18.6.09

Genealogi Islam dalam Politik Dunia Pasca Tragedi 11 September 2001

Intro
Pemerintahan Barrack Obama menampilkan wajah Amerika Serikat yang sejuk, teduh dan ramah kepada dunia. Secara khusus, terhadap dunia Islam. Pelantikan Obama-pun ditandai dengan spirit dan komitmen untuk dunia yang lebih baik dengan sifat dan sikap yang saling memahami (mutual understanding) dan saling menghormati (mutual respect), untuk pertama kalinya dalam sejarah bernegara di Amerika Serikat, seorang Presiden menyebut kata ‘Islam’ dalam inaugural speech-nya.


Langkah obama selanjutnya, semakin menunjukkan wajah AS yang sangat bersahabat terhadap dunia Islam, diantaranya dengan merencanakan menutup penjara Guantanamo yang notabene sangat banyak menampung mereka yang beragama Islam dan dituduh sebagai penjahat perang atau teroris. Kemudian diiringi dengan serangkain dan sejumlah paket kebijakan luar negeri AS, sebagai negara adidaya yang bersedia ‘mendengarkan’ dalam penyelesain masalah (resolusi konflik) di dan dengan negara-negara Islam. Babak baru hubungan yang mesra antara AS dan dunia Islam dimulai.

Namun bila tali sejarah kita tarik mundur, kita akan sampai pada dan mendapati rekaman peristiwa yang sama sekali tidak bekesinambungan, sangat berbanding terbalik. Kesan yang nampak dari pemerintahan AS sebelumnya dibawah kepresidenan George W. Bush, sangat berbeda dengan Obama punya gaya. Bush lebih banyak menggoreskan kenangan tentang berbagai ketegangan, konfrontasi dan bahkan invasi dalam memori percaturan politik dunia. AS yang superpower, pada masa pemerintahan Bush seolah-olah menjadi ‘polisi dunia’ yang berwajah sangar dengan rahang yang selalu menggeram dan tangan yang selalu terkepal. Terlebih lagi terhadap negara Islam.

Dalam konteks kekinian, bila kita menyoroti dan merenungkan kembali apa yang telah dilakukan AS di bawah pemerintahan Bush, kita tentu akan maklum bahwa memang sungguh terasa sangat aneh dan ganjil serta cukup ‘irasional’. Begitu juga sebaliknya, jika kita melihat kenyataan sekarang dengan kaca mata masa lalu. Akan tetapi, begitulah kenyataannya. Kita tidak akan menemukan jejak dialektis ataupun konsistensi dari politik luar negeri AS disini. Sebuah negara adikuasa, dengan segala daya-upayanya, dibawah kendali Bush begitu sering menunjukkan sikap tidak bersahabat (untuk tidak mengatakan; permusuhan) terhadap negara-negara Islam. Kemudian bersama Obama, AS tiba-tiba menjadi sumringah dan simpatik menghadapi dunia Islam.

Kisah ini dimulai dari tragedi 11 Sepetember 2001, ketika dua simbol utama kekuatan militer AS, World Trade Center di New York dan markas Pentagon di Washington DC diserang ala kamikaze oleh segerombolan teroris. Dalam waktu singkat, para pejabat Washington langsung menuding Osama Bin Laden sebagai mastermind dibalik serangan tersebut. Sejumlah nama Timur-Tengah (Islam) disebut-sebut terlibat dalam serangan tersebut dan meiliki jaringan dengan Osama. Konfrontasi kemudian semakin panas, ketika rezim Taliban di Afghanistan menolak menyerahkan Bin Laden.[1]

Mulai saat itu, sentimen anti-Arab, anti-Muslim, dan anti-Islam sekaligus meningkat dan menjadi benci yang sampai ke ubun-ubun AS dan negara-negara Eropa (barat). Disana, masjid dan Islamic center dijadikan sasaran penistaan dan orang-orang islamnya dijadikan objek harassment. Dan di sisi lain, gelombang unjuk rasa anti-Amerika juga meningkat di berbagai negara Islam.[2] Jamak terjadi selanjutnya adalah terjemahan dari sentiment tersebut yang berhasil memiliki gurita kuasa melalui wacana dominan dalam politik dunia. Islam kemudian menjadi kambing hitam dalam banyak hal. Dimulai dari cap sebagai agama teroris atau agama yang disebarkan dengan pedang, penggelontoran kembali wacana Clash of Civilization Samuel P. Huntington yang melihat islam sebagai musuh utama Barat setelah gulung tikarnya rezim komunis Uni Soviet, dan ditambah lagi dengan diskursus Islam tidak Compatible dengan demokrasi. Maka yang terjadi setelahnya, penyerbuan terhadap Afganistan dan invasi ke Irak menjadi "dibenarkan" dengan orde wacana AS yang berkuasa.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dalam konteks masa lalu, mengapa saat ini haluan politik luar negeri AS berubah drastis dan sangat kontras dengan pemerintahan sebelumnya? Dan dalam konteks kekinian, mengapa pemerintahan Bush begitu aneh? Makalah ini akan mencoba mencari relasi pengetahuan tentang Islam dan kuasa pada masa pemerintahan Bush secara terperinci dengan metode genealogi. Dengan menelanjangi pemerintahan Bush secara genealogis, makalah ini akan merelativisasi sikap pemerintahan Obama terhadap Islam dan berargumen telah menemukan singularitas (sifat tunggal) kedua pemerintahan dan bahwa terdapat jejak ketidaksinambungan sejarah dalam politik luar negeri AS. Makalah ini juga akan merayakan aktivitas perlawanan terhadap dua mainstream (peristiwa besar sejarah) berbeda diatas. Adalah Radio Dakta 107 FM Jakarta yang memiliki acara-acara dan kegiatan-kegiatan rutin berjuang menolak wacana-kuasa yang terus-menerus (terputus, waktu yang berbeda) disodorkan secara global oleh dua jagoan besar sejarah yang disebutkan diatas.

Album Genealogi dengan Genre Posstrukturalisme

Genealogi adalah metode atau strategi yang dikembangkan dan digunakan oleh Michel Foucalt untuk menelusuri jejak diskontinuitas dan keterputusan sejarah untuk menekankan singularitas (sifat tunggal) peristiwa-peristiwa, daripada berusaha mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan sejarah.[3] Genealogi merupakan sebuah kritik, menolak pencarian asal usul atau model teleologis Hegelian, dimana satu mode produksi mengalir secara dialektis dari mode produksi yang lain. Genealogi memilih taktik kritik Nietzschean melalui pengajuan perbedaan (difference) dan lebih tertarik pada konsepsi awal mula historis sebagai sesuatu yang bersifat rendahan, kompleks dan kebetulan (contingent).[4] 

Genealogi juga sering dipahami sebagai semacam pendekatan sejarah yang melukiskan pembentukan aneka-ragam pengetahuan, diskursus, dan objek-objeknya.[5] Didalamnya relasi penting (nexus) antara kuasa dan pengetahuan dibongkar, perwujudan wajah will to truth ditelanjangi sebagai topeng dari will to Power[6] Pendekatan ini dilengkapi dengan metode arkeologi yang menggambarkan tentang pengetahuan dalam bentuk wacana dominan pada waktu tertentu, yaitu episteme yang bekerja dan bersuara melalui teknologi ‘formasi diskursif’ (discoursive formations) atau produksi ‘orde wacana’ (orders of discourse) dengan meyingkirkan, membuang atau menghapus segala sesuatu yang berbeda dengannya (the others).[7]  

Tidak seperti para sejarawan yang berusaha menelusuri alur keniscayaan sejarah, Foucalt justeru mendelegitimasi masa kini dengan memisahkannya dengan masa lalu. Persis seperti yang dilakukan Niezsche dalam buku On the Genealogy of Morals. Dengan menunjukkan keasingan masa lalu, ia merelativisasi dan memangkas legitimasi masa kini.[8] Metode ini dimulai dari masa kini dan bergerak mundur sampai difference ditemukan. Kemudian bergerak maju kembali , dan menelusuri proses transformasi –nya. Wacana/praktik digali sedemikian rupa, sehingga negativitas dalam kaitannya dengan masa kini meledakkan ‘rasionalitas’ fenomena yang diterima begitu saja. Dan ketika teknologi kekuasaan pada masa lalu diuraikan secara terperinci, asumsi-asumsi saat ini yang melihat masa lalu sebagai ‘irasional’ menjadi runtuh.[9] 

Taktik genealogi ini, kemudian bersikukuh membiarkan diskontinuitas tetap tidak terjelaskan dan peran sebab atau penjelasan direduksi habis-habisan. Karena hanya akan menjerumuskan pada kesimpulan evolusionis, yang tidak sesuai dengan tujuan genealogi difference. Maka kesenjangan antara masa lalu dan masa kini itulah yang menggarisbawahi prinsip difference.[10] Sebagai perspektif, genealogi menolak kapasitas untuk mengidentifikasi asal-usul dan menilai sejarah sejarah secara obyektif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada anti-esensialis, artinya mengafirmasi ide bahwa semua pengetauan disituasikan dalam dan dikondisikan oleh waktu, tempat dan isu tertentu dari perspektif tertentu (particular). Pengetahuan tidak pernah tidak terkondisikan. Konsekuensinya adalah kemungkinan munculnya konteks-konteks dan posisi-posisi yang heterogen. Tidak ada ‘kebenaran’ (truth), Ide sebenarnya tentang ‘dunia yang sesungguhnya’ (real world) telah hilang, yang ada hanyalah perspektif-perspektif yang bersaing, yang ada hanya penafsiran dari penafsiaran. Dan di dalam absennya perspektif tunggal yang menjadi kerangka universal atau referensi utama, kita hanya (harus) bisa merayakan pluralitas perspektif. [11]

Lagu Baru Pemerintahan Obama: Irama Harmoni dan Lirik Bersahabat bagi Islam.

Kamis, 4 Juni 2009, Di Universitas Al-Azhar Kairo yang terkenal itu, Obama menyampaikan pidato monumentalnya. Dalam pidatonya disebutkan bahwa AS menginginkan common ground dan awal baru hubungan yang lebih baik dengan dunia Muslim, dimana citra AS telah berlumur dosa respon pemerintahan Bush atas serangan 11 September.[12] Ia mengajak Amerika Serikat dan umat Islam sedunia memulai sebuah hubungan baru. Hubungan yang berdasarkan mutual respect dan mutual interest, mengakhiri apa yang ia sebut sebagai “sebuah lingkaran kecurigaan dan perselisihan”.[13] 

Obama mengatakan bahwa ia sadar akan beberapa pertanyaan dan justifikasi tragedi 11 September, tapi kita juga harus melihat bahwa Al-Qaeda membunuh orang sampai hampir berjumlah 3.000 orang. Dengan diikuti kutipan-nya dari ‘Holy Koran’ dua kali dan ‘Holy Bible’ sekali. Ia melanjutkan:
It’s easier to start wars than to end them, It’s easier to blame others than to look inward; to see what is different about someone than to find the things we share. But we should choose the right path, not just the easy path. There is one rule that lies at the heart of every religion – that we do unto others as we would have them do unto us.
(adalah lebih mudah untuk memulai perang daripada mengakhirinya, lebih mudah menyalahkan daripada menyelami (memahami) kesalahan dengan jernih, melihat apa yang berbeda dari seseorang daripada menemukan sesuatu yang dapat dibagi. Tapi kita harus memilih jalan yang benar, bukan jalan yang mudah. Tidak ada aturan dalam inti ajaran agama apa pun –agar kita melakukan sesuatu (yang buruk) terhadap golongan lain, seperti yang mereka lakukan terhadap kita).[14]

Obama mendapatkan standing ovation lebih awal ketika ia mendeklarasikan; ‘I consider it part of my responsibility as President of the United States to fight against negative stereotypes of Islam wherever they appear’ (saya sadar bahwa adalah bagian dari tanggung-jawab saya untuk melawan segala stereotype negatif tentang Islam, dimanapun itu.). 

Akan tetapi, beberapa audiens terdengar menggerutu ketika Obama menyampaikan; ‘That same principle must apply to Muslim perceptions of America. Just as Muslims do not fit a crude stereotype, America is not the crude stereotype of a self-interested empire.’ (prinsip yang sama juga harus diterapkan pada persepsi Muslim tentang AS. Layaknya Muslim yang sebenarnya tidak seperti stereotype yang simplistik dan ngawur selama ini, AS juga tidaklah seperti stereotype imperium yang egois).[15]

Pidato memukau yang disampaikan di Mesir ini, -dimana oposisi politik dapat dipukul dan atau dipenjara tanpa proses peradilan- adalah ujian atas kemampuan Obama menerjemahkan pesona retorikanya untuk ‘perubahan sebenarnya’ (real change) pada apa yang ia akui sebagai ‘a time of tension between the United States and Muslims around the world’, waktunya untuk meredakan ketegangan antara AS dan kaum Muslim di seluruh dunia. Dan sejauh ini, nampaknya Obama telah berhasil menancapkan pengaruhnya terhadap dunia Islam. Banyak yang mengelu-elukan obama dalam dan karena pidato tersebut. Disana-sini, ditengah pidato tersebut, begitu sering terdengar applause dari para hadirin teriakan ‘we love you’.[16] Obama telah berhasil menyampaikan pidato-nya dengan sangat baik, dan kisah pribadinya telah mengirimkan pesan pada dunia tetang AS sebagai ‘land of opprtunity’, Amerika sebagai tanah impian.


Obama menguatkan wacana yang ia tawarkan dengan mengutip kembali apa yang pernah ia sampaikan di hadapan parlemen Turki, bahwasanya AS tidak sedang berperang dengan –dan tidak akan pernah- berperang dengan Islam. (In Ankara, I made clear that America is not -- and never will be -- at war with Islam).[17] Dan bahwasanya AS bukan bermusuhan dengan Islam, akan tapi -tentu, sama halnya dengan Islam- menghalau para ekstremis teroris yang membahayakan banyak orang tidak tidak berdosa, para perempuan dan anak-anak.

Orde wacana inilah yang menjadi dominan kemudian, menyingkirkan wacana tentang Islam yang melawan kekuatan AS, yang sering (sebelumnya) dianggap banyak kaum muslim sebagai ‘kafir imprealis’. Didukung oleh formasi diskursif yang menampilkan wajah Islam Moderat, yang sangat bersahabat dengan AS dan Barat, dengan Indonesia sebagai uswatun hasanah-nya (role model). Hal ini dapat dilihat dari ungkapam yang disampaikan oleh Hillary dalam kunjungannya ke Indonesia, 19 Februari 2009, ‘Kalau anda ingin melihat muslim, demokrasi dan kemajuan perempuan datanglah ke Indonesia’.[18] Dengan ungkapan ini, wacana yang kemudian berkembang adalah bagaiman meneladani Indonesia bersikap terhadap banyak hal yang menjadi isu global. Wacana tentang sikap yang keras terhadap AS dan Barat sebagai ‘kafir imprealis’, dengan sendirinya terhapus.

Wajah AS yang luar biasa lembut, yang direpresentasikan oleh rethoric appeal Obama dan sejumlah paket kunjunganan dan kebijakannya, tidak ubahnya adalah wajah kuasa yang ‘memaksa’ kaum Muslim agar merubah stigma negatif kepada AS. Pengetahuan kaum muslim tentang AS yang kafir dan penjajah jadi dibuang, gerutuan ketika Obama menginginkan kaum Muslim merubah crude stereotype tentang AS (seperti yang disebutkan diatas) menjadi tidak dihiraukan sama sekali dan dibiarkan begitu saja berlalu, dianggapa angina lalu. Obama dengan kuasa dan orde wacana-nya melenggang dengan semboyan; ‘anjing menggongoong kafilah berlalu’. 

Lagu Lama Pemerintahan Bush: Orkestrasi Kacau Balau dan Lirik Menghujat Islam.

Luluh lantaknya WTC 11 September beberapa tahun silam, dikesankan dengan sangat mendala oleh pemerintahan Bush, yang kemudian menorehkan suatu sindrom dan fobia tersendiri bagi publik dunia. Penggiringan opini bahwa pelaku adalah ummat Islam, meskipun tanpa ada bukti dan fakta yang nyata menyebabkan antipati publik dunia (Barat) terhadap Islam. Terlebih lagi beberapa kelompok islam yang dituding sebagai pelaku tindak terorisme menunjukkan indikasi tak ada penolakan terhadap aktivitas tersebut seolah-olah tindakan tersebut adalah benar. Maka, tatkala jargon internasional War against Terrorism mulai ditabuh oleh Bush, langsung saja jargon tersebut membahana di seantero dunia, tak terkecuali negeri-negeri Islam. Mantra tersebut menjadi moto yang sangat sakti dan disandang setiap negeri dengan tudingan secara tersirat terhadap kelompok Islam fundamentais dan lain sebagainya.

Wacana tentang Islam sebagai agama yang disebarkan dengan pedang, menjadi wacana dominan kemudian, hasilnya adalah Islam diidentikkan masyarakat dunia (barat) sebagai agama teroris. Bush juga mengeluarkan pernyataan bahwa perang melawan terorisme tersebut akan menjadi ‘perang salib’ pertama diabad ke-21. [19]Pernyataan tersebut mencerminkan sikap barat yang sangat membenci Islam, sentimen agama yang dibawa. Para pemimpin Negara di Eropa pun tak kalah sigapnya dalam memanaskan suasana dengan ikut mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan Islam. Diantaranya, PM Italia saat itu yang juga merupakan pemilik klub sepak bola terkenal, AC Milan, Silvio Berlusconi yang turut meyatakan kebencian terhadap Islam dan perlunya islam untuk diperangi. Begitu pula PM inggris Tony Blair. Wacana inilah yang kemudian menjadi justifikasi atas serangan terhadap Afghanistan[20]

Bush kembali menyatakan rasa permusuhannya kepada Islam dan kaum Muslimin hanya lima bulan setelah menghancurkan Afghanistan. “ bahwa Amerika adalah sumber segala kebaikan dan dunia Islam adalah sumber segala kejahatan. Apabila Negara Islam tidak tunduk kepada kebijakan Amerika maka Negara tersebut akan masuk list sebagai poros setan (axis of evils) seperti Irak, Iran dan bahkan Korea Utara.[21]

Potret yang kemudian dihadirkan pada dunia tentang Taliban, -rezim yang ditundukkan AS- adalah potret yang sama sekali tidak manusiawi, beringas dan kejam. Bagaimana rezim Taliban tersebut menyelenggarakan pemerintahan dengan tangan besi (tidak demokratis), mengungkung para wanitanya dan berbagai pelanggaran HAM. Setidaknya, dapat kita tangkap dari Novel Kite Runner yang dengan sengaja di-film-kan.

Beruntun kemudian, adalah invasi terhadap Irak yang sangat menyakiti perasaan masyarakat Muslim, terlebih lagi warga Negara Irak sendiri. Awalnya, sebagai pembenar dari invasi ini adalah pemerintah Saddam menyimpan Senjata Pemusnah Massal, akan tetapi tidak ditemukan bukti, maka yang dilakukan Bush adalah menjustifikasi tindakannya dengan dalih demokratisasi.

Dapat kita lihat, bagaimana pemerintahan Bush dengan sangat efektif menciptakan stigma negatif tentang Islam dan Orde wacana yang berkembang pada periode ini adalah wacana tentang Islam yang terdistorsi. Akan tetapi, wacana-wacana yang mencoba meluruskan pandangan tentang Islam baik dengan senjata ataupun dengan dialog terbuka, disngkirkan secara sistematis oleh kuasa pemerintahan Bush.

Outro : Merayakan Perspektif Radio Dakta

Selanjutnya, dalam tulisan ini akan dirayakan bagaimana perspektif yang diperjuangkan oleh berbagai Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Radio Dakta 107 FM Jakarta, Dalam melawan dua arus besar sejarah (yang dipaparkan diatas) yang menghantam tempat mereka berdiri.  

Berawal dari sebuah radio swasta yang berlokasi di Bandung pada bulan Desember 1991 dengan frekuensi AM, maka agar lebih dekat dengan Jakarta yang penduduknya sangat dinamis dan merupakan sasaran pemasaran yang sangat potensial, maka sejak Maret 1992, kota Bekasi menjadi pilihan sebagai lokasi baru yang strategis, dan frekuensi berpindah ke 92.15 FM dengan format radio berita, radio wanita dan keluarga. Namun seiring perputaran waktu dan kebutuhan khalayak pendengar, sejak tahun 2000 radio Dakta 92.15 FM menjadi radio berita dan hiburan bernuansa Islam bagi seluruh anggota keluarga muslim.

Sejak 2005 Dakta 107 FM menajamkan format siaran menjadi sebuah radio Informasi Bekasi. Sebuah program siaran informasi yang dikemas secara interaktif dan solutif, dengan kelompok pendengar dewasa menengah atas sebagai segmen yang terlayani dalam porsi terbesar siaran. Memaparkan perkembangan dinamika masyrakat khususnya di Bekasi, dari sudut pandang politik, ekonomi, sosial, budaya, religi dan lainnya. Menjadi sebuah mediator atau ajang diskusi terbuka dikalangan masyarakat, pemerintahan, dan praktisi Profesional.[22]

Radio Dakta ini dengan para pendengarnya yang setia, merupakan perspektif lain yang tidak goyah dengan tampilnya ‘super hero’ sejarah dunia tentang Islam yang telah diceritakan diatas. Justeru dengan pemahaman mereka sendiri, mereka menganggap bahwaanya Bush adalah seorang kafir dan musuh Allah, dan tidak serta merta menerima begitu saja ajakan berdamai dari Obama. Bahkan, di tempat mereka tumbuh, Indonesia, mereka menolak sikap untuk menjadi Islam Moderat yang melanggengkan kuasa AS sebagai ’Kafir Imprealis’. Salah satu acara Favorit dari acara ini adalah, catatan Akhir pecan dari Adian Husaini, yang dalam setiap taushiyah-nya menolak liberalisasi pemikiran Islam, karena hal itu sama dengan hegemoni Barat dalam studi dan pemikiran Islam.[23]

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Bandung: Mizan
Steans, Jill and Lloyd Pettiford. 2001. International Relations: perspectives and Themes. England: Pearson Education Limited
Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalime dan posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Terj; Hidayat, Medhy Agintha. Yogyakarta: jendela
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Modernitas dan Positivisme. Yogyakarta: Kanisius.
Asrudin (et.al).2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Devetak, Richard. 2001. Theories of International Relations. New York: PALGRAVE.
Khadhar, Lathifah Ibrahim. 2004. Ketika Barat Memfitnah Islam. Jakarta: Gema Insani Press
Husaini, Adian.2005. Hendak Kemana (Islam) Indonesia? Seri kedua. Surabaya: Media Wacana.
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: gema Insani Press.

Sumber Internet:
http://www.politico.com/news/stories/0609/23334.html
http://www.foxnews.com/politics/2009/06/04/obama-calls-new-beginning-muslim-world/



[1] Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Bandung: Mizan. hlm. 9
[2] Ibid.
[3] Steans, Jill and Lloyd Pettiford. 2001. International Relations: perspectives and Themes. England: Pearson Education Limited. hlm. 135.
[4] Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalime dan posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Terj; Hidayat, Medhy Agintha. Yogyakarta: jendela. Hlm. 98-99. Lihat juga Maliki, Musa. 2009. Pluralisme Wacana dalam Ilmu Hubungan Internasional: sebuah Tinjauan Kritik Posstrukturalisme dan Posmodernisme. Dalam Asrudin (ed.) Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 322-323.
[5] Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Modernitas dan Positivisme. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 186.
[6] Op.cit. Steans, Jill and Lloyd Pettiford. 2001.
dan ibid
[7] Maliki, Musa. 2009. Pluralisme Wacana dalam Ilmu Hubungan Internasional: sebuah Tinjauan Kritik Posstrukturalisme dan Posmodernisme. Dalam Asrudin (ed.) Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 327.
[8] Ibid. hlm. 97.
[9] Ibid. hlm. 98.
[11] Devetak, Richard. 2001. Theories of International Relations. New York: PALGRAVE. hlm. 184.
[12] http://www.politico.com/news/stories/0609/23334.html
[14] Op.cit.
[15] ibid
[16] http://www.foxnews.com/politics/2009/06/04/obama-calls-new-beginning-muslim-world/
[17] ibid
[18] http://www.radarjogja.co.id/arsip/1913-di-semua-pidatonya-hillary-puji-indonesia-.html
[19] Khadhar, Lathifah Ibrahim. 2004. Ketika Barat Memfitnah Islam. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 128
[20] Ibid. hlm. 129
[21] ibid
[22] http://www.dakta.com/dakta.php?module=profil
[23] Lihat Husaini, Adian.2005. Hendak Kemana (Islam) Indonesia? Seri kedua. Surabaya: Media Wacana.
Dan Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar