19.9.14

Eka Kurniawan yang Maha Vulgar lagi Liar

Barangkali tak ada pengarang Indonesia yang karyanya dalam satu dekade ini sangat ditunggu banyak orang kecuali Eka Kurniawan. Medio 2008, melalui blog pribadinya, Eka mengumumkan telah menyetor naskah Malam Seribu Bulan kepada Penerbit Gramedia, Para Ekais (pembaca setianya, kalau boleh disebut begitu) berlonjak kegirangan. Tapi novel itu hingga kini belum juga muncul.


Setelah 10 tahun sejak novel terakhirnya terbit (Lelaki Harimau, 2004), Eka akhirnya mengeluarkan novel terbaru: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Rasanya tak sia-sia menunggu. Eka kali ini datang dengan gaya bercerita yang jauh lebih tangkas daripada dua novel sebelumnya. Jika di dua novel sebelumnya ia dikenal sebagai penulis yang gemar menggunakan kalimat panjang, bahkan banyak yang mengkritik kecenderungannya itu, kali ini Eka tampil dengan kalimat-kalimat ringkas. Bahkan di sana-sini, banyak satu kata yang diapit dua titik. Efektif.

Di Seperti Dendam, meski secara keseluruhan dari bab ke bab Eka menggunakan alur maju, ia membangun ceritanya dalam setiap bab dengan fragmen-fragmen pendek, mirip adegan-adegan di film yang dipotong-potong dengan peletakkan yang ciamik, dengan alur maju-mundur. Di setiap bab, dengan lihai Eka memilih plot yang bolak-balik tapi efeknya adalah tangga dramatik yang semakin meninggi.

Brutal

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa perihal Ajo Kawir. (hlm. 1)

Dibuka dengan kalimat yang seperti itu, selanjutnya adalah rangkaian kekerasan demi kekerasan yang melibatkan Ajo Kawir dan Si Tokek, anak Iwan Angsa, sejak masa kanak-kanak hingga mereka dewasa. Termasuk kekerasan yang jadi penyebab burung Ajo Kawir sampai tidak bisa berdiri.

Kehidupan Ajo Kawir dan Si Tokek di desa, menjadi perangkat yang baik Seperti Dendam dalam mengeksplorasi kehidupan batin manusia Indonesia di penghujung tahun 80-an. Kegiatan di surau atau langgar, sekolah, komik api neraka hingga cerita silat dan stensilan yang sampai ke desa-desa dan dibaca oleh anak-anak muda (bahkan anak kecil) pada masa itu. Juga cerita tentang preman-preman yang ditemukan mati tanpa sebab yang jelas.

Eka menggunakan periode sepertiga akhir kekuasaan Orde Baru sebagai latar cerita. Ketika kekerasan di negeri ini sedang berada di puncak keberingasannya. Tak urung novel ini penuh dengan adegan perkelahian, kerasnya jalanan, dan lumuran darah.

Tapi sebagaimana darah dalam film-film Quentin Tarantino, penonton (pembaca dalam hal ini) seolah tak pernah diberi celah untuk bersimpati kepada korban, dan sebagai gantinya, darah justru menjadi komedi. Darinya, kita justru mentertawakan kekonyolan kita sebagai manusia.

Seperti Dendam, sebenarnya, adalah cerita cinta. Cerita yang cinta yang berbeda, tepatnya. Cerita cinta antara Ajo Kawir dan Iteung dengan burung yang tak bisa ngaceng alias impoten. Dari situlah kisah ini bermula, sekaligus berakhir.

“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.”

“Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu juga kupelajari dari milikku,” kata Ajo kawir. (hlm 126.)

Semuanya kemudian bergerak liar, sekaligus vulgar. Tapi Eka tidak jatuh menjadi murahan dengan segala vulgar yang disajikannya, karena vulgarnya merupakan konsekuensi dari ide cerita yang dibagunnya sejak awal. Bukan untuk bergenit-genit ataulagi mengeksploitasi seksualitas demi sensasi cerita.

Dan, pesona karakter-karakter ciptaan Eka begitu kuat, sulit bagi kita untuk berhenti membaca, ditambah bumbu humornya yang semakin baik. Membaca Seperti Dendam sangat menyenangkan.

Itulah kelebihan sekaligus kekurangan novel ini. Dengan intensitas adegan perkelahian dan kebut-kebutan truk di jalanan yang tinggi, beberapa orang mungkin akan menghindarkan diri untuk membacanya. Penulisnya, sedari awal tentu saja telah menyadari konsekuensi tersebut. Bahwa Seperti Dendam bukan untuk dibaca semua kalangan, tidak semua kelompok umur bisa menikmati kisah yang demikian.

Tapi paling tidak, generasi saya, generasi yang masuk kuliah di paruh kedua dekade lalu, bisa membaca Seperti Dendam sengan seksama. Karena generasi ini pembaca setia Eka. Mereka menunggu novel terbaru Eka seperti orang kebelet berak. Bisa dibayangkan bagaimana lega, puas dan bahagianya mereka membaca novel yang telah lama mereka idam-idamkan.

Seperti balas dendam, rindu para Ekais akan dibayar tuntas.

*artikel ini pertama kali dipublikasikan di Surah Sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar