10.1.10

Bumi Manusia dan Panasnya

Mulai beberapa tahun yang lalu, kita biasa mendengar VJ di MTV berpesan “stop global warming” hampir di setiap akhir acara. Hal ini tidak lepas dari kesadaran global akan warning perubahan iklim. Berbagai pertemuan internasional diperhelatkan untuk menangkal kiamat yang diramalkan banyak pakar ini.


Jeffrey Sachs dalam Common Wealth: Economic for a Crowded Planet (2008) menegaskan urgensi solusi global berupa mitigasi, adaptasi, penelitian dan pengembangan untuk teknologi bersih. Dikarenakan realitas dan potensi pemanasan global telah menuntut kesepakatan ilmiah.

Para pakar pertahanan pun mulai ‘kebakaran jenggot’ dan mengalami perubahan iklim berpikir. Terjadi semacam revolusi kesadaran mengenai dampak perubahan iklim atas keamanan nasional. Perubahan iklim dan keamanan nasional telah menyatu sebagai masalah keamanan alam. Isu lingkungan sekaligus menjadi isu keamanan. Kajian climate change di mancabenua digalakkan, untuk melihat potensi-potensi yang dapat mengubah dan merugikan alur strategis kepentingan nasional masing-masing Negara.

Perubahan iklim
Perubahan iklim sebenarnya bukan isu lagi. Abad ini menunjukkan Fenomena iklim yang ekstrem. Pola iklim berubah. Dan pemanasan global terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan, suhu permukaan bumi meningkat rata-rata 0,050 C per dekade. Pada kurun waktu 25 tahun terakhir, suhu bumi meningkat 0,180 C per dekade. Gejala pemanasan terlihat dari meningkatnya suhu lautan, naiknya permukaan laut, terbelahnya gletser, pencairan es, dan berkurangnya salju di belahan bumi utara (Kompas, 25/11).

Pemanasan atau pendinginan global dipengaruhi faktor alam seperti tingkat radiasi matahari, letusan gunung, dan faktor manusia. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Februari 2007 merilis laporan bahwa kontribusi radiative forcing aktivitas manusia, pada peningkatan suhu bumi jauh lebih besar daripada kontribusi faktor-faktor lain (sekitar 90 persen dari total).

Menurut Bill McKibben dalam Common Wealth: Economic for a Crowded Planet (2008), obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi sejak awal industrialisasi menyebabkan peningkatan pesat emisi karbon. Konsekuensinya, terjadi kerusakan lingkungan hidup. Dan diprediksi akan melahirkan dampak yang jauh lebih buruk dari kombinasi kerusakan akibat Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan depresi ekonomi 1930-an.

KTT Kopenhagen
Mengingat ancaman pemanasan global yang ditakutkan itu semakin menjadi kenyataan, tanggal 7-18 Desember lalu dilaksanakan KTT PBB untuk Perubahan Iklim di Kopenhagen. Agenda utama KTT ini adalah mewujudkan kesepakatan baru tentang langkah-langkah nyata dalam penurunan emisi gas rumah kaca global pascaberakhirnya Protokol Kyoto tahun 2012.

Banyak harapan yang ditumpukan pada KTT ini. Namun bangsa-bangsa di dunia tampaknya masih sulit mencari kata sepakat. Negara maju umumnya masih mengulur target pengurangan emisi. Mereka khawatir perekonomian akan menjadi kurang kompetitif, karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pengembangan teknologi baru dan penggantian pabrik.

Sementara, negara-negara berkembang tidak mau didikte begitu saja oleh negara maju. Bagi mereka, negara majulah yang harus memikul tanggung jawab lebih besar, karena sudah lama melakukan industrialisasi. Jika mereka “didesak” untuk memacu pengurangan emisi, negara maju harus mau menyediakan sebagian ongkosnya. Ongkos sangat dibutuhkan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, seperti kekeringan panjang, kelaparan, dan naiknya permukaan laut.

Maka apa mau dikata, hasil dari KTT ini hanya naskah “Copenhagen Accord” yang berisi 12 butir catatan. Naskah ini bukanlah perjanjian yang mengikat secara hukum (leggally binding), melainkan hanya political binding. Hasil ini cukup mengecewakan bagi banyak pihak, karena dinilai cenderung menyimplifikasi masalah dan hanya untuk megisi celah, daripada proses negosiasi bernilai triliunan rupiah itu tanpa hasil. Muncul kemudian istilah tinggal seinci dari gagal.

Opmitisme dan gaya hidup hijau
Meskipun hasilnya tidak maksimal, kita tetap harus optimis dalam rezim perubahan iklim ini. Seburuk apa pun hasilnya, masih jauh lebih baik daripada tidak ada hasil sama sekali. Betapa pun setiap negara tentu memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing, setidaknya setiap negara juga sudah punya kesadaran akan punahnya bumi manusia ini.

Kita bisa memulai revolusi ini dari hal-hal kecil yang dapat kita lakukan. Mulai dari menanamkan kesadaran dan kecerdasan ekologis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan.

Lagipula, dalam skala besarnya, tahun 2010 ini akan dilaksanakan lagi KTT Perubahan iklim di Meksiko. Meskipun banyak pihak yang pesimis, menyusul kegagalan COP-15 dalam menyusun kesepakatan mengikat yang pernah ditargetkan di Bali tahun lalu. Tapi apa salahnya menyandang optimisme dan menyandarkan harapan bumi ini terhadap forum seperti ini. Ditambah lagi, negara kita cukup leading untuk isu ini di berbagai panggung Internasional.

Well, mari kita mulai dari thinking green dan optimisme.

1 komentar:

  1. Sports Betting - Mapyro
    Bet the moneyline from 1:25 PM 출장안마 to 11:00 슬롯 PM. See more. MapYO microtouch solo titanium Sportsbook features live odds, live streaming, and 벳 매니아 detailed information. kadangpintar

    BalasHapus