24.2.16

Taruhan Raden Mandasia


Saya hampir selalu menang taruhan. Kekalahan dan seri bisa dihitung jari, 98 persen perjudian saya berakhir di kemenangan. Ini memang bermaksud sombong. Sungguh, saya memang sedang ingin riya, ujub, dan takabur—karena kalau bilang nggak, kesannya bakal amat sangat sombong sekali.

Pernah suatu ketika, dalam sebuah upaya memaksa Agus Mulyadi menulis rutin di Mojok, saya menggoda Agus untuk taruhan. Menjelang laga Chelsea kontra Manchester United di musim 2014/2015, saya elus-elus dulu kebanggaan dan kepongahan blogger kondang asal Magelang itu sebagai suporter United. Setelah dia merasa di atas angin, saya gelitiki dia dengan gagasan taruhan agar kepongahannya terbukti punya kaki dan bukan omong kosong. Dasar manusia lemah iman, Agus masuk perangkap dan terjerumus ke dalam lembah hitam yang sejak puluhan tahun lalu telah diingatkan Wak Haji Rhoma Irama sebagai sesuatu yang meracuni kehidupan.

Judi, teeet!

Sebelum laga, saya sempat bilang ke Agus: Celsi bakal menang 1-0. Golnya dari sisi kiri Celsi atau sisi kanan pertahanan Emyu, kira-kira di menit 37. “Kamu yakin, tetep mau taruhan, Gus?”

Agus tentu saja menganggap itu sebagai sesumbar murahan dan masih bertahan dengan kepongahannya. “Halah, Celsi itu bisa apa? Paling-paling nahan imbang,” katanya seyakin seekor ayam mematuk seekor cacing.

Sisanya adalah sejarah. Anda bisa tanya hasilnya ke Mbah Gugel dan kebenaran cerita ini ke Agus sendiri, mumpung keduanya masih hidup.

Saya tidak akan bisa menjelaskan bagaimana bisanya dengan terang-benderang, tapi begitulah adanya. Mungkin keberuntungan, mungkin pula kemampuan spesial, saya belum pernah memeriksanya secara seksama. Jangankan Anda, atau rekan-rekan judi saya, saya sendiri pun heran.

Sayangnya saya bukan orang yang gila judi. Kalau saja iya, barangkali saya sudah kaya-raya—kapan-kapan akan saya pertimbangkan lagi untuk alih profesi jadi tukang judi penuh waktu. Barangkali di situ pulalah masalahnya, saya hanya mau berjudi di saat-saat tertentu saja; saat saya benar-benar yakin untuk bertaruh. Jarang sekali saya mau bertaruh kalau tidak yakin betul.

Dan kali ini, keyakinan ini muncul begitu kuatnya. Bedanya dengan perjudian lama, ini sama sekali bukan tentang dadu yang dikocok atau kartu yang dibagikan secara acak atau skor yang ditebak. Keyakinan akan pertaruhan ini bukan perjudian biasa.

Kali ini saya ingin bertaruh untuk novel Mas Yusi yang akan segera terbit: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa novel ini akan menjadi salah satu bacaan paling penting yang pernah dilahirkan kesusastraan Indonesia. Kalau tidak dipajang di toko-toko buku konvensional, ia akan diburu di macam-macam lapak online. Taruhan, jika para penjaja buku di bus-bus kota dan emperan-emperan kota-kota kecil dikasih kesempatan jualan buku ini, Raden Mandasia akan setidaknya sama legendarisnya dengan “Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”atau komik-komik Petruk dan Surga dan Neraka atau buku-buku Bastian Tito dan Asmaraman Kho Ping Hoo dan Mira W dan Fredy S atau mahakarya Pramoedya Ananta Toer. Bisa jadi ia malah akan melampaui mereka semua.

Berani saya bertaruh, tuntunan yang akan diberikan Raden Mandasia jauh lebih lengkap daripada “Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Ia bukan hanya akan membimbingmu, memberimu pentunjuk tata cara menjadi relijiyes dan rajin beribadah, jauh di atas itu semua, begitu kau membacanya kau bahkan akan langsung merasakan dirimu berada dalam diri Tuhan—atau sebaliknya, sama saja. Kau akan segera mengerti apa itu yang ilahiah tanpa harus berpuasa berbulan-bulan bertahun-tahun atau berangkat ke tanah suci. Kau akan terbebas dari segala yang duniawi. Kau akan kembali ke masa kanak-kanakmu ketika menemukan kesenangan murni membaca sesuatu yang kau tidak ingin orang tahu. Kau akan meresapi kembali segala sensasi nan mendebarkan itu.

Secara berganti-gantian, atau bersamaan, di tengah perjalanan kau juga akan menemukan sensasi-sensasi lain yang belum pernah kautemukan di buku-buku hebat yang sebelumnya kaubaca. Sekali waktu kau akan tegang, sangat tegang, atas-bawah, lain waktu kau akan ngiler, air liurmu seperti mau tumpah bak hujan dari langit Bogor, berikutnya kau akan terpaku pada detail teknik-teknik penting untuk menunjang peradaban, lalu merasakan jenis kebahagiaan liar yang belum pernah kaurasakan, kau nyengir kuda, senyum-senyum geli, geli-geli senyum, tertawa terbahak-bahak sampai mau nangis, memaki-maki dengan ungkapan paling buruk yang belum pernah dikenal nenek-moyang kita, tahu-tahu kau sudah sampai di halaman terakhir, paragraf terakhir, kalimat terakhir, kata terakhir, huruf terakhir, titik terakhir, dan kau akan menarik napas panjang untuk kemudian melepaskannya pelan-pelan dan tanpa sadar kau akan berbaring sambil memeluk buku itu.

Kau ingin membacanya sekali lagi, tapi badanmu masih lemas dan tanganmu masih belum punya cukup daya untuk kembali membuka halaman pertama sementara pikiranmu mulai mengembara lagi mengingat-ingat sensasi dari setiap adegan yang datang begitu saja di kepalamu.

Demikianlah, kau tidak akan menyesal jika Tuhan tidak menunda lagi mengambil nyawamu saat itu juga. Kau sedang berada di puncak makrifatmu sebagai hamba, eksistensi terbaikmu sebagai manusia. Jika kau berumur panjang, kau akan mensyukurinya sebagai kesempatan untuk pamer ke cucu-cicitmu bahwa kau menghabiskan masa mudamu dengan membaca karya-karya besar Yusi Avianto Pareanom dan menyaksikan aksi lapangan Lionel Messi—kau punya cetakan pertama semua buku Yusi dengan pesan khusus dan tandatangannya untukmu karena kau pernah beberapa kali ngopi bareng penulis paling keren itu dan tidak ada sesuatu di dunia ini yang bisa merobohkan kebangganmu meski kau tak punya jersey Messi bertandatangan.

Bagaimana, berani taruhan?   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar