Piala Dunia sebagai Sebuah Catatan

Setiap piala dunia datang, saya selalu sumringah. Tidak aneh, miliaran orang pun demikian, girang, riang gembira. Makanya saya sempat heran ketika pembawa acara di televisi penyiar Piala Dunia bilang pertandingan pembuka disaksikan ribuan mata. Ribuan mata? Ayolah, Indonesia saja ratusan juta mata.

Bagi kita, orang Indonesia, ada yang berbeda dengan Piala Dunia tahun ini. Kita sedang di ambang penentuan pucuk kepemimpinan negeri. Hari pencoblosan nanti bertepatan dengan laga semifinal.

Menjelang Piala Dunia, euforia tayangan televisi, perbincangan media sosial dan penyelenggaraan acara di berbagai tempat tidak semeriah Piala Dunia sebelumnya. Euforia itu tidak bebas lepas, sedikit-banyak tertutup oleh hingar-bingar copras-capres.

Tentu saja kemeriahan pesta yang berkurang tersebut takkan mengurangi kenikmatan kita menonton tim-tim terbaik dunia berlaga. Paling-paling, itu hanya sedikit merugikan stasiun televisi atau perusahaan pengiklan karena kurang bisa memaksimalkan pengerukan keuntungan dari perhelatan akbar empat tahun sekali ini.

Sebagaimana kekhusyukan seorang muslim taat takkan terganggu dengan atau tanpa meriahnya selebrasi menyambut Ramadan, seorang penggila bola takkan berkurang kadar imannya meski tanpa festival  dansa-dansi  a la televisi. Kekhusyukan itu barangkali justru lebih terasa dalam kondisi seperti sekarang. Jika sebelumnya banyak di antara kita yang dibuat jengah dengan pernak-pernik yang seringkali membosankan, kali ini tidak perlu aksesoris berlebihan.

Di tengah riuh-riuh rendah kampanye pemilihan presiden yang berlebihan, minim imajinasi dan cenderung melelahkan, kita mendapatkan jeda yang indah dari Brazil. Oase di tengah padang pasir. Kita tak perlu hiburan tambahan semisal tali perut dan lain sebagainya. Oase itu adalah semua yang kita inginkan. Piala Dunia datang, semua senang. Tinggal duduk, tonton dan nikmati.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

***

Setiap Piala Dunia datang, saya selalu ingat anjing-anjing yang saya pelihara di masa kecil. Waktu duduk kelas dua Sekolah Dasar, di rumah saya punya enam belas anjing yang lucu-lucu. Jangan heran, dan jangan bayangkan keluarga saya merawat anjing seperti orang kota menimangnya. Anjing-anjing itu berguna untuk menjaga kebun dari serangan babi-babi hutan. Dan ayah saya menamai mereka dengan nama para pesepakbola yang berlaga di Piala Dunia 1994. Romario, Bebeto, Baggio, Escobar dan kawan-kawan.

Begitulah, ayah saya menanamkan catatan tentang sebuah fase dalam hidup saya dengan nama-nama anjing.

Saya mengenang desa saya di pelosok Sumatera Selatan pada tahun 1994 dengan Piala Dunia. Ketika tiang listrik baru dipancangkan dan belum berkabel, babi-babi hutan masih sering berkeliaran bahkan sesekali melalui jalan raya, tentara hampir sebulan sekali melalukan long march hingga membuat saya bercita-cita akan jadi salah-satu dari mereka, dan cerita tentang Piala Dunia saya dengar dari mulut Ayah setelah ia nonton di kota kecamatan atau saya eja dengan masih terbata-bata dari potongan-potongan berita koran dan majalah.

Tahun 1998, desa saya sedikit lebih terang. Rumah-rumah telah dialiri listrik. Saya ingat di bulan Mei, Kakek berada di depan kotak televisi lebih sering daripada biasanya. Ia  tak henti-hentinya menggerutu melihat berita kerusuhan yang meningkat di Jakarta, sesekali menggumamkan nama dua bibi saya yang sejak setahun sebelumnya merantau di ibukota. Keduanya baik-baik saja dan ketika Piala Dunia datang, Kakek telah melupakan kekhawatirannya.

Setiap orang tentu punya kisahnya sendiri, yang personal dan spesial, yang berkaitan dengan turnamen akbar empat tahunan ini. Pada akhirnya, masing-masing kita memiliki upaya sendiri-sendiri agar lebih khusyuk berkhidmat pada Piala Dunia. Saya, misalnya, yang kali ini menikmatinya sebagai jeda dari pengerjaan skripsi.

Selamat menunaikan ibadah bola.