17.4.15
Ibu-ibu Rembang
Minggu sore di penghujung Januari, hujan turun rintik-rintik di tapak pabrik, langit masih biru. Tak terlihat aktivitas berarti dari tenda ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan yang juga berwarna biru. Beberapa ibu terlihat keluar dari tenda utama menuju tenda kecil di sebelah utara. Tenda kecil itu sepertinya difungsikan sebagai kamar kecil. Di selatan tenda, beberapa satpam pabrik terlihat hanya duduk-duduk malas di poskonya. Begitu pula polisi di sebelah timur tenda. Saya berteduh di pinggiran sebuah gubug milik warga, dua orang polisi tengah tiduran di dalam. Mungkin mereka lelah. Di hadapan saya, membentang hijaunya padi yang mulai mengeluarkan bulirnya. Tak peduli hujan, sepasang petani tua masih sibuk menyiangi rumput. Capung-capung beterbangan. Sepasang capung terlihat bercinta, sambil terbang. Hebat ya. Kalau pabrik semen jadi beroperasi, saya tidak tahu apakah sepasang capung itu masih bisa bercinta di sana. Saya kembali mengalihkan pandangan ke tenda ibu-ibu yang sudah bertahan di sana selama tujuh bulan. Saya ingat film Where Do we Go Now, tentang ibu-ibu di sebuah desa di Lebanon yang berjuang mati-matian agar suami dan anak-anak mereka tidak saling hantam hanya karena perbedaan agama–Islam dan Kristen. Mengenyahkan televisi yang banyak mengabarkan perang, menguburkan senjata, mengundang pekerja seks komersial dari kota untuk menyemarakkan suasana desa dan mengalihkan perhatian. Di mana-mana, kaum lelaki sama saja. Di Lebanon kek, di Indonesia kek, semuanya sok ambisius, sok kuat, sok hebat. Mereka berkelahi untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa. Mereka menanam pabrik semen di kawasan karst. Untuk mengurangi angka pengangguran, katanya. Kaum perempuan yang harus menanggung penderitaan. Saya kembali ke hijau sawah, mencari-cari sepasang capung yang tadi bercinta. Ratusan capung masih bermain-main di sana. Saya tidak tahu apakah mereka masih akan tetap di sana ketika bebatuan Pegunungan Kendeng diledakkan pekerja pabrik. Saya kehilangan jejak, tidak lagi menemukan sepasang capung yang bercinta. Semuanya sudah terbang sendiri-sendiri. Saya ingat masa kecil di desa yang kini diserbu perkebunan sawit. Gugatan ibu-ibu Rembang hari ini dikalahkan di PTUN Semarang. Saya teringat lagi film Where Do We Go Now, mengenang ketegaran ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan. Where do we go now? Mau ke mana kita sekarang?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar