13.10.16

KE BULAN LALU KEMBALI


foto: andrew b. myers
Aku merayakan ulang tahun anakku keesokan harinya. Selalu sehari setelah atau sehari sebelum, tak pernah di hari-H. Selalu begitu. Kenapa? Karena hakim yang mulia memutuskan anak itu harus bersama ibunya di hari ulang tahunnya, meski ibunya penipu dan jablay yang mengentot semua bajingan yang tersenyum kepadanya di kantor. Ayah tidak penting.

Aku bersama Lidor pergi ke mal, bukan untuk beli kado; terakhir aku ke toko bebas cukai, membelikannya drone multikopter. Delapan puluh sembilan dolar—delapan puluh sembilan!—dan mereka bahkan tidak menaruh baterai remote di dusnya. Jadi kami ke mal untuk beli baterai, tapi kukatakan kepada Lidor untuk senang-senang. Aku bisa bilang apa? Ayah bukan hanya telat kasih kado tapi juga lupa mengecek sudah ada baterainya atau belum? Mana mungkin.

Jablay. Kemarin aku minta, Izinkan aku ke pesta ulang tahun, sepuluh menit saja. Mencium Lidor, memfotonya dengan ponselku waktu tiup lilin, lalu aku akan pergi. Tapi si jablay malah cari gara-gara dengan mengancam dan mengajukan surat penahanan, kirim SMS ke pacarnya, ke aparat, selagi kutelepon—aku bisa mendengar ketukan jarinya—dan berkata jika melihatku dekat-dekat rumah dia akan membuat hidupku jadi neraka.

Lidor mau menerbangkan drone dulu, baru pergi ke mal, tapi tak ada baterai di remotenya, dan aku tak mau memberi tahunya, maka kukatakan, Kita akan ke toko permen raksasa di lantai tiga, yang ada balon SpongeBob-nya dan dijaga seorang nyonya bergigi kuning yang suka teriak-teriak, "Sayang anak, sayang anak. Gula-gula untuk buah hati," dan aku akan membelikannya hadiah lagi, apa pun yang diinginkannya.

Mal oke, kata Lidor, tapi drone dulu. Aku bilang hari ini malnya akan tutup lebih cepat, aku bohong. Untungnya, dia masih bocah yang mudah percaya.

Jam tiga sore dan mal penuh sesak. Untuk merayakan ulang tahunnya, kuambil cuti setengah hari. Dilihat dari kerumunan manusia di mal, aku pastilah satu-satunya orang yang bekerja di negeri ini. Tapi Lidor, anak manis, dia ketawa terus, tak pernah merengek, bahkan ketika kami harus antre sepanjangan.

Di eskalator, dia mau naik di sisi yang turun, biar seru, dan aku mengikutinya. Itu latihan yang bagus untuk kami. Kamu harus lari secepat mungkin agar tak terseret, harus berusaha sekuat tenaga agar tak terjatuh. Seperti halnya dalam hidup. Seorang wanita tua bongkok yang sedang turun mencereweti kami, bertanya kenapa kami tidak naik di jalur biasa, kayak orang-orang. Dia sudah bau tanah, dan ini masih mengganggunya? Aku cuek bebek.

*

Kami tiba di toko permen lantai tiga, nyonya bergigi kuning tak ada di sana, hanya seorang abege yang mukanya penuh bintil, sekurus sumpit. Kukatakan kepada Lidor, "Ambil apa pun yang kamu mau. Tapi satu saja, oke? Dan apa pun itu, walaupun harganya satu juta shekel, ayah beli, janji. Lidor mau apa?"

Anak itu langsung heboh, berkeliling seperti pemadat di toko obat, melongok setiap rak, memungut beberapa barang, memilah dan memilih. Sementara dia sibuk sendiri, aku beli baterai AAA. Muka-Bintil tidak segera mencatatkannya di mesin kasir, biarpun kulambaikan uang di depan hidungnya. "Tunggu apa lagi?” tanyaku.

"Tunggu bocah itu milih," jawabnya, menarik untaian permen karet dari dalam mulutnya. "Sekalian dihitung bareng." Dan, sebelum aku bisa mengucapkan sesuatu, dia mulai sibuk main ponsel.

"Pisahkan saja, Coy," desakku, mengingsutkan baterai ke dalam tas drone. "Sebelum anakku datang. Ini kejutan." Muka-Bintil mencatatkan, dan laci mesin kasir terbuka dengan bunyi kring. Dia tak punya pecahan pas untuk kembalian, jadi dia memberiku segenggam koin.

Saat itu pula, Lidor tiba. "Ayah beli apa?"

"Tidak ada," kataku. "Cuma permen karet."

"Mana permen karetnya?"

"Ayah telat bulat-bulat."

"Tapi tidak baik menelan permen karet," katanya. "Bisa menempel di dalam perut."

Muka-Bintil ketawa bego.

"Kamu mau hadiah atau tidak?" kataku, ganti topik. "Ayo, cepat ambil."

"Aku mau itu," kata Lidor, menunjuk mesin kasir. "Buat main bareng Yanir dan Lyri, pura-puranya kami punya toko permen."

"Toko ini tidak menjual mesin kasir," kataku. "Ambil yang lain."

"Aku mau mesin kasir," Lidor bersikeras. "Ayah, kan, sudah janji."

"Ayah bilang ambil apa pun yang dijual."

"Ayah bohong!" Teriak Lidor dan menendang kakiku sekeras yang dia bisa. "Betul kata ibu. Ayah omong doang."

Tendangannya cukup menyakitkan, dan, ketika sesuatu menyakitiku, aku kesal. Tapi hari ini aku coba menguasai diri. Karena aku cinta anakku lebih dari apa pun di dunia ini, dan hari ini hari spesial, hari ulang tahunnya. Maksudku, sehari setelah ulang tahunnya. Jablay.

"Berapa harga mesin kasirnya?" Kutanya Muka-Bintil, setenang mungkin.

"Apa-apaan kamu, bocah enam tahun?" katanya dengan senyum menghina. "Kamu tahu itu tidak dijual." Dia mengucapkan "bocah enam tahun" seolah-olah Lidor bodoh atau apalah, dan aku sadar dia menjebakku. Aku harus menentukan sikap—berpihak dengannya atau bersama Lidor.

"Seribu shekel," kataku, mengulurkan tangan. "Kita salaman, aku turun ke ATM, balik ke sini membawa uangnya."

"Itu bukan punyaku," katanya, menggeliang-geliut. "Aku cuma kerja di sini."

"Lalu milik siapa?" tanyaku. "Nyonya Gigi Kuning?"

"Ya," katanya, mengangguk. "Tirza."

"Teleponlah dia," kataku. "Biar aku yang ngomong. Dengan seribu shekel, dia bisa beli mesin kasir yang baru. Yang lebih bagus."

Lidor menatapku seakan-akan aku superhero. Tak ada yang lebih hebat dari tatapan anakmu dengan cara seperti itu. Lebih asoi daripada liburan ke Thailand. Lebih sedap dari sepongan. Lebih memuaskan daripada meninju seorang bajingan. "Cepatlah, telepon dia," kataku sedikit memaksa. Bukan karena aku marah. Demi anakku.

Dia pencet nomor dan menjauh dari kami, setengah berbisik di gagang telepon. Kuikuti langkahnya, Lidor mengikutiku. Lidor tampak gembira. Dia sudah gembira dari tadi, saat aku menjemputnya, tapi sekarang dia terbang.

"Dia bilang tidak," Muka-Bintil memberi tahuku dan mengangkat bahu seolah kata-kata itu datang dari Tuhan.

"Kemarikan teleponnya." Kuberi isyarat dengan tangan.

"Dia bilang toko mana pun tidak akan menjual mesin kasirnya," katanya. Kurebut teleponnya. Membuat Lidor tertawa. Ayah membuat Lidor tertawa.

"Tirza," kataku. "Halo, ini Gabi, pelanggan setiamu. Kamu tak tahu namaku, tapi kamu mengenali wajahku. Dengar, aku perlu bantuanmu. Seribu shekel—kamu bukan hanya bisa beli mesin kasir baru, tapi juga aku akan berhutang budi padamu."

"Terus, seribu itu mau dicatatkan di mana?" tanya Tirza di ujung saluran. Dia sedang berada di tempat yang bising; hampir-hampir aku tak bisa mendengarnya.

"Ya tidak perlu dicatatkan," jawabku. "Kamu pikir aku siapa, petugas pajak? Seribu shekel langsung masuk ke kantongmu. Ayolah, bagaimana?"

"Kasih teleponnya ke dia," katanya tidak sabar.

"Abege itu?"

"Ya," kata Tirza, mulai terdengar marah. "Kasih teleponnya."

Kuulurkan telepon ke Muka-Bintil. Dia bercakap sebentar, lalu menutup telepon. "Dia bilang tidak," katanya. "Maaf."

Lidor meraih tanganku. "Mesin kasir," katanya dengan nada paling serius. "Ayah sudah janji."

"Dua ribu," kataku kepada Muka-Bintil. "Telepon Tirza lagi dan bilang aku akan membayarnya dua ribu, seribu sekarang dan sisanya besok."

"Tapi—"

"Aku tak bisa tarik tunai lebih dari seribu dalam sehari," kataku menginterupsi. "Seribu sisanya akan kubawakan besok pagi. Jangan khawatir, sebagai jaminan akan kutinggalkan SIM-ku."

"Tadi dia bilang jangan telepon-telepon lagi," katanya. "Dia sedang berduka atas kematian ayahnya.
Dia tak mau diganggu."

"Turut berbela sungkawa," ujarku, menepuk-nepuk bahunya. "Jadi pikirkanlah. Dua ribu bukan uang yang sedikit. Kalau nanti dia tahu aku menawarimu dua ribu dan kamu menolak, dia akan memecatmu. Dengarkanlah omongan orang dewasa—tidak baik bikin gara-gara hanya karena persoalan sepele begini.”

Kutekan tombol laci mesin kasir dan, bam, terbuka. Trik ini kupelajari saat aku bekerja di Burger Ranch, setelah keluar dari dinas ketentaraan. "Keluarkan uangnya," perintahku, tapi dia diam saja,
maka kukumpulkan sendiri uangnya dan kutaruh di saku depan celana jinsnya.

"Toko ini tidak menjual mesin kasir," katanya.

"Peduli setan," kataku. "Percayalah, ini transaksi yang bagus. Tunggu di sini, aku akan kembali lima menit lagi membawa seribu shekel supaya receh di sakumu itu tidak kesepian."

Sebelum dia sempat menjawab, kuraih tangan Lidor dan kami bergegas menuju ATM. Kadang mesin ATM ini bikin ulah, tapi kali ini dia memuntahkan seribu shekel dengan pecahan dua ratusan tanpa banyak cincong.

*

Kami kembali, Muka-Bintil sedang bicara dengan seorang pria gemuk berkilap karena keringat. Aku mengenalinya, dia pemilik stan yogurt di sebelah. Ketika Muka-Bintil menyadari kedatangan kami, dia menunjuk ke arahku. Kukedipkan mata ke arahnya dan kutaruh duit seribu di atas konter. "Ini," ucapku. Muka-Bintil bergeming. "Ayolah, ambil saja! Biar gampang urusan!" Kuambil lagi dan kucoba menjejalkan uang itu ke dalam sakunya.

"Tinggalkan dia sendiri," kata Pria Gemuk. "Dia masih ingusan."

"Tidak bisa," kataku. "Aku sudah janji kepada anakku. Hari ini hari ulang tahunnya."

"Selamat ulang tahun," kata Pria Gemuk sambil mengusutkan rambut Lidor tanpa melihatnya sama sekali. "Mau es krim, Nak? Hadiah dariku—secangkir es krim dengan krim kocok dan sirup cokelat dan jeli beruang di atasnya." Selama mengucapkan itu matanya tak pernah beralih dariku.

"Aku mau mesin kasir," kata Lidor, menjauh dari orang itu dan bergelendotan di kakiku. "Ayah sudah janji."

"Mesin kasir buat apa?" tanya Pria Gemuk tanpa menunggu jawaban. "Kami juga punya, satu, tapi itu pun karena kami dipaksa orang pajak memakainya. Cuma bikin berisik. Lebih baik ikut Ayah ke toko komputer di lantai dua dan beli Xbox saja. Dengan seribu shekel, kamu bisa dapat yang paling bagus, yang ada Kinect-nya."

Aku tak berkata apa-apa. Sebetulnya aku suka ide itu. Ia bisa menyelematkanku dari persoalan di sini, dan kesulitan, nanti, dengan Lilia, ketika kami pulang. Begitu melihat mesin kasir, Lilia pasti bakal merajuk.

"Jadi bagaimana?" tanya Pria Gemuk kepada Lidor. "Xbox keren. Balapan, tembak-tembakan, apa pun maumu."

"Mesin kasir," jawab Lidor, memeluk kakiku erat sekali.

"Lihat betapa lugunya dia," kataku, dan kuserahkan uang tadi. "Bantu aku membahagiakannya di hari ulang tahunnya."

"Ini bukan tokoku," protesnya. "Aku bahkan tidak bekerja di sini. Aku hanya berusaha membantu—"

"Tapi kamu sama sekali tidak membantu." Aku terus mendekat ke hadapannya hingga hidung kami nyaris bersentuhan.

"Aku harus kembali ke tokoku." Pria Gemuk menarik diri dan berkata kepada Muka-Bintik, "Kalau dia macam-macam, telepon polisi saja," dan pergi. Pahlawan sejati.

Kutaruh seribu shekel di atas konter, kucabut colokan mesin kasir, dan mulai menggulung kabelnya, dan, saat Lidor melihatnya, dia tepuk tangan kegirangan.

"Aku telepon polisi," ujar Muka-Bintil, dan mulai memencet nomor. Kurebut lagi teleponnya.

"Kenapa, sih?" kataku. "Ini hari ulang tahunnya. Semua orang senang, tolong jangan rusak itu." Muka-Bintil menatap teleponnya, yang ada dalam genggamanku, kemudian ke arahku, dan tiba-tiba lari keluar toko. Kuletakkan telepon di atas konter lalu kuangkat mesin kasir. "Sekarang cepat kita pergi dari sini," kataku kepada Lidor, suaraku riang, seolah-olah ini permainan. "Kita akan pulang dan tunjukkan kepada Ibu apa yang kita dapat."

"Tidak," kata Lidor, tidak mau bergerak. "Kita terbangkan helikopter dulu, baru pulang. Ayah sudah janji."

"Ya," kataku dengan sura paling lembut. "Tapi mesin kasir ini berat. Ayah tak bisa menggotongnya sambil menerbangkan helikopter. Sekarang mesin kasir, dan besok, sepulang sekolah, kita akan terbangkan helikopter di taman."

Sejenak Lidor berpikir. "Sekarang helikopter," katanya. "Dan besok mesin kasir." Saat itu pula, tepat pada waktunya, Muka-Bintil kembali ke toko bersama seorang satpam.

"Kamu pikir apa yang kamu lakukan?" kata si satpam. Dia pendek, penuh bulu, lebih mirip anjing mini pinscher daripada seekor satpam.

"Bukan apa-apa." Kukedipi dia dan kutaruh mesin kasir di tempatnya semula. "Hanya mencoba membuat anakku tertawa. Ini hari ulang tahunnya."

"Selamat ulang tahun, Nak," kata satpam kepada Lidor, seolah ia tak mungkin ceroboh. "Semoga bahagia senantiasa. Tapi sekarang kamu dan ayahmu harus pergi dari tempat ini."

"Ya," jawab Lidor. "Kami akan pergi dan menerbangkan helikopter."

*

Di taman, aku dan Lidor bermain drone multikopter. Brosurnya menyebutkan drone ini bisa melayang hingga ketinggian empat puluh meter, tapi setelah lima belas meter saja ia sudah tak bisa lagi menangkap sinyal dari remote, baling-balingnya berhenti berputar, dan jatuh. Lidor suka itu.

"Siapa di dunia ini yang paling mencintai Lidor?" tanyaku, dan Lidor menjawab, "Ayah!"

"Dan seberapa besar cinta Lidor kepada Ayah?" tanyaku selagi drone multikopter berputar-putar mengitarinya, dan dia berseru, "Besar sekali!"

"Ke langit yang tinggi," teriakku. "Ke bulan lalu kembali!"

Ponselku bergetar di saku celanaku, tapi kuabaikan. Pasti Lilia. Di atas kami, drone itu semakin mengecil dan mengecil. Sebentar lagi, ia akan menghilang dari pandangan kami lalu jatuh. Dan berdua kami akan berlari melintasi rerumputan dan berlomba menangkapnya, dan jika Lidor mengalahkanku lagi dia akan tertawa terpingkal-pingkal. Tak ada yang lebih merdu di dunia yang pengap ini daripada suara bocah tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar