Raisa
Kamila, mahasiswi Filsafat Universitas Gajah Mada, terlihat gusar di depan
Lembaga Indonesia-Perancis (LIP), Sagan, Yogyakarta. Ia, bersama dua orang
temannya, mondar-mandir menemui panitia, menyampaikan komplain, sesekali
mencoba merayu agar diperbolehkan masuk ke ruang pertunjukan.
“Tadi aku udah di sini dari jam setengah lapan. Telat masuk gara-gara nunggu temen,” katanya sambil memegang bagian kiri kepalanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.
“Aku
mutung lho, Mas..”
Apa boleh
buat. Dengan berat hati, seorang panitia menyampaikan permintaan maaf kepada Raisa dan kawan-kawannya. Panitia tidak punya kewenangan membuka pintu, karena akan
mengganggu jalannya pertunjukkan. Setelah Raisa, ada pula
segerombolan mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta, yang terlambat dan
tidak bisa masuk.
Raisa
harus menelan kekecewaannya.
“Aku udah
dari jauh-jauh hari tuker tiket. Ini dari pagi di kampus, nggak sempet pulang
dulu, langsung ke sini,” ujarnya, lirih.
Dalam
rangka memperingati 15 tahun berkarya, sastrawan Puthut EA menggelar hajatan
bersama Teater Gardanala. Cerita-cerita karangan Puthut diangkat di panggung
teater.
Untuk
mendapatkan tiket pertunjukan, caranya unik. Bukan dengan mengeluarkan sejumlah
uang, melainkan dengan menukarkan sebuah buku yang akan disumbangkan ke
perpustakaan di Papua. Raisa dan dua temannya, serta tujuh orang mahasiswa UIN
yang terlambat adalah pemegang tiket yang sebelumnya telah menyumbang buku.
Raisa tak
bisa menyembunyikan kekesalannya, apalagi ketika ada panitia yang bertanya
memangnya ia sangat suka karya-karya Puthut. “Kalo nggak suka, nggak
mungkin bela-belain datang ke sini. Dari kampus langsung ke sini. Telat pun masih usaha buat masuk,” gerutunya.
Ia
mengaku telah menyukai karya-karya Puthut EA sejak duduk di bangku sekolah
menengah.
***
Benar,
sesuai yang kukira, hujan turun lebih dulu sebelum aku sampai. Aku mempercepat
langkah, melewati jalan tanah, tetapi hujan turun semakin menderas. Aku mulai
berpikir untuk berteduh di villa terdekat, tetapi aku ragu. Di saat itulah,
pintu vila yang kumaksud terbuka, sesorang melambaikan tangannya.
“Mau
masuk atau di sini saja?”
“Di
sini saja. Maaf..”
“Tidak
apa-apa. Mau handuk?
“Terima
kasih. Belum terlalu basa.” (Keduanya tertawa kecil)
“Tinggal
di bawah?”
Mengangguk.
“Habis dari membeli rokok. O ya, boleh..” Memberi isyarat dengan menempelkan
dua jari, tengah dan telunjuk, di mulut.
“Silakan.
Aku juga merokok.”
“Maaf,
ada korek?”
“Pasti.”
Bangkit, berjalan, berhenti sebentar, menoleh. “Mau kopi?”
“Itu
yang saya tunggu.” Tertawa.
Begitulah adegan pembuka dari pementasan Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. Obrolan biasa dan sederhana dari dua orang asing yang baru saja bertemu. Pementasan ini, secara umum, boleh dibilang adalah perayaan keterasingan bersama orang asing.
Adegan
demi adegan bergerak sangat perlahan. Tidak ada kejutan yang dihadirkan
oleh sutradara Joned Suryatmoko, sebagaimana cerita karangan Puthut EA yang
memang mengalir perlahan. Tidak ada akting berlebihan yang dihadirkan, semuanya
terasa wajar seperti pertemuan dan percakapan sehari-hari.
Tapi
barangkali di situlah letak kelebihannya, pementasan ini menyanyikan kehidupan
yang wajar dengan segala permasalahan pelik di dalamnya. Permasalahan-permasalahan
dihadirkan dalam dialog—sesuatu yang menjadi keunggulan Puthut EA selama ini
dalam karya-karyanya..
Untuk
pementasan ini, Joned memilih tiga naskah cerita pendek Puthut: Sebuah Usaha menulis Surat Cinta,
Obrolan Sederhana dan Laki-laki yang Kusentuh Rambutnya.
Ketiganya telah memenuhi semua syarat untuk dipentaskan, kata Joned, punya
peristiwa yang tidak rumit dipanggungkan, dan memiliki dialog yang kuat.
Joned
juga menerangkan, ia hanya menyalin-tempel dialog yang telah ada dalam ketiga
cerpen tersebut dan hanya menambahkan petunjuk pengadeganan. Ia merasa ketiga
karya Puthut tersebut telah cukup utuh untuk diteaterkan, bahkan ia sama sekali
tidak menambahkan nama. Semua tokohnya adalah anonim, hanya “Aku,” “Anda” dan
“Dia.”
Pilihan
tersebut terbukti tepat untuk pementasan ini. Ia menjadi metafora
manusia-manusia kelas menengah yang anonim di tengah rutinitas kehidupan modern.
Meski
terkesan sangat datar, pementasan ini menyanyikan pergelutan manusia modern
dengan kehidupannya. Yang disasar adalah kedalaman jiwa setiap penonton, bukan
permukaan yang bisa dipancing begitu saja dengan canda yang banal.
Dengan
penyajian yang wajar dan dialog yang kuat, Sebuah
Usaha Menulis Surat Cinta mengajak penonton untuk merenungkan
eksistensinya, khususnya kelompok kelas menengah yang “cepat khawatir, gampang
curiga dan mudah resah.”
Dan lebih
jauh lagi, pementasan ini mengajak penontonnya bertanya: “Apakah kita sudah
cukup berbahagia dengan kehidupan kita?”
***
Puthut EA
menyebut pementasan yang diselenggarakan pada 15 dan 16 Maret 2014 itu sebagai
syukuran. “Syukuran berkarya yang saya lakukan 5 tahun sekali, dan selalu
diadakan di Yogyakarta karena saya berhutang budi pada kota ini,” katanya.
Di hari
pertama, pertunjukkan ini khusus untuk tamu undangan. Auditorim LIP yang hanya
berkapasitas 100 orang dipenuhi oleh relasi dan kenalan dekat Puthut. Dan di
hari kedua, pertunjukkan dibuka untuk umum, syaratnya menukarkan undangan
dengan buku.
Namun
ternyata, tidak semua pemegang tiket atau undangan bisa masuk. Beberapa orang
yang terlambat, seperti Raisa dan kawan-kawannya, harus gigit jari dan
meninggalkan lokasi tanpa kesan berarti.
“Maaf
buat rekan2 yang kehabisan tiket di pementasan syukuran 15 tahun saya berkarya.
Maaf juga untuk yang terlambat dan tidak diperbolehkan masuk. Akhirnya tetap
saja: saya tidak bisa membahagiakan semua orang,” tulis Puthut di akun
Twitternya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar