Pengantar untuk edisi pertama Tabloid Biru.
Ada suatu masa ketika Mazhab Ciputat begitu ramai diperbincangkan karena anak-anak muda dari kota kecil itu tampil dengan gagasan-gagasan hebat di pentas nasional. Ada suatu masa ketika, api aktivisme seperti takkan berhenti menyala di kampus kecil pinggiran Jakarta itu.
Itu dulu. Dulu sekali.
Semua itu nyaris tinggal cerita. Seperti tak ada yang bersisa dari kebanggaan masa lalu itu. Tak ada lagi pembaharuan dari Mazhab Ciputat. Basis-basis pergerakan juga telah bergeser. Hampir setiap perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, gelora perjuangannya tidak lagi berasal dari kampus ini. Aktivisme seperti mati suri.
Masih adakah yang peduli?
Di pojok-pojok kantin dakwah, di tengah obrolan tentang fashion terkini, masih ada satu-dua yang diskusi dampak kebijakan kenaikan harga BBM. Di Warung Kopi di bilangan Pisangan, di seputar perbincangan hasil laga-laga di Liga Eropa, masih ada beberapa mahasiswa yang ngobrol tentang nasib buruh di negeri ini.
Kita percaya, masih ada jiwa-jiwa yang gelisah dengan berbagai keadaan. Ada kerinduan terhadap iklim intelektual yang dulu pernah ada di Ciputat.
Tabloid Biru hadir untuk sekadar menyirami kekeringan diskusi dan kajian di Ciputat. Kami sadar betul, usaha ini belum seberapa untuk benar-benar menghidupkan kembali gairah intelektual dan semangat aktivisme yang dulu pernah ada. Tapi setidaknya, ikhtiar ini telah dimulai. Jalan ini harus dimulai.
Tabloid Biru hadir dengan jurnalisme wacana. Setiap edisi akan ada tema khusus yang kami hadirkan. Di Edisi pertama ini, mumpung masih bulan Mei, kami mengangkat pembicaraan tentang nasib buruh.
Tabloid Biru sengaja hadir dengan breaking ideas, bukan breaking news. Karena kita semua pasti mafhum, sumber berita yang serba-cepat akan kita dapatkan dengan gampang di internet. Maka dalam setiap edisi, kami akan selalu berusaha menghadirkan artikel yang mendalam dengan gagasan yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar