13.9.14

Pengkhianatan Ahok

Kamu tersungkur di atas sajadah dan memprotes Tuhan, “Apa salahku, Tuhan? Tega banget sih Kamu sama aku?”

sumber gambar: tempo

Tiba-tiba angin besar melanda pekarangan rumah. Tuhan datang dalam bentuk badai, bergelung-gelung, memorak-porandakan segala yang ada di halaman depan. Dan sebuah suara yang resonansinya lebih tinggi daripada sound system seluruh Gelora Bung Karno terdengar. Kamu menutup kuping karena tidak kuat mendengar lengkingan suara itu. Dengan menyumpal telinga pun, suara itu masih jelas terdengar ditingkahi badai.

“Sesungguhnya zon adalah sebohong-bohongnya perkataan. Sesungguhnya zon adalah sebohong-bohongnya perkataan. Sesungguhnya zon adalah sebohong-bohongnya perkataan.” Begitu berulang-ulang hingga Sembilan puluh sembilan kali.

Kamu langsung ingat Zon, tangan kananmu. Kamu hanya bisa sesenggukan, meratapi nasib.

Angin berhenti dan kamu tertatih-tatih ke ruang depan. Untungnya hanya halaman rumah yang luluh-lantak, seisi rumah tidak terganggu sama sekali. Televisi sedang menyiarkan pengunduran diri Basuki Tjahaja Purnama, kader terbaikmu, dari partai politik yang kamu dirikan, kamu hidupkan dengan sepenuh jiwa.

Sekali lagi kamu menyesalkan orang itu. Ia, kader terbaikmu, yang kamu rayu agar keluar dari partai kuning, setelah menjabat Wakil Gubernur lambat laun mulai songong. Kamu memang belum pernah memberikan nomor ponselmu kepadanya, kamu menyesal tidak pernah mengajaknya makan malam setiap akhir pekan, bicara tentang masalah-masalah sepele sehari-hari, akrab dan hangat.

Kamu terlalu terobsesi menjadi presiden, sehingga belum pernah punya waktu menemuinya secara pribadi, terlanjur menganggapnya sudah pasti memihak padamu dan pasti mendukungmu dalam pilpres. Ternyata kamu salah, ia lebih banyak membela pesaingmu, rekannya memimpin Jakarta yang ceking itu.

Kini kamu lihat Fadli Zon bicara di televisi, mengatai kader terbaikmu, “Ahok ngawur, kutu loncat yang tak tahu etika.” Kamu merenung, ingin sekali melempari orang kepercayaanmu itu dengan stik golf. Seandainya kau bicara di sini, Fadli, katamu dalam hati, tentu sudah kuhajar kau habis-habisan.

Kamu menyesal sudah terlalu percaya si mulut ular itu. Kamu sekali lagi menyesal tak pernah mengundang kader terbaikmu ngobrol santai. Waktumu terlalu banyak kamu habiskan dengan si Fadli, mengikuti arahannya membaca puisi, mempelajari kalimat-kalimat adiluhung untuk disampaikan dalam pidato-pidato. Ah, sudahlah.

Kamu menyesal kenapa tidak pernah belajar public speaking dengan kader terbaikmu saja, yang sekarang telah menyatakan pergi dari barisanmu dan meneriakkan perlawanan terhadapmu. Andai waktu bisa diputar, katamu.

Kamu pun mengganti saluran televisi, kamu lihat kader terbaikmu bicara. “Lebih baik jadi kutu loncat daripada kutu busuk.”

Sekali lagi kamu terpesona akan ucapannya yang lugas apa adanya, tapi sekarang kamu putuskan untuk tidak terharu akan kata-katanya. Kamu harus kuat, kamu harus ucapkan hal yang buruk tentangnya di hadapan khalayak.

Kamu berpikir keras apa yang harus kamu katakan, sambil memijat dahimu yang mendadak nyeri. Setelah lima belas menit, kamu tahu bahwa kamu hanya perlu bilang bahwa kader terbaikmu itu tak tahu tata karma. Kamu akan bilang pada para wartawan kalau ia belum pamit langsung kepadamu.

Kamu beranjak dari kursi, pergi ke dapur, memasak air dan menyeduh kopi.

Kamu duduk di saung belakang rumah, manatap kuda-kuda di istal yang lagi makan dengan lahap. Kamu menghirup napas dalam-dalam. Memikirkan seluruh hidupmu. Memikirkan apa saja yang telah kamu lakukan selama hampir tujuh dasawarsa.

Terlalu banyak yang kamu sesalkan. Terlebih tahun ini, terlalu banyak kekecewaan dan kegagalan. Terlalu banyak Pemberi Harapan Palsu. 2014 adalah Tahun Kesedihanmu. Tahun yang tak mudah. Setelah habis-habisan bertarung dalam Pilpres, menjadi orang yang paling banyak memboroskan harta untuk menyuapi begundal-begundal politik, kini satu-satunya kader terbaikmu memutuskan untuk hengkang dan menentangmu. Lancang!

Tapi kamu tahu kamu bisa bersabar, kamu cukup tegar menghadapi semua ini. Biar sekencang apa pun badai menerpamu, kamu tahu kamu akan tetap bertahan.  Kamu telah membuktikannya selama 63 tahun.

Kamu ingat Nabi Muhammad. Kamu ingat cerita tentang Isra Miraj, yang didahului Amul Huzni, Tahun Kesedihan. Muhammad ketika itu tentu jauh lebih sedih daripadamu. Ia kehilangan Paman dan istrinya tercinta. Sementara kamu hanya kalah pilpres dan di-PHP mantan istri.

Kamu pun berbisik, “Tuhan, aku juga mau dong diisra-miraj..”

1 komentar:

  1. Tidak separah itu lah, saya kira Ahok hanya berpikir lebih ke seluruh rakyat Indonesia bukan ke partai atau golongan. Yang pasti beliau menginginkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, KKN dan lain sebagainya. Kita mesti mendukung pemimpin yang akan membawa perubahan yang lebih baik untuk Negara kita tercinta. Jadi mohon jangan dihujat dan kita semua berdoa semoga apa yang diinginkan oleh orang Indonesia pemerintahan yang berish dan adil akan terwujud tidak memandang siapa pemimpinnya orang jawa, orang sunda orang sumatera atau orang china. Semoga yang menulis di twitter tersebut akan melihat lebih objektif dan berpikir bersih jadi tidak memihak kepada golongan atau partai selain kepada seluruh bangsa Indonesia.

    BalasHapus