Gara-gara Lubabun Ni'am, kemarin malam saya harus berhadapan dengan tiga mahasiswa yang punya ambisi mengubah dunia. Semangat mereka tinggi sekali. (Satu di antara mereka baru saja berteman dengan saya di Facebook) Hujan turun cukup deras di Angkringan Mojok, saya ditemani Mas Markaban Anwar.
Mereka memperkenalkan diri sebagai aktivis sebuah organisasi mahasiswa tradisional cabang Yogyakarta. Oh, belum tau mereka kalau saya sering sekali menganjurkan organisasi-organisasi itu bubar saja. Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tapi saya angguk-angguk saja. Belum apa-apa, saya tak mau mengecewakan mereka yang datang dari jauh.
Lalu mereka mulai bicara tentang angin apa yang membawa mereka bersusah-payah dari sudut selatan Yogyakarta ke daerah utara jauh untuk menemui saya. Mereka bilang ingin membangun media alternatif, media yang aktivis banget, yang isinya tulisan-tulisan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan, masyarakat urban dan pedesaan, pokoknya yang kritis terhadap isu sosial dan ekonomi-politik, yang begitu-begitulah.
Mereka gantian ngomong. Melihat cahaya di mata mereka, perlahan-lahan saya mulai antusias juga. Menarik ini, pikir saya.
Salah satu dari mereka mengeluarkan buku catatan, bukan hanya satu, dua. Saya tanya itu apa, dia bilang daftar pertanyaan buat saya.
Sebentar, sebentar, ini mau wawancara atau apa? Jangan-jangan kalian bawa alat perekam segala?
Nggak kok, Mas, bukan wawancara, mau ngobrol-ngobrol santai aja. Nggak pakai perekam juga.
Oke, yaudah kita ngobrol. Mau nanya apa?
Gini, Mas, bisa diceritakan sejarah awal Mojok Dot Co?
Nah, kan, serius banget, kayak wawancara Indoprogres. Enggak, enggak, saya lagi nggak bisa cerita. Gini aja, gimana kalo kita obrolin dulu rencana bikin media alternatif itu, apa aja yang kalian banyangkan tentangnya, apa yang udah kalian persiapkan?
Berceritalah mereka tentang media impian mereka itu, bergani-gantian. Sinar mata mereka semakin menyala, terutama ketika mereka membayangkan media itu akan seperti Mojok.
Maunya kayak Mojok gitu, Mas, hehehe.
Nanti dulu, nanti.
Dengan sangat menyesal saya harus sedikit meredupkan sinar mata mereka.
Pertama gini, sasaran pembacamu itu siapa? Kalau cuma internal anggota organisasimu, kenapa harus bikin media kayak Mojok?
Kami maunya yang baca mahasiswa se-Indonesia, Mas.
Oke, berarti berhadapan dengan sekian media besar yang jadi langganan mahasiswa ya. Mojok juga bertarung di situ, sasaran pembaca kami rentang usianya antara 18 sampai 34 tahun. Terus, kira-kira yang dibutuhkan oleh calon pembaca kalian itu apa sehingga kalian yang harus mengisi?
Mereka butuh informasi-informasi yang bisa bikin mereka lebih melek politik, lebih peduli lingkungan sekitarnya. Mereka butuh landasan-landasan untuk menggerakkan perubahan.
Ha? Kalian yakin mereka butuh itu semua? Bukannya mereka lebih butuh gosip artis terbaru, film dan album musik terbaru, tren pakaian terbaru?
Ini sih sebenarnya rumus dasar untuk memulai usaha apapun. Bukan cuma media, semua startup harus bisa menjawab ini. Bisnis makanan kan dasarnya dari menjawab kebutuhan itu, bisnis properti juga, semua bisnis. Atau kalau susah membayangkan apa yang dibutuhkan calon konsumen, coba deh tanya ke diri sendiri: Media kayak apa yang sebenernya kamu butuhin?
Hampir semua pendiri startup di Indonesia mengaku kalau awalnya mereka bikin startup itu buat menjawab kebutuhannya sendiri, terus kebetulan ternyata banyak orang butuh hal yang sama. Andrew Darwis waktu kuliah di Amerika ngerasa butuh forum di Internet di mana dia bisa ngelepas kangen sama Indonesia, itu cikal-bakal Kaskus. Yang paling mutakhir, Nadiem Makarim ngaku ide dia bikin Go-Jek itu awalnya karena dia butuh ojek yang efektif dan efisien buat menembus kemacetan Jakarta, ojek pangkalan dirasa Nadiem gak bisa menjawab kebutuhan ini, makanya dia bikin ojek online deh.
Itu yang gede-gede ya, buat diambil hikmahnya aja. Gak usah terlalu dipikirin. Makin dipikirin malah kamu makin ngawang-ngawang.
Pikirin aja media yang gimana yang kamu butuhin. Ini baru diskusi awal, lho. Masih banyak yang harus kita gali.
Cahaya mata mereka tak lagi seterang tadi.
Mojok itu juga berangkat dari kebutuhan akan sebuah kanal yang tenang, menyenangkan, dan segar-menyegarkan, di tengah derasnya arus (atau limbah?) informasi di internet. Kita butuh bacaan yang sejenak bisa membuat kita merenung, rehat dari hiruk-pikuk berita, sukur-sukur kalau bacaan itu bisa bikin kita tertawa atau minimal senyum, dan kita bisa menjalani hari dengan bahagia. Kira-kira gitu gambaran besarnya.
Udah gitu, baru deh kita masuk ke diskusi tahap selanjutnya. Dari gambaran media yang mau kita bikin itu, kita lihat yang udah duluan main di situ siapa aja. Dalam kasus Mojok, waktu itu udah ada MalesBanget, 1Cak, dan Hipwee. Ya kita pelajarin ketiga media itu, bukan buat diikutin, tapi dicari celah yang belum mereka isi. Pelajari karakter mereka, sambil ngeraba-raba kita mau bikin karakter yang gimana.
Misalnya dulu saya bikin petanya gini: MalesBanget itu anak muda banget, menuhin hampir semua yang dibutuhin anak muda, dan cenderung bokep; 1Cak itu slapstik, gak anak muda banget juga karena banyak postingannya yang gak sesuai sama selera anak muda--khususnya perkotaan; dan Hipwee sama anak mudanya dengan MalesBanget, tapi mereka nggak bokep, mereka cenderung menye-menye, lebih sibuk bikin tips-tips ngegebet, biar pacaran awet, biar pertemanan abadi, gitu-gitu.
Tapi ada satu garis lurus dari ketiganya, mereka nggak melawan hukum besi rimba internet yang bernama tren percakapan--sesekali mereka juga bisa bikin tren. Ini yang kita lihat, kita ambil yang soal tren itu, sisanya kita buang, kita bikin yang beda dari mereka semua.
Dalam perjalanannya kami juga sering muak dengan tren, beberapa kali bikin sesuatu yang nggak ada hubungannya sama tren, beberapa kali berusaha bikin tren juga, kadang berhasil kadang gagal, ya coba-coba aja, tapi yang paling penting, sambil jalan itu kita juga pelan-pelan bisa nemuin karakter. Karakter yang beda sama sekali dengan media-media yang udah ada duluan.
Hujan mulai reda, Eddward S Kennedy datang, memesan makanan, langsung gabung.
Sekarang kita obrolin lagi media yang mau kalian bikin itu, kira-kira gimana?
Mereka menyebut tiga media yang mereka jadikan sebagai benchmark, LiterasiCo, MahasiswaBicara, dan JogjaStudent.
Yaudah, ayo kita bedah tiga media itu. Masing-masing gimana menurut kalian, apa kelebihan dan apa kekurangannya, terus kita coba cari apa yang belum diisi oleh mereka, sambil dipikirin gimana bikin karakter sendiri.
Diskusi hangat kembali, perlahan-lahan sinar mata mereka kembali terang. Mas Anwar mengingatkan tentang luasnya lingkaran organisasi mereka yang bisa dimanfaatkan untuk memviralkan konten. Eddward memberi masukan tentang karakter penulisan, juga isu-isu yang sangat mereka kuasai yang potensial menjadi viral.
Saya pun mulai menyukai semangat mereka, semangat mereka membangun sesuatu, bukan semangat untuk mengubah dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar