Akhir-akhir ini, seringkali saya
gelisah melihat perilaku orang-orang yang konon muslim di internet. Di sela-sela kegiatan mengelola mojok.co, hampir setiap jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan
direproduksi atas nama Islam. Orang-orang yang konon muslim itu gemar sekali
teriak-teriak penuh kemurkaan, dan mudah sekali mengkafirkan orang lain.
Perkembangan teknologi memang seperti dua mata pisau. Ia bisa sangat bermanfaat, bisa juga berbahaya. Perkembangan internet pun begitu. Di satu sisi ia sangat berguna, misalnya untuk mempermudah komunikasi. Namun di sisi lain, seperti hari-hari ini kita saksikan, internet adalah media paling efektif yang digunakan Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebarkan propapaganda kebencian dan peperangan. Dan di negeri ini, kita dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz konon” yang gemar sekali menebar amarah dan ancaman.
Mengingat fenomena tersebut, saya tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-Indonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah.
Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan luntur jika melihat apa yang menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter: munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya sebatas didapat dari Google. Memprihatinkan sekali.
Untuk menahan derasnya arus kebencian itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif untuk membuat dan memperbanyak konten yang mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok yang pas dan memiliki kapasitas untuk melawan pendangkalan Islam di internet, kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah.
Maka ketika beberapa teman mengkampanyekan Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya langsung mendukung dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-anak muda—yang selama ini memamah informasi-informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin pencari.
Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bawah X kafir atau Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa nyantri dulu. Kisah Kyai Hamam mendirikan Pondok Pesantren Pabelan, yang selalu menjadi pengingat bagi saya.
Di usia 25 tahun, beliau keliling ke rumah-rumah di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela. Sebagian besar warga Pabelan di masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, jendela dan segala jenis ventilasi lain hanya akan membuat rezeki itu kabur lagi ke luar. Kyai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara di rumah, bahwa rumah tanpa ventilasi yang cukup alih-alih mendatangkan rejeki justru mengundang penyakit.
Selain itu, beliau juga menyampaikan keinginan untuk membangun pesantren dan meminta putra-putri Pabelan disekolahkan di sana saja. Akhirnya hanya sembilan orang yang bergabung menjadi santri pertama, para pemula, salah satunya adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.
Selain belajar berbagai macam ilmu dasar, kesembilan orang itu setiap hari diajak Kyai Hamam ke Kali Pabelan.
“Ayo Islamkan batu-batu itu,” kata Kyai Hamam.
Batu-batu itu kemudian sebagiannya dimanfaatkan sebagai fondasi beberapa bangunan, sebagian lain dijual ke Pasar Muntilan—ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu diislamkan. Kyai Hamam bersama Sembilan Pemula mengislamkan batu-batu, membangun pesantren. Selama mondok di Pabelan, saya sering sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran mengislamkan segala sesuatu.
Kyai Hamam tidak muluk-muluk dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan menunjukkan bagaimana mengislamkan batu-batu, mengislamkan sekalian manusia, mengislamkan seluruh alam. Beda dengan beberapa orang yang dipanggil “ustadz” yang belakangan gampang sekali mengkafir-kafirkan orang lain dan melabeli X atau Y bukan islam.
Kyai Hamam mengajak mengislamkan, "ustadz-ustadz sekadar" itu sibuk membukanislamkan. Saya pikir kita semua mengerti, sikap mana yang mesti kita ambil.
Mengingat fenomena tersebut, saya tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-Indonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah.
Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan luntur jika melihat apa yang menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter: munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya sebatas didapat dari Google. Memprihatinkan sekali.
Untuk menahan derasnya arus kebencian itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif untuk membuat dan memperbanyak konten yang mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok yang pas dan memiliki kapasitas untuk melawan pendangkalan Islam di internet, kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah.
Maka ketika beberapa teman mengkampanyekan Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya langsung mendukung dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-anak muda—yang selama ini memamah informasi-informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin pencari.
Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bawah X kafir atau Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa nyantri dulu. Kisah Kyai Hamam mendirikan Pondok Pesantren Pabelan, yang selalu menjadi pengingat bagi saya.
Di usia 25 tahun, beliau keliling ke rumah-rumah di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela. Sebagian besar warga Pabelan di masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, jendela dan segala jenis ventilasi lain hanya akan membuat rezeki itu kabur lagi ke luar. Kyai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara di rumah, bahwa rumah tanpa ventilasi yang cukup alih-alih mendatangkan rejeki justru mengundang penyakit.
Selain itu, beliau juga menyampaikan keinginan untuk membangun pesantren dan meminta putra-putri Pabelan disekolahkan di sana saja. Akhirnya hanya sembilan orang yang bergabung menjadi santri pertama, para pemula, salah satunya adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.
Selain belajar berbagai macam ilmu dasar, kesembilan orang itu setiap hari diajak Kyai Hamam ke Kali Pabelan.
“Ayo Islamkan batu-batu itu,” kata Kyai Hamam.
Batu-batu itu kemudian sebagiannya dimanfaatkan sebagai fondasi beberapa bangunan, sebagian lain dijual ke Pasar Muntilan—ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu diislamkan. Kyai Hamam bersama Sembilan Pemula mengislamkan batu-batu, membangun pesantren. Selama mondok di Pabelan, saya sering sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran mengislamkan segala sesuatu.
Kyai Hamam tidak muluk-muluk dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan menunjukkan bagaimana mengislamkan batu-batu, mengislamkan sekalian manusia, mengislamkan seluruh alam. Beda dengan beberapa orang yang dipanggil “ustadz” yang belakangan gampang sekali mengkafir-kafirkan orang lain dan melabeli X atau Y bukan islam.
Kyai Hamam mengajak mengislamkan, "ustadz-ustadz sekadar" itu sibuk membukanislamkan. Saya pikir kita semua mengerti, sikap mana yang mesti kita ambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar