oleh: Etgar Keret
Temanku Tedjo memintaku menuliskan sebuah cerita yang bisa membantunya mendapatkan seorang gadis untuk diajak bobok-bobok lucuk.
"Elo kan pernah nulis cerita yang bikin cewek-cewek mewek," katanya. "Cerita yang bikin mereka ketawa juga pernah. Sekarang coba deh lo tulis satu cerita yang bakal bikin mereka mau tidur sama gue.”
Kucoba menjelaskan kepadanya bahwa sebenarnya tidak begitu-begitu amat. Benar, ada beberapa cewek yang nangis ketika mereka membaca ceritaku, dan ada beberapa cowok yang—
"Lupain soal cowok-cowok itu," sela Tedjo. "Yang cowok bukan buat gue. Gue bilangin dari sekarang, ya, biar lo gak perlu nulis cerita yang bakal bikin semua yang baca mau tidur sama gue, cukup yang cewek-cewek aja. Gue tegasin ini duluan biar gak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Jadi kujelaskan lagi kepadanya, dengan nada sabar, bahwa tidak bisa seperti itu. Cerita bukanlah mantra ajaib atau hipnoterapi; cerita hanya sebuah cara untuk berbagi sesuatu yang kau rasakan dengan orang lain, sesuatu yang intim, kadang-kadang bahkan bikin malu, itu—
"Nah," Tedjo menyela lagi, "Kalo gitu coba berbagi sesuatu yang bikin malu, yang bakal bikin cewek-cewek mau tidur sama gue." Dia, si Tedjo ini, memang tak bisa mendengarkan. Dia tak pernah mendengarkan, setidaknya tidak kepadaku.
Aku bertemu Tedjo pada sebuah acara pembacaan cerpen yang dia selenggarakan di Bekasi. Ketika bicara tentang kisah-kisah yang dicintainya, malam itu, dia begitu gembira sampai terbata-bata. Dia sangat bergairah, si Tedjo ini, dan kelebihan energi, dan jelas bahwa ia tidak benar-benar tahu ke mana harus menyalurkannya. Kami belum ngobrol banyak, tapi aku bisa langsung melihat bahwa dia cerdas dan berintegritas. Orang yang bisa diandalkan. Tedjo adalah jenis manusia yang kau inginkan ada di sampingmu di sebuah rumah yang terbakar atau di kapal yang karam. Tipe pria yang kau tahu tidak akan melompat ke sekoci dan meninggalkanmu seorang diri.
Tapi saat ini kami tidak sedang berada di rumah yang terbakar atau kapal yang karam, kami hanya minum minuman organik, susu kedelai, di sebuah kafe yang alami dan funky di Bogor. Ini yang membuatku sedikit sedih. Karena jika ada sesuatu yang terbakar atau tenggelam di sekitar sini, aku bisa mengingatkan diri sendiri alasan-alasan aku menyukainya. Tapi ketika Tedjo mulai agak maksa untuk menuliskan cerita yang dia mau, dia sungguh memuakkan.
"Kasih judul, 'Pria Bernama Tedjo'," katanya. "Atau cukup 'Tedjo.' Lo tau? 'Tedjo' aja lebih bagus. Dengan gitu, cewek-cewek itu bisa tau harus kemana dan nyari siapa, terus, akhirnya, jedder! Mereka gak terlalu ngerti apa yang terjadi. Tiba-tiba, mereka ngeliat gue beda. Tiba-tiba, mereka ngerasa darah mereka kepompa sampai ubun-ubun, nelen ludah, terus bilang, 'Tedjo, apa kamu tinggal di deket-deket sini? "Atau," Tolong, jangan tatap aku kayak gitu," tapi nadanya justru pengen bilang sebaliknya: "Tolong, tolong, terus tatap aku kayak gitu," dan gue bakal ngangkut mereka, gituan deh, seolah-olah spontan, seolah-olah gak ada hubungannya sama cerita yang lo tulis. Nah, gitu tuh. Cerita yang kayak gitu yang gue pengen lo tulis. Ngerti gak, Lo?"
Lalu aku berkata, "Tedjo, udah setaun kita gak ketemu. Ngobrol dong, lo ngapain aja setaun ini, apa yang baru. Atau mending lo tanya gue ngapain aja setaun ini, gimana anak gue."
"Kagak ada apa-apa gue," katanya tidak sabar, "dan gue gak perlu tau soal anak lo, udah tau semua. Gue baca wawancara lo di Tempo tempo hari. Di wawancara jelek itu lo kan ngomongin anak lo melulu. Gimana dia ngomong ini, gimana itu. Yang wawancara nanyain lo soal nulis, soal kehidupan di Israel, soal ancaman Iran, terus kayak Rottweiler melet lo ngutip anak lo melle, seakan-akan dia jenius kayak Habibie."
"Dia emang cerdas banget," kataku defensif. "Dia punya sudut pandang yang unik soal kehidupan. Beda dengan kita, orang dewasa."
"Baguslah," Tedjo mendengus. "Jadi, gimana? Lo mau nulis cerita buat gue atau nggak?"
Maka sekarang aku duduk di kursi kayu-imitasi menghadapi meja tulis plastik di hotel bintang lima KW super, hotel bintang tiga yang Konsulat Israel bayarkan sewanya untukku selama dua hari, mencoba untuk menuliskan cerita buat Tedjo. Aku berjuang menggali sesuatu dalam hidupku yang penuh jenis emosi yang akan membuat para gadis terperosok ke ranjang Tedjo. Aku sebenarnya tidak mengerti, omong-omong, kenapa si Tedjo tidak mencari sendiri gadis-gadis untuk ditidurinya. Dia lelaki yang baik dan cukup tampan, jenis lelaki yang bisa dengan mudah merayu seorang pelayan restoran di kota kecil lalu tinggal lepas landas. Mungkin itu masalahnya: dia tidak bisa setia. Setia dengan wanita, maksudku. Tapi ketika rumah-rumah terbakar atau kapal tenggelam, seperti yang sudah kukatakan, kau bisa mengandalkan Tedjo sepenuhnya. Jadi mungkin itulah yang harus kutulis: sebuah cerita yang akan membuat para gadis berpikir bahwa Tedjo orangnya setia. Bahwa mereka bisa mengandalkannya. Atau sebaliknya: sebuah cerita yang terang bagi semua gadis yang membacanya bahwa kesetiaan itu lebay. Bahwa kau harus membebaskan hatimu dan tidak perlu khawatir tentang masa depan. Ikuti kata hati dan kau akan mendapati dirimu hamil setelah Tedjo lama menghilang,—menyelenggarakan pembacaan puisi di Mars yang disponsori oleh NASA. Dan lima tahun kemudian, di sebuah siaran langsung, dia bilang dia mendedikasikan acara itu untukmu dan Dian Sastro, kau pun menunjuk layar di ruang tamu itu dan berkata, "Kamu lihat orang yang memakai baju ruang angkasa itu, Tedjo Junior? Dia bapakmu."
Mungkin aku harus menulis cerita tentang itu. Tentang seorang wanita yang bertemu lelaki seperti Tedjo, ganteng dan baik belaka, berjiwa bebas dan jelmaan omong kosong sifat baik semua pria yang ingin bercinta di seluruh dunia. Dan dia fasih memberi penjelasan menggairahkan tentang tetek-bengek evolusi, tentang bagaimana wanita menjadi monogamis karena mereka ingin laki-laki melindungi anak-anak mereka, dan bagaimana laki-laki berpoligami karena mereka ingin menghamili sebanyak mungkin wanita, dan tidak ada yang dapat kau lakukan untuk mengubah itu, alamiah, dan itu lebih kuat daripada calon presiden KMP atau artikel Nova yang berjudul Bagaimana Mempertahankan Suami Anda.
"Kau harus hidup untuk saat ini," lelaki dalam cerita itu akan berkata, dia pun tidur dengan si wanita lantas mematahkan hatinya. Dia tidak akan pernah bertindak seperti beberapa bajingan yang bisa si wanita campakan dengan mudah. Dia akan bertindak seperti Tedjo. Yang berarti bahkan ketika Tedjo merusak hidupnya, si wanita ini masih akan tetap ramah dan baik, dan—ya—melankolis juga. Dan itu akan membuat semua usaha untuk berpisah dengan Tedjo nyaris mustahil. Pada akhirnya, ketika ingin lepas dari Tedjo, dia akan menyadari bahwa hubungan itu masih layak diperjuangkan. Itulah bagian yang paling sulit: bagian "masih-layak-diperjuangkan" itu. Aku bisa menghubungkan semua skenario seperti menghubungkan smartphone dengan wifi di Kedai Kopi Phoenam, tapi skenario "masih-layak-diperjuangkan" ini jauh lebih rumit. Setelah kecelakaan tabrak lari Tedjo, apa yang bisa membuat gadis dalam cerita itu justru tidak merasakan sakit di tubuhnya melainkan justru sedih dan penyok di bumper jiwanya lantaran ditinggal?
"Ketika dia terbangun di tempat tidur, si lelaki sudah pergi," Tedjo membacakan naskahku, "tapi bau tubuhnya melekat. Bau air mata seorang anak ketika merengek di toko mainan..."
Tedjo tiba-tiba berhenti, menatapku kecewa. "Sampah apa ini?" Tanyanya.
"Keringet gue kagak bau. Bangke, gue bahkan gak keringetan. Gue beli deodoran khusus, aktif 24 jam sehari, dan gue gak cuma olesin di ketek doang, gue olesin ke seluruh badan, tangan juga, seenggaknya dua kali sehari. Terus anak yang ngerengek... itu neraka, coy. Cewek yang baca cerita kayak gini gak mungkin mau tidur sama gue."
"Baca dulu sampai akhir," kataku. "Ini cerita yang dahsyat. Waktu selesai nulis ini, gue nangis."
"Dahsyat," kata Tedjo, "Ya dahsyat banget buat lo. Lo tau kapan terakhir kali gue nangis? Waktu gue jatoh dari sepeda gunung, 'pala gue retak dan harus dijait dua puluh jaitan. Udah sakit banget, gue juga gak punya asuransi, jadi waktu 'pala gue dijait, gue bahkan gak bisa teriak, gak bisa ngasihanin diri sendiri kayak orang-orang, karena gue harus mikirin di mana gue bakal dapet duit. Itu terakhir kalinya gue nangis. Terus lo juga nangis, gue tersentuh, beneran, tapi itu sama sekali gak membantu gue mecahin masalah."
"Gue cuman mau bilang itu cerita yang bagus," kukatakan kepadanya, "dan gue seneng gue nulis itu."
"Gak ada yang minta lo buat nulis cerita bagus," kata Tedjo, semakin marah. "Gue minta lo buat nulis cerita yang bisa nolongin gue. Cerita yang bisa bantu nyelesain masalah riil temen lo. Ini kayak gue minta lo nyumbangin darah buat nyelamatin idup gue, gue bukan minta lo nulis cerita yang bagus atau nangis waktu lo mbacain cerita itu di pemakaman gue."
"Elo kan nggak mati," kataku, sewot. "Lo bahkan nggak sekarat."
"Iya," teriak Tedjo, "Gue, gue sekarat. Gue kesepian, dan bagi gue, kesepian itu sama kayak sekarat, bangsat. Lo gak liat? Gue gak punya anak cerewet umur TK yang bisa komentar cerdas, yang bisa gue obrolin bareng bini yang cakep. Gue nggak. Terus cerita ini? Gue gak tidur semaleman. Semalem gue cuma gegoleran di kasur, mikir: Bentar lagi, temen gue dari Israel bakal ngubah idup gue, gue gak bakal kesepian lagi. Sementara gue semangat mikir kayak gitu, lo cuma nulis cerita bagus."
Ada jeda sebentar, akhirnya aku minta maaf. Jeda singkat yang membuatku menyesal. Tedjo mengangguk dan mengatakan tidak perlu dipikirkan. Dia bilang dia terlalu asyik sendiri. Ini benar-benar kesalahannya. Dia seharusnya tidak memintaku melakukan hal yang bodoh itu, tapi dia putus asa.
"Gue sempet lupa elo agak ketat soal nulis, lo perlu metafora, pemahaman dan macem-macem. Di pikiran gue, sebenernya itu jauh lebih simpel, lebih nyenengin. Lo gak perlu nulis mahakarya. Sesuatu yang mentereng. Gue pikir lo cuma perlu nulis sesuatu yang dimulain pake: 'Temanku Tedjo memintaku menuliskan sebuah cerita yang bisa membantunya mendapatkan seorang gadis untuk diajak bobok-bobok lucuk' terus endingnya pake semacam trik posmodern yang keren, gitu. Lo tau kan, sia-sia tapi bukan sia-sia biasa. Sia-sia yang seksi. Misterius."
"Gue bisa bikin gitu," kataku setelah beberapa saat. "Gue bisa nulis buat lo yang kayak gitu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar