17.7.14

Gelak Sedih Buku di Kota Pelajar

Yogyakarta selalu spesial di hati banyak orang. Baik penduduk asli maupun pendatang atawa sekadar pelancong. Pelbagai gelar disematkan pada kota yang dipimpin oleh seorang raja ini. Kota pelajar, kota budaya, kota wisata, kota seni, kota gudeg hingga kota kenangan. Keberuntungan (atau kemalangan?) yang tidak banyak dimiliki kota-kota lain di Indonesia. Istimewa.



Rasanya hanya sedikit orang yang tidak pernah berniat mengunjungi Yogyakarta. Meski tentu, Yogyakarta, seperti tempat-tempat dimanapun di dunia ini, tidak bisa luput dari ragam persoalan. Yogya tetaplah kata kunci luar biasa, yang sekali lagi, pasti dicemburui oleh orang kota lain.

Kata kunci Yogya dengan segera akan menurunkan teori, konsep, definisi yang berbeda bagi setiap kepala. Warga yang ramah dan murah senyum. Berbudaya. Terpelajar. Sederhana. Tidak mahal. Universitas Gajah Mada. Malioboro. Parang Tritis. Goa pindul. Angkringan. Dan sederet turunan lainnya yang tak habis-habis dan bisa membuat orang kangen saat jauh. Yogya tak pernah miskin cerita. Jangan heran bila dari Yogya lahir ribuan buku, lagu dan kisah lisan yang turun-temurun.

Di kesempatan yang syahdu ini, kita akan menelusuri sisi lain dari Yogyakarta: wisata buku.

***

Perjalanan saya ditemani seorang kawan, seorang mahasiswa tingkat akhir Filsafat UGM, Rifqi Muhammad, pengelola website kampusjogja.com yang telah hafal setiap lekuk perbukuan Yogyakarta. Tentu saja, di kampusnya ia seorang veteran. Tempat pertama yang ditunjukkannya adalah Pertokoan Buku Terban di sebelah selatan UGM. Kios-kios buku berjejeran di samping jalan.

Secara acak kami memilih Kios Buku Kusuma, mengobrak-abrik koleksinya. Di Kusuma, sebagian besar yang diperjualkan adalah buku-buku pelajaran untuk anak-anak SD, SMP dan SMA. Ada pula buku-buku untuk mahasiswa dan novel yang dipajang di depan. Harganya relatif murah. Karena buku di sini rata-rata adalah buku bajakan.

Perjalanan dilanjutkan ke Kompleks Buku Taman Pintar di Jalan Sriwedari. Kompleks ini lebih besar dari pertokoan sebelumnya. Kompleks ini sering juga disebut Shopping Centre. Inilah tempat belanja buku terbesar bagi mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta, selain toko-toko buku besar yang biasanya bisa dijumpai di pasar-pasar modern. 



Kompleks Buku Taman Pintar menawarkan buku-buku yang jauh lebih beragam dibanding Terban.  Boleh dibilang inilah Kwitangnya Yogyakarta, namun dengan penampilan yang lebih tertata. Kompleks ini terdiri dari dua lantai, dengan ratusan kios. Tidak hanya menawarkan buku bajakan, beberapa kios di sini pun ada yang merupakan kios resmi dari beberapa distributor dan penerbitan. Bahkan Anda pun bisa menemukan kios-kios yang menawarkan kliping koran lawas dan tugas-tugas akhir mahasiswa dari berbagai kampus dengan tema yang telah dikurasi. 

Seperti halnya Kwitang, kita juga bisa mendapatkan buku-buku dan majalah bekas di sini dengan harga miring. Saya mendapatkan beberapa eksemplar majalah kebudayaan Basis, The Economist dan Newsweek edisi 2004 hingga 2008. Juga novel-novel terjemahan Pustaka Jaya seperti The Adventure of Tom Sawyer karya Mark Twain, yang mulai langka di pasaran.

Setelah puas berkeliling Shopping, tujuan kami selanjutnya adalah Kios Buku & Majalah Nol Km Yogyakarta. Tempat ini seperti Terban, berderet kios di pinggir jalan raya, dengan jumlah kurang dari sepuluh.

Tiba di Nol Km, kami langsung memarkir motor di pelataran yang cukup luas. Sayasetengah berlari menuju salah satu kios, tidak sabar karena melihat banyak karya Pramoedya Ananta Toer yang terpampang rapi. Tanpa sengaja, tas yang  saya gendong tertabrak seseorang yang juga berjalan terburu-buru. Orang itu bercelana pendek warna krem, berkaos putih dengan gambar Garuda Pancasila di dadanya dan kacamata disampirkan di leher kaos.

Rifqi segera menghampiri pria itu. Mereka langsung terlibat dalam percapakan yang cukup hangat.
Tebak siapa dia? Ialah Muhidin M. Dahlan yang legendaris itu. Gus Muh, begitu Rifqi menyapanya, adalah pendiri Radio Buku dan penulis beberapa buku keren, diantaranya Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta dan Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965.

Gus Muh menjadi legenda hidup di Yogyakarta karena dedikasinya yang luar biasa untuk dunia literasi. 

Radio Buku, radio berbasis internet yang bisa didengar dengan streaming, adalah salah satu contoh bagaimana ia berkhidmat untuk buku. Radio ini melulu bicara buku dan dihidupkan oleh para pecinta buku.

Dengan motto “Mendengarkan Buku, Radio Buku memiliki program-program menarik untuk generasi internet, antara lain: Angkringan Buku, acara dialog yang menghadirkan penulis, individu atau komunitas pembaca untuk membedah buku tertentu; Buku Pertamaku, tentang bagaimana seseorang begitu intim dangan bukunya dan bagaimana sebuah buku begitu berpengaruh dalam hidup; dan program Komunitas, yang merekam geliat berbagai komunitas literasi. Program-program itu bisa didengarkan di radiobuku.com.

Saya segera menyalami Gus Muh dan mengenalkan diri. Setelah basa-basi singkat, kami pun menghampiri kios bersama-sama. Gus Muh bilang, ia sedang mencari Majalah Tempo Edisi Khusus untuk menambah koleksi di Perpustakaan Radio Buku. Tapi apa yang dicarinya tidak ditemukan di situ.

Melihat banyak buku bajakan karya Pramoedya, seketika Gus Muh terlihat murung.

“Kasihan keluarga Pram, buku-buku Pram dibajak secara masif begini,” katanya lirih.

*artikel ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Surah Edisi V


Tidak ada komentar:

Posting Komentar