17.3.14

Sebuah Usaha Menonton Surat Cinta

Raisa Kamila, mahasiswi Filsafat Universitas Gajah Mada, terlihat gusar di depan Lembaga Indonesia-Perancis (LIP), Sagan, Yogyakarta. Ia, bersama dua orang temannya, mondar-mandir menemui panitia, menyampaikan komplain, sesekali mencoba merayu agar diperbolehkan masuk ke ruang pertunjukan. 


“Tadi aku udah di sini dari jam setengah lapan. Telat masuk gara-gara nunggu temen,” katanya sambil memegang bagian kiri kepalanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

“Aku mutung lho, Mas..”

Apa boleh buat. Dengan berat hati, seorang panitia menyampaikan permintaan maaf kepada Raisa dan kawan-kawannya. Panitia tidak punya kewenangan membuka pintu, karena akan mengganggu jalannya  pertunjukkan. Setelah Raisa, ada pula segerombolan mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta, yang terlambat dan tidak bisa masuk.

Raisa harus menelan kekecewaannya.

“Aku udah dari jauh-jauh hari tuker tiket. Ini dari pagi di kampus, nggak sempet pulang dulu, langsung ke sini,” ujarnya, lirih.

Dalam rangka memperingati 15 tahun berkarya, sastrawan Puthut EA menggelar hajatan bersama Teater Gardanala. Cerita-cerita karangan Puthut diangkat di panggung teater.

Untuk mendapatkan tiket pertunjukan, caranya unik. Bukan dengan mengeluarkan sejumlah uang, melainkan dengan menukarkan sebuah buku yang akan disumbangkan ke perpustakaan di Papua. Raisa dan dua temannya, serta tujuh orang mahasiswa UIN yang terlambat adalah pemegang tiket yang sebelumnya telah menyumbang buku.

Raisa tak bisa menyembunyikan kekesalannya, apalagi ketika ada panitia yang bertanya memangnya ia sangat suka karya-karya Puthut. “Kalo nggak suka, nggak mungkin bela-belain datang ke sini. Dari kampus langsung ke sini. Telat pun masih usaha buat masuk,” gerutunya.

Ia mengaku telah menyukai karya-karya Puthut EA sejak duduk di bangku sekolah menengah. 

***

Benar, sesuai yang kukira, hujan turun lebih dulu sebelum aku sampai. Aku mempercepat langkah, melewati jalan tanah, tetapi hujan turun semakin menderas. Aku mulai berpikir untuk berteduh di villa terdekat, tetapi aku ragu. Di saat itulah, pintu vila yang kumaksud terbuka, sesorang melambaikan tangannya.

“Mau masuk atau di sini saja?”

“Di sini saja. Maaf..”

“Tidak apa-apa. Mau handuk?

“Terima kasih. Belum terlalu basa.” (Keduanya tertawa kecil)

“Tinggal di bawah?”

Mengangguk. “Habis dari membeli rokok. O ya, boleh..” Memberi isyarat dengan menempelkan dua jari, tengah dan telunjuk, di mulut.

“Silakan. Aku juga merokok.”

“Maaf, ada korek?”

“Pasti.” Bangkit, berjalan, berhenti sebentar, menoleh. “Mau kopi?”

“Itu yang saya tunggu.” Tertawa. 


Begitulah adegan pembuka dari pementasan Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. Obrolan biasa dan sederhana dari dua orang asing yang baru saja bertemu. Pementasan ini, secara umum, boleh dibilang adalah perayaan keterasingan bersama orang asing.

Adegan demi adegan bergerak sangat perlahan. Tidak ada kejutan yang dihadirkan oleh sutradara Joned Suryatmoko, sebagaimana cerita karangan Puthut EA yang memang mengalir perlahan. Tidak ada akting berlebihan yang dihadirkan, semuanya terasa wajar seperti pertemuan dan percakapan sehari-hari.

Tapi barangkali di situlah letak kelebihannya, pementasan ini menyanyikan kehidupan yang wajar dengan segala permasalahan pelik di dalamnya. Permasalahan-permasalahan dihadirkan dalam dialog—sesuatu yang menjadi keunggulan Puthut EA selama ini dalam karya-karyanya..

Untuk pementasan ini, Joned memilih tiga naskah cerita pendek Puthut: Sebuah Usaha menulis Surat Cinta, Obrolan Sederhana dan Laki-laki yang Kusentuh Rambutnya. Ketiganya telah memenuhi semua syarat untuk dipentaskan, kata Joned, punya peristiwa yang tidak rumit dipanggungkan, dan memiliki dialog yang kuat.

Joned juga menerangkan, ia hanya menyalin-tempel dialog yang telah ada dalam ketiga cerpen tersebut dan hanya menambahkan petunjuk pengadeganan. Ia merasa ketiga karya Puthut tersebut telah cukup utuh untuk diteaterkan, bahkan ia sama sekali tidak menambahkan nama. Semua tokohnya adalah anonim, hanya “Aku,” “Anda” dan “Dia.”

Pilihan tersebut terbukti tepat untuk pementasan ini. Ia menjadi metafora manusia-manusia kelas menengah yang anonim di tengah rutinitas kehidupan modern.

Meski terkesan sangat datar, pementasan ini menyanyikan pergelutan manusia modern dengan kehidupannya. Yang disasar adalah kedalaman jiwa setiap penonton, bukan permukaan yang bisa dipancing begitu saja dengan canda yang banal.

Dengan penyajian yang wajar dan dialog yang kuat, Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta mengajak penonton untuk merenungkan eksistensinya, khususnya kelompok kelas menengah yang “cepat khawatir, gampang curiga dan mudah resah.”

Dan lebih jauh lagi, pementasan ini mengajak penontonnya bertanya: “Apakah kita sudah cukup berbahagia dengan kehidupan kita?

***

Puthut EA menyebut pementasan yang diselenggarakan pada 15 dan 16 Maret 2014 itu sebagai syukuran. “Syukuran berkarya yang saya lakukan 5 tahun sekali, dan selalu diadakan di Yogyakarta karena saya berhutang budi pada kota ini,” katanya.

Di hari pertama, pertunjukkan ini khusus untuk tamu undangan. Auditorim LIP yang hanya berkapasitas 100 orang dipenuhi oleh relasi dan kenalan dekat Puthut. Dan di hari kedua, pertunjukkan dibuka untuk umum, syaratnya menukarkan undangan dengan buku.

Namun ternyata, tidak semua pemegang tiket atau undangan bisa masuk. Beberapa orang yang terlambat, seperti Raisa dan kawan-kawannya, harus gigit jari dan meninggalkan lokasi tanpa kesan berarti.

“Maaf buat rekan2 yang kehabisan tiket di pementasan syukuran 15 tahun saya berkarya. Maaf juga untuk yang terlambat dan tidak diperbolehkan masuk. Akhirnya tetap saja: saya tidak bisa membahagiakan semua orang,” tulis Puthut di akun Twitternya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar