28.3.13

Mari Pulang Marilah Pulang

Setelah 3 tahun dalam pelarian, Hananto Prawiro, sahabat Dimas Suryo, akhirnya tertangkap. Penangkapan yang dipenuhi basa-basi. Penangkapan yang menjadi pintu masuknya menuju kematian.

“Ketika  mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi,  sate Pak Heri, warung bakmi godog dan terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.”


Lalu melompat ke Paris. Ketika Dimas Suryo jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Vivienne Deveraux, seorang aktivis mahasiswa  berkebangsaan Perancis.

“Dia muncul seperti selarik puisi yang belum selesai.” 

Dimas harus tetap tinggal di Perancis dan tak mungkin kembali ke Indonesia. Aktivitasnya di Kantor Berita Nusantara yang banyak bersinggungan dengan orang-orang kiri membuatnya hanya akan ditumpas jika nekad pulang. Apalagi kepergian Dimas dan kawan-kawan dari tanah air, beberapa hari sebelum peristiwa G 30 S, untuk menghadiri pertemuan jurnalis-jurnalis kiri di Kuba lalu ke China.

“Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas tetap di Eropa saja… Perburuan semakin mengganas, bukan hanya pada mereka yang dianggap komunis, atau ramah kepada PKI. Kini keluarga dan sanak family pun kena ciduk. Ada yang dikembalikan, ada yang hilang begitu saja, ada yang dihanyutkan ke sungai,”  tulis adik Dimas, Aji Suryo, dalam sepucuk surat.

Begitulah cuplikan dari novel Pulang karya Leila S Chudori. Dimas bersama  ketiga sahabatnya, Nugraha, Risjaf dan Tjai membangun hidup bersama-sama di Paris. Mereka mendirikan restoran “Tanah Air” di sana.

Leila dengan cerdik mengembangkan kisah ini. Segala dinamika di Perancis dipadukan dengan kisah-kisah masa lalu dan kerinduan akan masa depan di kampung halaman.


********

Kita mungkin telah lupa kapan terakhir kali menyebut “Indonesia” dengan deru di dada. Barangkali ketika menjadi petugas upacara di Sekolah Dasar berpuluh tahun yang lalu. Mungkin saat tim nasional sepakbola kita menderita kekalahan yang sepertinya telah menjadi hal biasa. Atau bisa jadi belum pernah.

Melihat Indonesia secara mendalam hari ini barangkali terlalu menakutkan bagi kita. Terlalu banyak hal yang membuat kita miris ketimbang tertawa bangga.  Segala tentang Indonesia terkesan seperti buruk belaka.  Kita pun berhenti ambil pusing dan mulai berpikir tentang diri kita masing-masing. 

Tapi bagaimana jika hari ini mendadak kita harus terusir dari negeri ini dan terasing di negeri orang? Bayangkan Anda menjadi Dimas Suryo. Bayangkan, Anda harus pergi mencari perlindungan dari negara lain karena jika Anda pulang ke Indonesia maka nyawa Anda akan melayang.

Bayangkan, Anda harus pergi dari orang-orang yang Anda cintai hanya karena Anda dekat dengan kelompok tertentu padahal Anda tidak pernah merasa menjadi bagian dari kelompok itu. Bayangkanlah.

Jika Anda masih punya cukup waktu untuk membayangkan hal-hal yang demikian  -yang artinya untuk sejenak ambil pusing tentang Indonesia—maka novel Pulang adalah medium yang pas. Kita tak perlu menjadi TKI terlebih dahulu untuk mengetahui betapa sebenarnya kita mencintai tanah air ini, betapa kita akan merindukan segala sesuatu yang sepertinya remeh-temeh di sini.

Betapapun suramnya kenyataan tentang Indonesia, Dimas Suryo toh selalu merindukan tanah Indonesia. Betapapun pahitnya perlakuan negara terhadapnya, Dimas Suryo tak bisa berpaling dari hatinya yang merindukan aroma cengkeh, cintanya yang tertambat di Jakarta dan cita-citanya untuk disemayamkan di Karet, seperti Chairil Anwar. Tanah airnya. Akarnya. Maka ia ingin pulang.

Membaca novel ini, seperti menonton sebuah film dengan pertukaran adegan yang cerdas, penggambaran yang sempurna dan dialog-dialog yang menyentuh dengan nilai keseharian yang sederhana, kemanusiaan yang utuh. Kadang mencengangkan, kadang mengharu-biru, kadang lucu. Semuanya dikisahkan Leila dengan wajar.

Leila seperti punya segudang senjata untuk bercerita. Pilihannya menggunakan sudut pandang orang pertama dari tokoh-tokohnya memungkinkan ceritanya menjadi sangat kaya, karena segala persoalan dikuliti dari pikiran dan perasaan tangan pertama.

Novel ini sama sekali tidak kering karena selain Leila sangat lancar bercerita, di beberapa tempat juga terdapat bumbu humor yang menyegarkan. Meski tidak mendapat porsi cerita yang banyak, karakter Tjai adalah karakter yang segar justeru karena kekakuannya. Sebab Tjai dikelilingi oleh orang-orang yang tidak terlalu beraturan seperti Dimas dan kawan-kawan.

Melalui karakter Lintang Utara, anak Dimas dan Vivienne, yang ke Indonesia untuk tugas akhirnya di kampus, cerita kembali di Jakarta sebulan menjelang jatuhnya Orde Baru. Leila bahkan dengan cermat menulis bagaimana generasi 90-an berdialog, generasi yang terbiasa mengeluarkan umpatan anjing dan monyet untuk keakraban.

Dengan membelah cerita menjadi tiga bagian seperti drama tiga babak, alur maju-mundur yang merangsang dan tak kehilangan koherensi, membaca Pulang kita tidak akan pernah bosan hingga tanpa sadar telah mencapai halaman terakhir.

Lalu bagaimana kita memaknai rumah besar Indonesia? Andai segala tetek-bengek nasionalisme masih harus kita pusingkan.

Mari pulang. Marilah pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar