7.1.13

Bayang-bayang Tetralogi Pulau Buru

Kita tahu Pulau Buru. Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer sangat laris dan legendaris. Kita tahu, Buru adalah penjara hidup bagi mereka yang dianggap ancaman bagi Orde Baru, tahanan poltik yang dianggap berhubungan dengan PKI, termasuk Pramoedya. Apakah kita benar-benar tahu?

Amba hadir memberi tahu kita berbagai detail Pulau Buru. Sebagai roman sejarah, karya Laksmi Pamuntjak ini menghadirkan lanskap, aroma, suasana dan gejolak Buru. Melalui tokoh-tokohnya, Laksmi berhasil menyajikan segala tentang Buru ke hadapan pembaca.

Tidak berlebihan bila Sitok Srengenge mengatakan, “inilah novel Pulau Buru yang sebenarnya.”  Karena latar utama novel ini adalah Buru. Tetralogi Pulau Buru bukanlah novel-novel tentang Buru yang sebenarnya. Ia hanya dicatat di Buru.

Amba bercerita tentang peristiwa 30 September 1965 dan segala tragedi yang mengikutinya. Dengan mengadaptasi kisah pewayangan, tentang Amba, Bhisma dan Salwa,  kita diajak berkelana. Kisah pewayangan hadir dalam versi berbeda, dalam kehidupan manusia modern Indonesia yang bersentuhan langsung dengan fase paling berdarah dalam sejarah negara ini, 1965 dan beberapa tahun sesudahnya. 
DATA BUKU
Judul         : Amba
Penulis      : Laksmi Pamuntjak
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan    : II, November 2012
Tebal        : 494 halaman
ISBN        : 978-979-22-8879-2
Diceritakan, Amba Kinanti seorang gadis biasa dari Kadipura, daerah pinggiran Yogyakarta. Amba dibesarkan di tengah-tengah keluarga Jawa yang sehari-hari menghayati kisah pewayangan. Dari Ayahnya, Sudarminto, seorang kepala sekolah, Amba mempelajari kearifan khasanah Jawa, mulai Mahabharata,Wedhatama hingga Serat Centhini.

Amba lalu tumbuh menjadi gadis cerdas yang memiliki pilihan-pilihan dan mimpi-mimpinya sendiri. Pilihan yang seringkali membuat ibunya, Nuniek, mendadak jantungan. Termasuk pilihannya untuk tidak mau langsung menikah selepas lulus SMA. Pilihan yang cukup asing bagi orang-orang sekampungnya.

Di lain pihak, ayah-ibunya telah menemukan sosok calon menantu terbaik dalam diri Salwa, Salwani Munir, dari sebuah perjumpaan tak sengaja di Universitas Gajah Mada. Mereka berjumpa ketika Sudarminto diundang dalam sebuah pertemuan guru di kampus itu. Salwa, dosen muda dengan masa depan cerah.

Pilihan Amba untuk kuliah Fakultas Sastra UGM akhirnya diterima oleh ayah-ibunya.  Dengan pertimbangan agar Salwa dan Amba semakin dekat. Salwa melakoni perannya sebagai kekasih yang lurus, memenuhi segala kekurangan Amba dan menjaga kehormatannya. Sampai di tahun kedua, Salwa harus berpindah ke Surabaya untuk sebuah pekerjaan selama setahun.

Di sinilah cinta segitiga Bhisma-Amba-Salwa bermula. Menjelang meletusnya G 30 S, Amba mendapat pekerjaan sebagai penerjemah jurnal-jurnal kedokteran di Rumah Sakit Sono Walujo, Kediri, selama seminggu. Situasi saat itu mulai genting. Ketegangan antar kelompok PKI dan non-PKI semakin memanas. Dokter yang membutuhkan terjemahan itu adalah Bhisma Rashad, dokter lusan lulusan Leipzig, Jerman Timur, karib tokoh-tokoh CGMI.

Dalam waktu singkat, Amba memadu cinta dengan Bhisma. Amba jatuh cinta kepada Bhisma karena menemukan gairah yang berbeda pada diri Bhisma, daya pikat yang memukau dan mengejutkan. Kisah-kisah dan pengembaraannya di Eropa begitu memesona bagi Amba.  Sesuatu yang tidak dimiliki Salwa yang lempang-lempang saja.

Lantas datanglah peristiwa berdarah itu. Mereka harus dipisahkan sejarah setelah Amba mengandung benih Bhisma.

**********

Laksmi menyajikan cerita ini dengan sangat apik. Pilihan kata  yang digunakan dan kalimat yang dilontarkan sebagian besar tidak pernah gagal menjadi puitis. Begitu manis meski menampilkan kenangan pahit bangsa ini.

Dengan sangat baik, Laksmi menggambarkan keadaan sosial-politik di Kediri dan Yogyakarta sebelum, ketika dan pasca meletusnya G 30 S. Dan tentu saja ia melukiskan Pulau Buru, tempat dimana Bhisma harus menghabiskan hidup, ditengah alam dan tentara yang buas bersama 12.000 lebih tahanan lainnya. ”Di Pulau Buru, orang sudah biasa melontarkan pertanyaan dan tak mendapat jawaban,” tulis Laksmi. Ia berhasil membeberkan derap dan denyut Buru yang penuh kegilaan.

Novel ini memperkaya diskusi sejarah nasional kita.  Amba setidaknya bisa membuka mata generasi Indonesia saat ini dan nanti dalam memahami tragedi 1965. Bahwa pernah ada jutaan manusia yang sejarahnya disingkirkan oleh kekuasaan Orde Baru. Dan kita tidak bisa menutup mata.

Seperti Tetralogi Pulau Buru, novel ini mengangkat kisah anak manusia yang melawan laju sejarah, meskipun harus kalah. Bhisma, tokoh utama yang digilas sejarah dan kehilangan segala kehidupan, impian pribadi, serta cintanya, tetap berjuang (melawan) untuk menemukan arti hidupnya. 

“Jika aku berbuat dan kalah, setidaknya kekalahan itu tidak kehilangan nilai,” kata Bhisma. Terdengar familiar, bukan? Ya, kutipan itu semangatnya memang sangat mirip dengan baris terakhir Bumi Manusia:  “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.“ 

Tentu banyak topik yang dibicarakan novel ini, sebagaimana Tetralogi; pribadi yang mencari jati diri dan seringkali berbenturan dengan akar budayanya, tentang sosok perempuan kuat, dan lain-lain.

Amba sepertinya akan selalu menjadi bayang-bayang Tetralogi Pulau Buru. Entah berkah entah kutukan.  Bisakah Amba berlari meninggalkan bayangan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar