Rasanya hanya sedikit orang yang tidak pernah berniat mengunjungi Yogyakarta. Meski tentu, Yogyakarta, seperti tempat-tempat dimanapun di dunia ini, tidak bisa luput dari ragam persoalan. Yogya tetaplah kata kunci luar biasa, yang sekali lagi, pasti dicemburui oleh orang kota lain.
Kata kunci Yogya dengan segera akan menurunkan teori,
konsep, definisi yang berbeda bagi setiap kepala. Warga yang ramah dan murah
senyum. Berbudaya. Terpelajar. Sederhana. Tidak mahal. Universitas Gajah Mada.
Malioboro. Parang Tritis. Goa pindul. Angkringan. Dan sederet turunan lainnya
yang tak habis-habis dan bisa membuat orang kangen saat jauh. Yogya tak pernah miskin
cerita. Jangan heran bila dari Yogya lahir ribuan buku, lagu dan kisah lisan
yang turun-temurun.
Di kesempatan yang syahdu ini, kita akan menelusuri sisi
lain dari Yogyakarta: wisata buku.
***
Perjalanan saya ditemani seorang kawan, seorang mahasiswa
tingkat akhir Filsafat UGM, Rifqi Muhammad, pengelola website kampusjogja.com yang telah hafal setiap
lekuk perbukuan Yogyakarta. Tentu saja, di kampusnya ia seorang veteran. Tempat
pertama yang ditunjukkannya adalah Pertokoan Buku Terban di sebelah selatan
UGM. Kios-kios buku berjejeran di samping jalan.
Secara acak kami memilih Kios Buku Kusuma, mengobrak-abrik koleksinya. Di Kusuma, sebagian besar yang diperjualkan
adalah buku-buku pelajaran untuk anak-anak SD, SMP dan SMA. Ada pula buku-buku
untuk mahasiswa dan novel yang dipajang di depan. Harganya relatif murah.
Karena buku di sini rata-rata adalah buku bajakan.
Perjalanan dilanjutkan ke Kompleks Buku Taman Pintar di
Jalan Sriwedari. Kompleks ini lebih besar dari pertokoan sebelumnya. Kompleks
ini sering juga disebut Shopping Centre.
Inilah tempat belanja buku terbesar bagi mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta,
selain toko-toko buku besar yang biasanya bisa dijumpai di pasar-pasar
modern.
Kompleks Buku Taman Pintar menawarkan buku-buku yang jauh
lebih beragam dibanding Terban. Boleh
dibilang inilah Kwitangnya Yogyakarta, namun dengan penampilan yang lebih
tertata. Kompleks ini terdiri dari dua lantai, dengan ratusan kios. Tidak hanya
menawarkan buku bajakan, beberapa kios di sini pun ada yang merupakan kios
resmi dari beberapa distributor dan penerbitan. Bahkan Anda pun bisa menemukan
kios-kios yang menawarkan kliping koran lawas dan tugas-tugas akhir mahasiswa
dari berbagai kampus dengan tema yang telah dikurasi.
Seperti halnya Kwitang, kita juga bisa mendapatkan
buku-buku dan majalah bekas di sini dengan harga miring. Saya mendapatkan beberapa eksemplar majalah kebudayaan Basis, The Economist
dan Newsweek edisi 2004 hingga 2008. Juga novel-novel terjemahan Pustaka
Jaya seperti The Adventure of Tom Sawyer karya Mark Twain, yang mulai
langka di pasaran.
Setelah puas berkeliling Shopping, tujuan kami selanjutnya adalah Kios Buku & Majalah Nol Km Yogyakarta. Tempat ini seperti Terban, berderet kios
di pinggir jalan raya, dengan jumlah kurang dari sepuluh.
Tiba di Nol Km, kami langsung memarkir motor di pelataran
yang cukup luas. Sayasetengah berlari menuju salah
satu kios, tidak sabar karena melihat banyak karya Pramoedya Ananta Toer yang
terpampang rapi. Tanpa sengaja, tas yang saya gendong tertabrak seseorang yang juga berjalan terburu-buru. Orang itu bercelana pendek warna
krem, berkaos putih dengan gambar Garuda Pancasila di dadanya dan kacamata
disampirkan di leher kaos.
Rifqi segera menghampiri pria itu. Mereka langsung
terlibat dalam percapakan yang cukup hangat.
Tebak siapa dia? Ialah Muhidin M. Dahlan yang legendaris itu. Gus Muh, begitu Rifqi menyapanya, adalah pendiri Radio Buku dan penulis
beberapa buku keren, diantaranya Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta dan Lekra
Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965.
Gus Muh menjadi legenda hidup di Yogyakarta karena dedikasinya yang luar biasa untuk dunia literasi.
Radio Buku, radio berbasis internet yang bisa didengar dengan streaming, adalah salah satu contoh bagaimana ia berkhidmat untuk buku. Radio
ini melulu bicara buku dan dihidupkan oleh para pecinta buku.
Dengan motto “Mendengarkan Buku,” Radio Buku memiliki program-program menarik untuk generasi internet, antara lain: Angkringan Buku, acara dialog yang menghadirkan penulis, individu atau komunitas pembaca untuk membedah buku tertentu; Buku Pertamaku, tentang bagaimana seseorang begitu intim dangan bukunya dan bagaimana sebuah buku begitu berpengaruh dalam hidup; dan program Komunitas, yang merekam geliat berbagai komunitas literasi. Program-program itu bisa didengarkan di radiobuku.com.
Saya segera menyalami Gus Muh dan mengenalkan diri. Setelah
basa-basi singkat, kami pun menghampiri kios bersama-sama. Gus Muh bilang, ia
sedang mencari Majalah Tempo Edisi Khusus
untuk menambah koleksi di Perpustakaan Radio Buku. Tapi apa yang dicarinya
tidak ditemukan di situ.
Melihat banyak buku bajakan karya Pramoedya, seketika Gus Muh terlihat murung.
“Kasihan keluarga Pram, buku-buku Pram dibajak secara masif begini,” katanya lirih.
*artikel ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Surah Edisi V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar