keren yang tak boleh ditinggalkan. Lagian harga di sini bukan masalah, bukan? Dengan uang yang biasa kamu habiskan untuk sepuluh buku, kamu bisa mendapatkan lebih dari empat puluh buku. Buru dan tangkap sebanyak-banyaknya, tandaskan yang terbaik tanpa sisa, tak boleh luput.

Saya membongkar tumpukan satu per satu dengan damai, memastikan tak ada buku kualitas super yang terlewatkan. Hasil buruan segera saya taruh di tas berwarna hitam yang disediakan pihak bazar. Selang setengah jam, tas yang saya jinjing itu mulai kembung kepenuhan. Saya ambil tas lain. Ketika mengobok-obok, tas itu saya letakkan di tempat yang terjangkau tangan. Seakan tak mau lepas. Pindah ke lain tempat, keduanya saya jinjing. Cukup berat.

Tenda semakin ramai, hawa panas semakin terasa. Penyejuk ruangan di setiap pojok sebertinya tidak cukup. Melihat dua tas yang saya tenteng, dan perasaan yang sudah cukup puas, timbul keinginan saya mendekat ke penyejuk untuk menyapu peluh. Maka melangkahlah saya ke pojok kiri bagian belakang tenda. Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan seorang pria setengah baya yang hanya menenteng satu buku, tanpa tas jinjing, hanya satu buku tebal.

Mendadak saya lemas melihat apa yang didapat pria itu. Musashi karya Eiji Yoshikawa yang tebalnya masya Allah!

Saya mengutuk diri, menyesali keberuntungan pria yang terlihat tenang dan tanpa ambisi itu. Ia seperti diutus Tuhan, memperlihatkan kepada saya bagaimana orang yang tidak bernafsu besar memburu justru memperoleh mangsa terbaik. Saya sapa lelaki itu.

“Wah, dapet Musashi, Pak?”

“Hehe, iya. Beruntung.” Tentu saja Anda manusia paling beruntung di bawah
tenda ini.

“Boleh buat saya aja, Pak?” Pertanyaan bodoh. Namanya juga usaha.

“Saya emang udah punya sih, di rumah. Tapi udah buluk. Pasti lebih enak baca yang baru, murah lagi. Nggak rugi dikoleksi. Maaf ya,” katanya. Saya tereperangah mendengar jawabannya. Detik itu juga, saya ingin membakar tenda ini. Bapak itu berlalu meninggalkan saya yang berwajah muram.

Saya masih berdiri di tempat yang sama, menatap nanar Jomblo Ngenes, ketika tiba-tiba bapak itu memanggil saya lagi. Saya menoleh setengah melongo ke arahnya. Ia masih terlihat sangat tenang dan barangkali saya sangat mengenaskan.

“Saya tadi dapet ini di belakang, Mas. Di kardus-kardus. Coba cari lagi, siapa tahu masih ada,” katanya. Saya masih melongo. Di belakang? Kardus?

Kesadaran saya perlahan-lahan mulai kembali. “Oh, makasih, Pak.” Bergegas ke arah kardus-kardus yang ditumpuk, melupakan penyejuk ruangan. Dan puji Tuhan, tanpa mengacak-acak kardus terlalu lama, mata saya segera mendapati buku tebal yang menonjol itu. Saya girang bukan main. Langsung saya hampiri Bapak tadi dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ia membalas dengan senyum yang masih sangat tenang. Jomblo ngenes menghampiri saya dengan wajah terpana. Setelah memuji buku itu, dia juga bergegas ke kardus.


Tapi jomblo ngenes tak menemukan apa yang dicarinya. Stok buku itu mungkin hanya dua.

Saya kembali ke tumpukan buku dengan perasaan lega luar biasa. Tidak ada keinginan untuk membongkar tumpukan lagi, hanya ingin melihat-lihat barangkali ada yang menarik.

Sambil bersantai-santai, saya iseng menghubungi Zakky dan Jomblo Budiman. Zakky langsung membalas. Dia bilang dia sedang ambruk di tempat tidur, belum kuat ke mana-mana. Seketika itu simpati terdalam saya muncul. Dendam seakan menguap. Saya pikir saya harus mengunjunginya, membawakan oleh-oleh buku dan beberapa kilo jeruk.

Saya tanya apakah Zakky masih menginginkan Bilangan Fu, karena saya sudah punya, dia jawab sangat bergairah. Saya carikan beberapa buku lagi, bagaimanapun ia telah berjasa karena memberitahu tentang bazar. Saya temukan Manusia Atap-nya Astrid Lidgren dan Bermain dengan Cerpen-nya Maman S. Mahayana ada dua eksemplar, maka saya boyong semuanya. Satu untuk Zakky, satu untuk saya.

Saya ajak Ahsan segera pulang untuk menengok keadaan Zakky. Semoga ia baik-baik saja dan segera sembuh. Tidak adil rasanya berlomba dengan lawan yang sedang cedera. Saya ingin kompetisi yang sehat dalam perburuan ini.

Zakky menyambut kami dengan wajah tahanan dibesuk famili. Matanya berkaca-kaca seperti akan menangis ketika saya hibahkan tiga buku untuknya. Ah, mengharukan sekali. Ia lalu dengan lapang dada merelakan satu Cantik itu Luka untuk saya. Tentu saya terima dengan tangan terbuka.

Saya tinggal di Lembah Bunin untuk menemani Zakky hingga larut malam. Kira-kira pukul sembilan, Jomblo Budiman dengan wajah lelah tapi lega tentara pulang dari medan perang. Ternyata ia dari Cinere juga. Wajahnya tidak menunjukkan menang perang, karena hasil buruannya tidak begitu bagus. Terlebih sejak di perjalanan ia berniat membarter Bilangan Fu dengan Cantik itu Luka milik Zakky, tapi keinginan itu harus pupus. Beberapa jam sebelumnya telah terjadi serah-terima antara saya dan Zakky. Ciyan.

Melihat apa yang saya dapat, Jomblo Budiman terlihat begitu murka. Saya segera pasang kuda-kuda, berjaga kalau-kalau ia menyerang. Tapi ternyata ia tak punya cukup nyali untuk berlaga. Dengan wajah marah, ia bercerita bertemu dengan banyak orang Ciputat di Cinere. Abi Setio Nugroho, Matin Halim, Reval, Udin dan lain sebagainya. Ketika ia ngoceh, tanpa sepengetahuannya, saya seluncupkan Senopati Pamungkas miliknya ke dalam tas saya.

Saya pulang ke Macondo dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Melampaui puas dan bahagia. Reval dan Udin menyambut dengan kopi panas. Lalu saya nyalakan sebatang rokok sambil mengintip buku-buku yang dibeli Reval. Berikut judul-judulnya: Wealth Management: Menuju Kebebasan Finansial; Pemimpin dan Perubahan: Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia; 111 Ide Penjualan Dosis Tinggi yang Terbukti Sukses; Semua Bisa Mmenjadi Programmer Java; Guerilla Publicity: Ratusan Taktik Jitu Menjual secara Maksimal Dengan Modal Minimal; Omset Meroket dengan Strategi Manajemen Pemasaran dan Manajemen Sumber Daya Manusia; Crowd: Marketing Becomes Horizontal; Manajemen Ha$il: Pengelolaan Orang yang Efektif untuk Pencapaian Hasil yang Luar Biasa; Handbook Pintar Bisnis dari Nol; Membuka Rahasia Rasulullah dalam Berbisnis (Pedagang yang Amanah & Benar Akan Bersama dengan Para Syuhada di Hari Kiamat Nanti ~ HR. Ibnu Majah)

Subhanallah sekali, bukan? Anda perlu tahu, sejak mengkhatamkan Rahasia Bisnis ala Rasulullah itu, Reval semakin rajin salat. Saya turut bangga dan bahagia. Bukan apa-apa, Reval adalah aktivis sebuah organisasi yang sering dicap sebagai komunis dan atheis. Tentu ini kabar gembira.

Karena pengaruh kopi, saya tidak bisa langsung tidur. Reval, Udin dan Ahsan telah tenggelam dalam bacaannya masing-masing. Sementara saya, saking banyaknya pilihan buku bagus, sampai bingung sendiri mau mulai baca yang mana. Saya ingat pernah membaca tulisan yang tertempel di dinding Perpustakaan Pabelan; "pemilik buku yang sesungguhnya adalah pembacanya, bukan kolektornya." Entah milik siapa kata-kata itu. Berdasarkannya, derajat saya sekarang berarti masih kolektor. Saya harus membacanya agar benar-benar menjadi pemilik. (Bersambung)

Baca juga: Pemburu vs. Pemburu (Bagian Pertama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar