4.9.14

Mbah Ngah

Ialah yang paling bertanggungjawab atas apa yang masuk ke dalam perutku, setidaknya untuk lima tahun, tiga tahun pertama dan dua tahun terakhir saya mondok di Pabelan. Untuk waktu yang lama, tangan Mbah Ngah adalah penguasa lidahku dan puluhan ribu orang lainnya. Hingga kemarin, Tuhan memanggilnya, tugas memasaknya dicukupkan sampai di situ.


Tidak banyak yang seistimewa Mbah Ngah. Tidak banyak. Siapa yang pernah memasak untuk puluhan ribu orang selama puluhan tahun? Mengisi perut orang-orang itu, memanjakan lidah mereka dan memberikan tawa paling renyah yang tak ada tandingannya. Kegembiraan yang murni.

Selama di Pabelan, saya memang tidak pernah menganggap Mbah Ngah istimewa. Mungkin karena keberadannya saya anggap sama seperti rutinitas yang lain, yang mesti dijalani, disentuh dan dilihat setiap hari sehingga menjadi biasa saja. Baru setelah meninggalkan pondok, saat akan atau sedang menyantap makanan, saya sering tiba-tiba teringat Mbah Ngah dan keceriaannya, juga Mbak Urip yang baik, rekan kerja Mbah Ngah yang lebih muda.

Ketika pertama kali datang ke pondok, Bapak hampir menangis karena mendapati masakan manis di Ruang Tamu. Hanya nasi dan Tahu Kuah (belakangan saya menyebutnya Tahu Berenang, yang disajikan saban pagi) manis!

"Ai, Nak.. Kau bakal makan masakan cak ini selamo enam taun," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Mbah Ngah lantas menjadi juru selamat bagi lidah palembangku. Ia tak pernah memasak tahu berenang manis. Paling-paling sesekali ia bikin tahu dan tempe bacem (menu makan siang atau malam) yang perlahan-lahan mulai kusukai.

Masakan di Ruang Tamu ternyata dari Dapur Puteri, yang bukan Mbah Ngah juru masaknya. Ia juru masak dari Dapur Utara untuk santri putera kelas satu hingga kelas tiga. Begitulah Mbah Ngah menjadi penguasa seleraku selama tiga tahun pertama, sebelum akhirnya saya bersama teman-teman harus ganti dapur, pindah tempat makan ke Dapur Selatan waktu mulai duduk di kelas empat.

Selama tiga tahun terakhir itu, tak jarang saya juga masih sering mencicipi masakan Mbah Ngah jika sedang ingin atau jika terlambat makan di Selatan. Tentu saja Mbah Ngah akan menyambut dengan omelan khasnya, tapi itu bukan berati ia tidak mempersilakan. Sambil ngomel ia akan mengambilkan nasi, sayur dan lauk-pauk. Lalu akan terjadilah perbincangan antara kami. Perbincangan yang aneh, ia menggunakan Bahasa Jawa dan saya berbahasa Indonesia. Lebih banyak saya mengisengi atau menggodanya agar Mbah Ngah mencak-mencak. Mbah Ngah terlihat jauh lebih lucu dan menyenangkan kalau sedang marah-marah.

"Aku kangen masakan Mbah Ngah. Aku pindah dapur sini lagi aja ya, Mbah. Nanti aku lapor Pak Ahmad."

"Sak karepmu." Bla bla bla dan panjang lebar dan saya akan terkekeh-kekeh sepanjangan.

Ajong (nenek) meninggal ketika saya kelas lima. Kesedihan itu semakin menjadi-jadi karena saya tak bisa pulang ke rumah, melihat wajah Ajong untuk terakhir kali dalam damainya, dan mengikuti prosesi pemakaman. Begitu mendengar kabar duka dari Bapak, yang langsung terlintas di benak saya hanya Mbah Ngah. Saat itu juga saya langsung berpikir menemui Mbah Ngah meskipun belum jam makan. Hanya demi melihat perwujudan Ajong dalam diri Mbah Ngah. Keceriaan dan kegesitan Mbah Ngah cukup membantu.

Tentu saya tak memberitahunya tentang berpulangnya nenek. Saya hanya datang untuk melihat Mbah Ngah melakukan aktivitas dapurnya, mendengar kebawelannya dan sesekali saja mengajaknya ngobrol. Setelah cukup lama mengamati Mbah Ngah, saya pamit dan minta diperbolehkan untuk makan di sana di jam makan malam. Seperti biasa Mbah Ngah ngomel tapi tidak bisa bilang tidak. Saya lantas pulang dan ke kamar mandi, melakukan apa yang saya lakukan di hari pertama di sana: menangis sampai puas.

Tadi pukul tujuh malam, saya baru tiba di stasiun Senen. Setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta, saya ngaso sambil membuka email dan media sosial, barangkali ada yang penting yang harus segera dibalas. Di facebook, saya mendapati kabar duka dari kawan Abdul Rohmatullah di grup teman-teman seangkatan. Saya buka video rekaman Mbah Ngah yang ditautkan Abdul.

Saya harus segera pulang ke Ciputat, minum kopi di Cho Coffee sepuasnya. Saya hubungi beberapa teman untuk diajak ngobrol, untungnya ada satu yang sudah stand by di sana. Tapi sampai di Cho pun hanya sebentar saya ngobrol. Selebihnya saya banyak diam di depan layar laptop, menyunting tulisan untuk Mojok, menulis catatan ini.

Dua tahun terakhir di Pabelan, saya kembali ke pelukan dapur Mbah Ngah. Kali ini dengan hak-hak sebagai Guru Praktek, tidak harus antre bersama para santri, tinggal ambil di bagian dalam dapur, dan yang paling penting kesempatan bercanda dengan Mbah Ngah setiap hari.

Di usianya yang semakin senja, tak banyak yang berubah dari Mbah Ngah. Di masa-masa terakhir di pondok itu, saya melihat Mbah Ngah yang sama seperti yang saya lihat pertama kali. Ia tetap gesit dan enerjik. Bicara selalu dengan gestur yang lincah, tak bisa diam, seperti sedang memasang jurus bermain silat dan selalu diikuti tawa renyah. Entah bagaimana menjelaskan stamina kegembiraan Mbah Ngah yang meluap-luap tanpa henti itu. Seolah kesedihan tak pernah berhasil memeluk dirinya.

Dan Mbah Ngah selalu minum teh dari cangkir yang sama, yang katanya tidak pernah dicuci sejak pertama kali dipakai. Dasar cangkir itu berwarna merah kecokelatan, endapan ampas teh menahun. Barangkali itu rahasianya.

Di Magelang, seperti berbagai tempat di Jawa, umpatan yang jamak didengar adalah "Mbahmu!" Di saat-saat akhir mondok, teman-teman saya sering mengumpat "Mbahmu kungfu!" Atau "Mbahmu salto!" Terhadap itu saya sering menjawab dengan enteng. "Lha iya, mbahku kan Mbah Ngah."

Selamat jalan, Mbah. Selamat beristirahat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar