30.6.14

Film Laskar Pelangi yang Baik dan Benar

Laskar Pelangi memang fenomenal. Ia menyedot perhatian besar dari publik Indonesia, bahkan dunia. Seperti umumnya fenomena besar lain, ia juga menyisakan berbagai masalah. Bukankah revolusi atau perang tidak pernah langsung membuat keadaan lebih baik, melainkan meninggalkan masalah-masalah baru yang harus dibereskan?


Perdebatan apakah novel LaskarPelangi karya sastra atau bukan, hingga kini masih seperti perang opini apakah yang tumbuh lebat di dada Rhoma Irama itu rambut atau bulu. Setiap pihak berkukuh pada pendiriannya dan bumi terus berputar mengelilingi matahari.

Yang teranyar, Andrea Hirata, penulis novel best-seller itu, mengklaim bahwa karyanya jadi karya Indonesia pertama yang mendapat perhatian dunia secara luas dalam seratus tahun terakhir. “Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdulillah semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia,” kata Hirata seperti dikutip banyak media pada Februari 2013.

Tentu saja tidak sedikit orang mengerutkan dahi mendengar pernyataan Hirata. Bisa dibayangkan jika semua orang berkacamata mendengar ucapan Hirata itu langsung di hadapannya, kacamata mereka akan merosot ke tulang hidung dengan mata yang menusuk tajam. Dikemanakan Pramoedya Ananta Toer? Ahmad Tohari? NH. Dini? YB. Mangunwijaya? Dalam bahasa anak-anak muda Jakarta, “Kemana aja, lo?”

Seorang Publilis, Damar Juniarto, dalam tulisannya di kompasiana, Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: AntaraKlaim dan Faktanya, membongkar klaim Hirata itu tak lebih sebagai strategi marketing ketimbang fakta. Ia meminta Hirata mengedepankan kejujuran dalam bisnis penerbitan. Hirata tak urung kebakaran jenggot dan sempat berusaha memperkarakan Juniarto di ranah hukum.

Bagaimanapun, sebagai fenomena, novel Laskar Pelangi berhasil mengundang pembicaraan yang luas mengenainya. Angka penjualan menakjubkan. Pro dan kontra. Pujian-pujian mengagungkan dan kritik-kritik pedas di berbagai media. Bahkan Nurhady Sirimorok menulis satu buku khusus, Laskar Pemimpi: Pembacanya dan Modernisasi Indonesia, untuk menelanjangi ideologi apa—yang sekaligus menjelaskan kenapa Laskar Pelangilaris manis—di balik karya Hirata.

Bagaimana dengan filmnya?

Boleh dibilang, film Laskar Pelangi dari jauh-jauh hari telah diramalkan bakal mencetak suskses besar mengingat novelnya yang laku keras. Namun tentu saja tak semudah itu, dibutuhkan kerja kreatif yang memadai agar disukai penonton. Dan untuk urusan kreativitas, rasanya tidak salah mempercayakan penggarapan film ini kepada Riri Riza, bersama Salman Aristo dan Mira Lesmana yang mengadaptasi novel menjadi skenario.

Di tangan Riri, kisah Laskar Pelangi jadi lebih masuk akal daripada novelnya. Tidak ada tokoh Lintang yang super jenius—anakSD yang bisa berdebat dengan juri Cerdas-cermat tentang Teori Newton—seperti dalamnovel. Riri menggantinya dengan adegan yang lebih realistis: kesalahan yang jamak terjadi pada kunci jawaban.

Akting Cut Mini sebagai Bu Muslimah sangat meyakinkan dengan logat Belitongnya.  Dan bocah-bocah pribumi yang memerankan 10 anggota Laskar Pelangi pun tampil dengan cukup baik dan benar. Kenyataan bahwa mereka hanya harus berlaku sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari mereka tampaknya sangat membantu, tinggal dibumbui dengan sedikit akting antusias, gembira, marah, sedih dan lain-lain.

Berkat kerja hebat Riri dan timnya itu, film yang pertama kali diputar pada 2008 itu sampai sekarang masih mencatatkan diri sebagai film dengan rekor penonton terbanyak di Indonesia. Menurut situs Filmindonesia.or.id,  Laskar Pelangi membukukan angka penonton sebanyak 4.606.785. Angka yang belum bisa dilampui film lain.

Film ini layak  mendapat jumlah penonton yang spektakuler itu. Pilihan Riri yang mau menampilkan beberapa adegan yang sinetron banget,  harus diakui sebagai pilihan yang cerdas. Salah satunya, adegan ketika tokoh utama, Ikal, mengambil kapur dan melihat kuku-kuku jelita A Ling, anak si pemilik toko. Mengikuti kemendayu-dayuan novelnya, Riri merasa perlu member efek bunga-bunga berjatuhan pada adegan tersebut.


Karena selera sebagian besar penonton film Indonesia memang masih berkutat pada yang kesinetron-sinetronan.

*artikel ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Surah Edisi V

1 komentar:

  1. is the best betting company, reliable, and updated and supported by 24-hour support Live Chat service pokerstars | Judi online

    BalasHapus