2.12.13

Nyanyi Sunyi dari Gang Melati

Aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai ketupat di hari lebaran. Di kota kecil ini, aku telah menghabiskan seperempat lebih umurku. Di sini, jutaan perempuan –errr, maksudku, jutaan pertemuan, percakapan dan perdebatan telah mewarnai hidupku.

ilustrasi oleh Ucie*
Aku juga suka buku-buku dan diskusi sebagaimana aku menyukai opor ayam.

Ah, Ciputat. Kota kecil yang menyebalkan, sebenarnya. Kemacetan. Kesemerawutan. Denyut hidup kaum pinggiran. Semuanya menyatu dalam diriku. Kautahu, betapapun menyebalkannya sesuatu, jika itu adalah bagian dari dirimu, mau tak mau kau akan menerimanya sebagai kewajaran dan perlahan-lahan kau belajar mencintainya. Misalnya perutmu yang buncit atau hidungmu yang pesek. Maka, aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai perutku yang sedikit buncit.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Komarudin Hidayat ini pada pertengahan tahun 2007. Waktu itu aku masih kurus, belum sesubur sekarang. Sebagai perantau, aku telah menancapkan keinginanku untuk bersungguh-sungguh belajar di kampus yang katanya sedang merintis jalan menjadi kampus kelas-dunia. Sampai tahun ketiga, semuanya memang berjalan lancar. Sampai aku menemukan kebosanan-kebosanan pada diktat-diktat, ruang kuliah dan ceramah dosen yang tak menarik.

Pada forum kajian, aku lebih banyak dibuat terpesona dengan warna-warna daripada di bangku kuliah. Aku menemukan banyak hal yang lebih menggairahkan pada diskusi-diskusi informal dengan kawan-kawan kelompok diskusi. Aku merasa lebih hidup membicarakan karya-karya sastra, telaah sosial-budaya dan politik serta mendalami filsafat di Piramida Circle, forum studi yang kupilih sebagai pesantrenku selama di Ciputat.

Bagiku, kampus hanya mendiktekan kebosanan satu ke kebosanan lainnya. Kebanyakan aku terjelengar dibuatnya. Di fakultas psikologi tempatku pernah kuliah, aku melihat banyak kawanku digiring menjadi guru konseling atau bagian HRD di perusahaan-perusahaan. Tentu bukan dosa. Aku cuma tak mau menjadi bagian darinya.

Otakku tidak merasa merumah di kampusku sendiri. Otakku justru menemukan rumah di berbagai kajian dan tongkrongan. Salahkah bila aku alergi dengan kegiatan perkuliahan di kampus ini? Oh, tidak. Aku tak akan pernah berhenti belajar dari manapun. Meski aku merasa kampus ini bukan tempat yang cocok untukku, aku senantiasa mengejar apa, siapa dan kemana saja agar aku bisa berguru. Jangan khawatir, aku tetap akan menjadi pembelajar seumur hidup.

Apalagi yang harus kukatan tentang Ciputat? Aku telah mengenal setiap inci tanahnya, rupa-rupa manusianya, tempat makan termurah sampai termahal, dan yang paling penting, pergolakan pemikiran mutakhir yang lahir di kawasan tak rapi ini. Seorang kawan pernah berseloroh, aku –dengan sekian pergelutanku di Ciputat selama ini, telah mencapai Puncak Makrifat Ciputat.  Tanyakan padaku semua yang ingin kau tahu tentangnya, aku akan menjawab dalam satu-dua kedipan mata. Asal jangan kau tanya tentang cara memikat gadis Ciputat. Karena hingga kini aku pun masih bingung.

Itulah masalahnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mendekati perempuan Ciputat. Barangkali karena aku terlampau sibuk dengan buku-buku, laptop dan diskusi.

***

Aku gandrung akan sepakbola. Bukan hal aneh, bukan?

Kepalaku bisa mendadak vertigo bila malam akhir pekan kulewatkan tanpa laga sepakbola. Oh iya, fakta bahwa hanya 0,000000001 hidupku yang kuhabiskan dengan merasakan kehangatan malam minggu bersama pacar tentu berkontribusi besar atas  pusing kepala itu, tapi sepakbola selalu berhasil menjadi obat mujarab. Sepakbola adalah keajaiban bagi hidupku. Sialnya, sepakbola juga bisa merusak hari-hariku.

Awalnya aku menikmati sepakbola sebagai permainan yang menyenangkan. Hanya itu. Permainan. Bermain. Main-main. Senang-senang. Berkejaran di bawah guyuran hujan memperebutkan dan menendang-nendang bola bersama kawan-kawan di desa tak pernah gagal membuatku riang-gembira meski ketika pulang ke rumah pasti dimarahi orang tua. Tontonan sepakbola baik itu acara tujuh-belasan di kecamatan atau di televisi bagiku selalu lebih seru daripada film-film laga atau tembak-tembakan ala koboi mana pun.

Seiring berjalannya waktu, sepakbola tak lagi sekadar perwujudan dari kesenangan bagiku, lebih dari itu sepakbola menjadi gengsi dan lambat-laun menjelma egoku. Semua itu bermula sejak aku memilih dan menentukan tim sepakbola kesayangan. Pilihan itu membuatku merasa memiliki klub sepakbola itu, atau --boleh dibilang,- klub itu yang memilikiku. Emosiku jadi rentan dipengaruhi hasil pertandingan. Lama-lama aku curiga jangan-jangan skor akhir itu adalah emosiku sendiri. Menang, senangnya tak alang kepalang, bunyi nafiri terus bergema di rongga dada, dan hari-hariku dalam sepekan akan berlangsung ringan. Kalah, bawaanku jadi marah-marah, pekanku terasa bencana.

Seperti malam ini, sehabis kekalahan Inter Milan dari klub semenjana, rasanya aku ingin menghancurkan semua barang di atas meja. Piring, gelas, asbak biar berdemprang paling garang. Aku ingin kegaduhan. Bukan keberisikan yang mengusik. Kegaduhan yang memompa epinefrina.

Di ujung meja sana, Zakky dan Bana menciptakan keberisikan yang mengesalkan. Ingin rasanya menyumpal mulut dan membanting badan mereka berdua ke lantai lalu kutimpakan sengkang rak buku rak piring kompor gas sekalian wastafel lalu aku akan tertawa terbahak-bahak. Lalu aku membakar markas besar ini dengan satu lemparan kecil korek kayu pada minyak tanah yang telah kusiramkan sebelumnya. Semua itu terjadi di kepalaku. Kenyataannya, mereka berdua yang terpingkal-pingkal karena obrolan entah yang kesannya mentertawakanku.

“Pernah skor laga klub favoritmu mempengaruhi mood-mu dalam waktu yang panjang?” Bana bertanya. Oh, mereka memang menyindirku. Tahu kau bagaimana rasanya ditimpuk laptop, Ban?

“Mempengaruhi sih iya. Tapi nggak lama juga. Paling-paling ya kecewa saja selepas nonton. Keyk-keyk (ini gaya anak muda jaman sekarang untuk bilang kayak-kayak, maksudnya: seperti. Dasar alay!) gimana ya… Keyk-keyk gak habis aja pikir gitu. Tapi setelah beranjak ya sudah. Toh, hidup harus dilajutkan? Banyak tugas lain menunggu. Buat apa melestarikan kekecewaan jika itu tak membantu kita berkarya?” Sok serius Zakky menjawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban. Menyebalkan. Pernah kau digebuk pakai dispenser beserta galon penuhnya, Jek?

Aku membolak-balik halaman Lapar-nya Knut Hamsun. Tapi otakku masih terpaku pada percakapan dua asu buntung itu.

“Bener banget. Aneh aja ada orang-orang yang gitu. Tapi ya boleh-boleh aja sih. Yang kelewatan gak jelasnya itu orang-orang yang berantem gara-gara membela klubnya. Kalo klubnya kalah, misalnya, terus di-cengin abis, dia ngamuk-ngamuk sampe ngajak berantem. Apa coba perlunya gontok-gontokan perkara klub?” Bana makin tajam menyilet. Perih ulu hatiku. Biarlah, biar dia mengoceh sampai tamam nafsunya.

Lebih baik aku masuk kamar daripada terjadi perkelahian seperti sinetron Indosiar.

“Iya, bener. Banyak banget emang yang gak jelas keyk-keyk gimana gitu. Ada tuh yang pernah jadi jurnalis bola tapi masih keyk gitu.” Zakky brengsek! Berani-beraninya dia terang-terangan menamparku. Nyamuk-nyamuk di sini pun tak kalah brengseknya. Haruskah aku bersepeda untuk memuntahkan kemarahanku?

“Hahaha. Jonathan Wilson, kolumnis bola terkeren sejagad Inggris, nulis di Jurnal bola bikinannya, The Blizzard, edisi Sembilan, kalo bolakaki itu emang olahraga kemarahan. Angry sport. Kata dia,  dari dulu emang gitu, dan booming-nya jejaring sosial makin menelanjangkan fakta itu. Dia juga bilang, yang paling melelahkan dan membosankan jadi jurnalis bola itu bukan kerja sampai larut malam atau perjalanan panjang untuk liputan, melainkan menghadapi fans yang marah dan tolol yang mayoritas itu.”

“Nah, kalo jurnalis bola, atau minimal mantan jurnalis bola keyk gitu, berarti anehnya kuadrat dong. Hahaha.”

Babi!

“Seenggaknya, jurnalis bola kan mempelajari banyak hal ya. Absurd memang kalo otaknya masih cupet. Hehehe.”

“Padahal jadi suporter itu nggak dibayar lhoh ya. Malah harus membayar dengan harga yang nggak sedikit. Kita bahkan jadi papan iklan berjalan dengan jersey yang kita pakai.”

“Itulah. Absurd.” Susah bicara dengan awam yang belum pernah mendengar apalagi beriman pada firman Bill Shankly. Lebih cepat aku mengayuhkan sepedaku kemungkinan pertumpahan darah akan semakin kecil.

***

Kau mungkin mengira aku orang yang jiwanya rusuh. Kau salah. Aku telah berdamai dengan apa pun. Dengan kesendirian, kegagalan dan kekecewaan, juga dengan nyamuk dan kenangan. Iya, kenangan. Tak semuanya menyenangkan, memang. Tapi sungguh, aku telah berdamai dengan segala.

Zakky salah bila meyakini merawat kekecewaan tak membantu kita berkarya. Kau salah bila beranggapan bahwa menggarami luka tak baik bagi produktivitas. Aku akan buktikan kalian salah. Aku sedang menulis novel tentang taman kesedihan yang rutin kukunjungi. Semua kisahnya bersumber dari kenangan-kenangan yang kerap menindih kepalaku. Aku akan buktikan. Di setiap kelas menulis, hal pertama yang selalu kuajarkan kepada peserta didikku adalah ritual memanggil kenangan. Seburuk apa pun kenangannya tak pernah gagal menjadi tulisan bagus. Percayalah.

Perkara kuliahku, sekali lagi aku telah berdamai. Goenawan Mohamad, sastrawan besar itu, toh tidak menamatkan pendidikannya di Fakultas Psikologi, fakultas yang sama denganku. Aku punya rencana untuk menyeriusi studi sastra, entah di kampus mana. Aku akan memenuhi nubuat kawan karibku; aku akan menjadi lumba-lumba sastra Indonesia, suksesor HB. Jassin.

Kau kira aku belum pernah punya pacar? Enak saja. Gadis berkacamata itu memang tak terbit dari Ciputat. Ia datang dari kota kenangan. Ah, aku sedang tak ingin berpanjang-lebar tentangnya. Tapi kau harus tahu, paling tidak, aku pernah memenangi hatinya.

Namaku Dedik Priyanto. Apa lo? Apa lo? (Bersambung)

*Ucie adalah kartunis Majalah Surah. Untuk menikmati goresan tangannya, silakan kunjungi tumblr Kartun Surahman.

3 komentar: