Laskar Pelangi memang fenomenal. Ia
menyedot perhatian besar dari publik Indonesia, bahkan dunia. Seperti umumnya
fenomena besar lain, ia juga menyisakan berbagai masalah. Bukankah revolusi
atau perang tidak pernah langsung membuat keadaan lebih baik, melainkan
meninggalkan masalah-masalah baru yang harus dibereskan?
Perdebatan apakah novel LaskarPelangi karya sastra atau bukan, hingga kini masih seperti perang opini apakah yang
tumbuh lebat di dada Rhoma Irama itu rambut atau bulu. Setiap pihak berkukuh
pada pendiriannya dan bumi terus berputar mengelilingi matahari.
Tentu saja tidak sedikit orang
mengerutkan dahi mendengar pernyataan Hirata. Bisa dibayangkan jika semua orang
berkacamata mendengar ucapan Hirata itu langsung di hadapannya, kacamata mereka
akan merosot ke tulang hidung dengan mata yang menusuk tajam. Dikemanakan
Pramoedya Ananta Toer? Ahmad Tohari? NH. Dini? YB. Mangunwijaya? Dalam bahasa
anak-anak muda Jakarta, “Kemana aja, lo?”
Seorang Publilis, Damar Juniarto, dalam
tulisannya di kompasiana, Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: AntaraKlaim dan Faktanya, membongkar klaim Hirata itu tak lebih sebagai strategi
marketing ketimbang fakta. Ia meminta Hirata mengedepankan kejujuran dalam
bisnis penerbitan. Hirata tak urung kebakaran jenggot dan sempat berusaha
memperkarakan Juniarto di ranah hukum.
Bagaimanapun, sebagai fenomena,
novel Laskar Pelangi berhasil mengundang pembicaraan yang luas mengenainya.
Angka penjualan menakjubkan. Pro dan kontra. Pujian-pujian mengagungkan dan
kritik-kritik pedas di berbagai media. Bahkan Nurhady Sirimorok menulis satu
buku khusus, Laskar Pemimpi: Pembacanya dan Modernisasi Indonesia, untuk
menelanjangi ideologi apa—yang sekaligus menjelaskan kenapa Laskar Pelangilaris manis—di balik karya Hirata.
Bagaimana dengan filmnya?
Boleh dibilang, film Laskar Pelangi
dari jauh-jauh hari telah diramalkan bakal mencetak suskses besar mengingat
novelnya yang laku keras. Namun tentu saja tak semudah itu, dibutuhkan kerja
kreatif yang memadai agar disukai penonton. Dan untuk urusan kreativitas,
rasanya tidak salah mempercayakan penggarapan film ini kepada Riri Riza,
bersama Salman Aristo dan Mira Lesmana yang mengadaptasi novel menjadi
skenario.
Di tangan Riri, kisah Laskar Pelangi
jadi lebih masuk akal daripada novelnya. Tidak ada tokoh Lintang yang super jenius—anakSD yang bisa berdebat dengan juri Cerdas-cermat tentang Teori Newton—seperti dalamnovel. Riri menggantinya dengan adegan yang lebih realistis: kesalahan yang
jamak terjadi pada kunci jawaban.
Akting Cut Mini sebagai Bu Muslimah
sangat meyakinkan dengan logat Belitongnya.
Dan bocah-bocah pribumi yang memerankan 10 anggota Laskar Pelangi pun
tampil dengan cukup baik dan benar. Kenyataan bahwa mereka hanya harus berlaku
sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari mereka tampaknya sangat membantu, tinggal
dibumbui dengan sedikit akting antusias, gembira, marah, sedih dan lain-lain.
Berkat kerja hebat Riri dan timnya
itu, film yang pertama kali diputar pada 2008 itu sampai sekarang masih
mencatatkan diri sebagai film dengan rekor penonton terbanyak di Indonesia.
Menurut situs Filmindonesia.or.id,
Laskar Pelangi membukukan angka penonton sebanyak 4.606.785. Angka yang
belum bisa dilampui film lain.
Film ini layak mendapat jumlah penonton yang spektakuler itu.
Pilihan Riri yang mau menampilkan beberapa adegan yang sinetron banget, harus diakui sebagai pilihan yang cerdas.
Salah satunya, adegan ketika tokoh utama, Ikal, mengambil kapur dan melihat
kuku-kuku jelita A Ling, anak si pemilik toko. Mengikuti kemendayu-dayuan
novelnya, Riri merasa perlu member efek bunga-bunga berjatuhan pada adegan
tersebut.
Karena selera sebagian besar
penonton film Indonesia memang masih berkutat pada yang kesinetron-sinetronan.
*artikel ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Surah Edisi V
is the best betting company, reliable, and updated and supported by 24-hour support Live Chat service pokerstars | Judi online
BalasHapus