Ia terbaring sakit. Uluran tangan dan doa kawan-kawannya deras
mengalir.
Lelaki itu menyimpan komplikasi 33 penyakit dalam tubuhnya. Gagal ginjal yang paling parah. Yang paling bikin miris, penyakit-penyakit itu ternyata telah lama bersemayam di raganya, lebih
dari 12 tahun.
Ia tak pernah sudi menyerah dan terkapar. Ia selalu berusaha
menundukkan penyakit itu dengan kekuatan jiwanya. Tapi toh badannya tak cukup
kuat lagi menanggungkan mala. Ia harus dioperasi. Ia harus berobat.
Rabu, 3 April 2013 malam, kawan-kawan Teater Syahid (UKM
Teater UIN Jakarta) yang mendaku sebagai murid-muridnya, berinisiatif
menggalang dana untuk membantu meringankan beban biaya pengobatannya. Acara itu diberi tajuk “Setetes Cinta untuk
Radhar Panca Dahana.” Acara sederhana,
berisi deklamasi dan musikalisasi puisi-puisinya, dan kardus yang beredar
memancing kantong-kantong mahasiswa yang tak seberapa. Betul-betul “setetes.”
Fermana Manaloe, anak Teater Kosong yang sore harinya sempat
membesuk di RSCM, pada kesempatan itu bercerita bahwa Radhar telah selesai menjalani
operasi Fistula dan sudah bisa ngobrol ngalor-ngidul. Bahkan mulai bisa
berkelakar! SBY yang baru saja menjadikan diri Ketum Partai Demokrat tak luput
dari olok-oloknya.
“Aku ingin kalian semua tahu bahwa aku bahagia. Aku sangat bahagia.”
Dua hari kemudian, penggalangan dana yang lebih meyakinkan
dilaksanakan di Universitas Paramadina.
Acara ini bertajuk “Malam Cinta untuk Radhar Panca Dahana: Cerita Belum
Selesai.” Tanpa “setetes.”
Panitia malam cinta diketuai Kurnia Effendi. Banyak seniman
berpartisipasi. Selain menerima sumbangan langsung, penggalangan dana dibungkus
dengan lelang buku dan sketsa.
Dalam kesempatan ini, beberapa orang menyampaikan kesan dan
kesaksian tentang sosok Radhar. Sebelum membaca puisi, Fadjroel Rahman
bercerita, ia mengenal Radhar dari forum-forum diskusi semasa mahasiswa.
Fadjroel kuliah di ITB, Radhar di UI. Radhar sering bolak-balik Depok-Bandung untuk sekadar menghadiri diskusi.
“Dia selalu aktif berbicara dalam setiap diskusi dan
terlihat seperti tak pernah berhenti berpikir,” kenang Fadjroel.
“Kadang saya ingin bilang; ‘berhentilah sejenak kau
berpikir, Radhar!’ seperti yang diucapkan Jenderal Nagabonar kepada Lukman.”
“Umur 10 tahun dia
sudah menulis cerpen. Ketika saya masih bermain kelereng dan layang-layang,
Radhar sudah akrab dengan sastra. Ketika saya belum mengenal apa itu puisi dan
cerpen, karya Radhar sudah dimuat di Kompas. Dahsyat orang ini.”
“Kalau saya jadi dia, menderita penyakit sebanyak dan selama
itu, saya tidak tahu bisa bertahan seperti dia atau tidak.”
Slamet Rahardjo punya kesan yang sama dengan Fadjroel.
Ia mengaku kenal dengan Radhar pertama kali di Paris. Keinginan berliburnya
sedikit harus terganggu karena Radhar seperti tak bosan-bosannya mengajak
diskusi berbagai perkara.
“Ketemu Sitor (Situmorang) saya udah pusing, ditambah lagi
ketemu Radhar.”
Kesaksian mencengangkan keluar dari mulut dari Jose Rizal
Manua. Jose pertama kali melihat Radhar di rumah WS Rendra di Yogyakarta.
Ketika itu, Radhar terlihat sedang bertengkar hebat dengan Si Burung Merak. Dan
Radhar masih mengenakan seragam putih abu-abu! Berani-beraninya dia berdebat dengan
seniman kawakan.
“Siapa itu, Mas?” Tanya Jose kepada Rendra sesaat kemudian.
“Reza. ‘Cah ngeyelan.”
“Kelihatannya pinter?”
“Iya. Tapi suka ngeyel.”
Sejak itu Jose terbiasa mendapati Reza berdebat apa-saja
dengan Rendra. Seringkali ia menonton adu-mulut yang baginya sangat menarik itu. Menurutnya, Reza anak muda yang cerdas. Tak heran bila setelah menamatkan studinya di UI, Reza
melanjutkan studi di Paris, berguru pada Derrida.
*********
Cukup lama kolom di bawah Cerpen di Kompas Minggu tidak
membuat saya tersengat. 20 Januari 2013, esai berjudul “Saatnya PengarangBersinergi” begitu menyengat. Begitu membekas.
Radhar penulis esai
itu. Tentu hal biasa jika esai Radhar kaya gagasan. Ia
salah-satu esais tertajam yang ada di negeri ini. Namun kali ini, ia membawakan
seruan kepada kawan-kawan seperjuangannya, sesama pengarang, sesama seniman.
Seruan lantang yang menggugah.
Pertama-tama, Radhar mengkritik sikap yang menyeolah-olahkan
kepengarangan identik dengan segala yang urakan. Keras ia mengkritik anggapan bahwa organisasi atau tertib dan keteraturan berbahaya bagi kreativitas. Menurut Radhar, urakanisme
hanya konsekuensi dari kepengarangan yang bebas makanya kita menemui gaya itu
pada banyak seniman besar.
Selanjutnya ia menyerukan pentingnya organisasi pengarang. Ia memaparkan berbagai
argumen yang meniscayakan sinergi itu agar tercipta karya-karya dan kontribusi
lebih besar.
“Tidak akan muncul sebuah karya yang baik, yang besar, yang
beramplitudo dan bermagnitudo tinggi, yang kanonik, tanpa disiplin, tanpa
organisasi. Seni dan seniman Indonesia sudah hampir setengah abad
menyampingkan, menafikan atau alergi terhadap hal ini. Mungkin ini salah satu
penyebab stagnasi kualitas dari karya-karya sastra mutakhir kita,” tulisnya.
Tak lupa ia pula menyoroti adanya semacam trauma organisasi
pengarang di masa lalu. Trauma yang harus diatasi generasi ini.
“Ini saatnya bagi seniman untuk berani melucuti diri –baik
secara personal maupun komunal-- dari stigma, trauma, juga romantisme yang
menyesatkan... Ini pula saatnya kita, para pengarang, memulihkan kesatuan di
masa perjuangan republik dulu, memadatkan kekuatan kolektif serta membentuk
sinergi yang memungkinkan kesusastraan Indonesia mengeluarkan kemampuan
terbaiknya.”
Kini ia terbaring di
rumah sakit. Solidaritas, cinta dari mereka yang diajaknya bersinergi melimpah demi kesembuhannya. Semoga ia cepat sembuh, agar bisa melanjutkan perjuangan mengobati dan
menyembuhkan luka-luka sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar