oleh: Etgar Keret
![]() |
foto: andrew b. myers |
Aku bersama Lidor pergi ke mal, bukan
untuk beli kado; terakhir aku ke toko bebas cukai, membelikannya drone multikopter.
Delapan puluh sembilan dolar—delapan puluh sembilan!—dan mereka
bahkan tidak menaruh baterai remote di dusnya. Jadi kami ke mal untuk
beli baterai, tapi kukatakan kepada Lidor untuk senang-senang. Aku
bisa bilang apa? Ayah bukan hanya telat kasih kado tapi juga
lupa mengecek sudah ada baterainya atau
belum? Mana mungkin.
Jablay. Kemarin aku minta, Izinkan aku
ke pesta ulang tahun, sepuluh menit saja. Mencium Lidor, memfotonya dengan ponselku waktu tiup
lilin, lalu aku akan pergi. Tapi si jablay malah cari gara-gara dengan mengancam dan mengajukan surat
penahanan, kirim SMS ke pacarnya, ke aparat, selagi
kutelepon—aku bisa mendengar ketukan jarinya—dan berkata jika
melihatku dekat-dekat rumah dia akan membuat hidupku jadi neraka.
Lidor mau menerbangkan drone dulu, baru
pergi ke mal, tapi tak ada baterai di remotenya, dan aku tak mau
memberi tahunya, maka kukatakan, Kita akan ke toko permen raksasa di
lantai tiga, yang ada balon SpongeBob-nya dan dijaga
seorang nyonya bergigi kuning yang suka teriak-teriak, "Sayang
anak, sayang anak. Gula-gula untuk buah hati," dan aku akan
membelikannya hadiah lagi, apa pun yang diinginkannya.
Mal oke, kata Lidor, tapi drone dulu.
Aku bilang hari ini malnya akan tutup lebih cepat, aku bohong. Untungnya, dia masih bocah yang mudah
percaya.
Jam tiga sore dan mal penuh sesak.
Untuk merayakan ulang tahunnya, kuambil cuti setengah hari. Dilihat dari kerumunan manusia di mal,
aku pastilah satu-satunya orang yang bekerja di negeri ini. Tapi Lidor, anak manis, dia ketawa terus,
tak pernah merengek, bahkan ketika kami harus antre sepanjangan.
Di eskalator, dia mau naik di sisi yang
turun, biar seru, dan aku mengikutinya. Itu latihan yang bagus untuk kami. Kamu harus lari secepat
mungkin agar tak terseret, harus berusaha sekuat tenaga agar tak terjatuh. Seperti halnya dalam hidup.
Seorang wanita tua bongkok yang sedang turun mencereweti kami,
bertanya kenapa kami tidak naik di jalur biasa, kayak orang-orang.
Dia sudah bau tanah, dan ini masih mengganggunya? Aku cuek bebek.
*
Kami tiba di toko permen lantai tiga,
nyonya bergigi kuning tak ada di sana, hanya seorang abege yang mukanya penuh bintil, sekurus sumpit. Kukatakan kepada Lidor, "Ambil apa
pun yang kamu mau. Tapi satu saja, oke? Dan apa pun itu,
walaupun harganya satu juta shekel, ayah beli, janji. Lidor mau apa?"
Anak itu langsung heboh, berkeliling
seperti pemadat di toko obat, melongok setiap rak, memungut beberapa
barang, memilah dan memilih. Sementara dia sibuk sendiri, aku beli
baterai AAA. Muka-Bintil tidak segera mencatatkannya di mesin kasir,
biarpun kulambaikan uang di depan hidungnya. "Tunggu apa lagi?”
tanyaku.
"Tunggu bocah itu milih,"
jawabnya, menarik untaian permen karet dari dalam mulutnya.
"Sekalian dihitung bareng." Dan, sebelum aku bisa
mengucapkan sesuatu, dia mulai sibuk main ponsel.
"Pisahkan saja, Coy,"
desakku, mengingsutkan baterai ke dalam tas drone. "Sebelum
anakku datang. Ini kejutan." Muka-Bintil mencatatkan,
dan laci mesin kasir terbuka dengan bunyi kring. Dia tak punya
pecahan pas untuk kembalian, jadi dia memberiku segenggam koin.
Saat itu pula, Lidor tiba. "Ayah
beli apa?"
"Tidak ada," kataku. "Cuma
permen karet."
"Mana permen karetnya?"
"Ayah telat bulat-bulat."
"Tapi tidak baik menelan permen
karet," katanya. "Bisa menempel di dalam perut."
Muka-Bintil ketawa bego.
"Kamu mau hadiah atau tidak?"
kataku, ganti topik. "Ayo, cepat ambil."
"Aku mau itu," kata Lidor,
menunjuk mesin kasir. "Buat main bareng Yanir dan Lyri,
pura-puranya kami punya toko permen."
"Toko ini tidak menjual mesin
kasir," kataku. "Ambil yang lain."
"Aku mau mesin kasir," Lidor
bersikeras. "Ayah, kan, sudah janji."
"Ayah bilang ambil apa pun yang
dijual."
"Ayah bohong!" Teriak Lidor
dan menendang kakiku sekeras yang dia bisa. "Betul kata ibu.
Ayah omong doang."
Tendangannya cukup menyakitkan, dan,
ketika sesuatu menyakitiku, aku kesal. Tapi hari ini aku coba menguasai diri. Karena aku cinta anakku
lebih dari apa pun di dunia ini, dan hari ini hari spesial, hari ulang tahunnya. Maksudku, sehari
setelah ulang tahunnya. Jablay.
"Berapa harga mesin kasirnya?"
Kutanya Muka-Bintil, setenang mungkin.
"Apa-apaan kamu, bocah enam
tahun?" katanya dengan senyum menghina. "Kamu tahu itu
tidak dijual." Dia mengucapkan "bocah enam tahun"
seolah-olah Lidor bodoh atau apalah, dan aku sadar dia menjebakku.
Aku harus menentukan sikap—berpihak dengannya atau bersama Lidor.
"Seribu shekel," kataku, mengulurkan tangan. "Kita salaman, aku turun ke ATM, balik ke
sini membawa uangnya."
"Itu bukan punyaku," katanya,
menggeliang-geliut. "Aku cuma kerja di sini."
"Lalu milik siapa?" tanyaku.
"Nyonya Gigi Kuning?"
"Ya," katanya, mengangguk.
"Tirza."
"Teleponlah dia," kataku.
"Biar aku yang ngomong. Dengan seribu shekel, dia bisa beli
mesin kasir yang baru. Yang lebih bagus."
Lidor menatapku seakan-akan aku
superhero. Tak ada yang lebih hebat dari tatapan anakmu dengan
cara seperti itu. Lebih asoi daripada liburan ke Thailand. Lebih sedap dari sepongan. Lebih memuaskan daripada meninju seorang bajingan.
"Cepatlah, telepon dia," kataku sedikit memaksa. Bukan
karena aku marah. Demi anakku.
Dia pencet nomor dan menjauh dari kami,
setengah berbisik di gagang telepon. Kuikuti langkahnya, Lidor mengikutiku. Lidor tampak
gembira. Dia sudah gembira dari tadi, saat aku menjemputnya, tapi sekarang dia terbang.
"Dia bilang tidak,"
Muka-Bintil memberi tahuku dan mengangkat bahu seolah kata-kata itu datang dari Tuhan.
"Kemarikan teleponnya."
Kuberi isyarat dengan tangan.
"Dia bilang toko mana pun tidak
akan menjual mesin kasirnya," katanya. Kurebut teleponnya. Membuat Lidor tertawa. Ayah membuat Lidor tertawa.
"Tirza," kataku. "Halo,
ini Gabi, pelanggan setiamu. Kamu tak tahu namaku, tapi kamu
mengenali wajahku. Dengar, aku perlu bantuanmu. Seribu shekel—kamu
bukan hanya bisa beli mesin kasir baru, tapi juga aku akan berhutang
budi padamu."
"Terus, seribu itu mau dicatatkan
di mana?" tanya Tirza di ujung saluran. Dia sedang berada di
tempat yang bising; hampir-hampir aku tak bisa
mendengarnya.
"Ya tidak perlu dicatatkan,"
jawabku. "Kamu pikir aku siapa, petugas pajak? Seribu shekel
langsung masuk ke kantongmu. Ayolah, bagaimana?"
"Kasih teleponnya ke dia,"
katanya tidak sabar.
"Abege itu?"
"Ya," kata Tirza, mulai
terdengar marah. "Kasih teleponnya."
Kuulurkan telepon ke Muka-Bintil. Dia
bercakap sebentar, lalu menutup telepon. "Dia bilang tidak," katanya. "Maaf."
Lidor meraih tanganku. "Mesin kasir," katanya dengan nada paling serius. "Ayah sudah
janji."
"Dua ribu," kataku kepada
Muka-Bintil. "Telepon Tirza lagi dan bilang aku akan membayarnya
dua ribu, seribu sekarang dan sisanya besok."
"Tapi—"
"Aku tak bisa tarik tunai lebih
dari seribu dalam sehari," kataku menginterupsi. "Seribu
sisanya akan kubawakan besok pagi. Jangan khawatir, sebagai jaminan
akan kutinggalkan SIM-ku."
"Tadi dia bilang jangan
telepon-telepon lagi," katanya. "Dia sedang berduka atas
kematian ayahnya.
Dia tak mau diganggu."
"Turut berbela sungkawa,"
ujarku, menepuk-nepuk bahunya. "Jadi pikirkanlah. Dua ribu bukan
uang yang sedikit. Kalau nanti dia tahu aku menawarimu dua ribu dan
kamu menolak, dia akan memecatmu. Dengarkanlah omongan orang dewasa—tidak
baik bikin gara-gara hanya karena persoalan sepele begini.”
Kutekan tombol laci mesin kasir dan,
bam, terbuka. Trik ini kupelajari saat aku bekerja di Burger Ranch, setelah keluar dari dinas
ketentaraan. "Keluarkan uangnya," perintahku, tapi dia diam
saja,
maka kukumpulkan sendiri uangnya dan
kutaruh di saku depan celana jinsnya.
"Toko ini tidak menjual mesin
kasir," katanya.
"Peduli setan," kataku.
"Percayalah, ini transaksi yang bagus. Tunggu di sini, aku akan
kembali lima menit lagi membawa seribu shekel supaya receh di sakumu itu tidak kesepian."
Sebelum dia sempat menjawab, kuraih
tangan Lidor dan kami bergegas menuju ATM. Kadang mesin ATM ini bikin ulah, tapi kali ini dia memuntahkan seribu shekel dengan pecahan
dua ratusan tanpa banyak cincong.
*
Kami kembali, Muka-Bintil sedang bicara
dengan seorang pria gemuk berkilap karena keringat. Aku mengenalinya,
dia pemilik stan yogurt di sebelah. Ketika Muka-Bintil menyadari
kedatangan kami, dia menunjuk ke arahku. Kukedipkan mata ke arahnya
dan kutaruh duit seribu di atas konter. "Ini," ucapku.
Muka-Bintil bergeming. "Ayolah, ambil saja! Biar gampang
urusan!" Kuambil lagi dan kucoba menjejalkan uang itu ke dalam
sakunya.
"Tinggalkan dia sendiri,"
kata Pria Gemuk. "Dia masih ingusan."
"Tidak bisa," kataku. "Aku
sudah janji kepada anakku. Hari ini hari ulang tahunnya."
"Selamat ulang tahun," kata
Pria Gemuk sambil mengusutkan rambut Lidor tanpa melihatnya sama
sekali. "Mau es krim, Nak? Hadiah dariku—secangkir es krim
dengan krim kocok dan sirup cokelat dan jeli beruang di atasnya."
Selama mengucapkan itu matanya tak pernah beralih dariku.
"Aku mau mesin kasir," kata
Lidor, menjauh dari orang itu dan bergelendotan di kakiku. "Ayah
sudah janji."
"Mesin kasir buat apa?" tanya
Pria Gemuk tanpa menunggu jawaban. "Kami juga punya, satu, tapi
itu pun karena kami dipaksa orang pajak memakainya. Cuma bikin
berisik. Lebih baik ikut Ayah ke toko komputer di lantai dua dan beli
Xbox saja. Dengan seribu shekel, kamu bisa dapat yang paling bagus,
yang ada Kinect-nya."
Aku tak berkata apa-apa. Sebetulnya aku suka ide itu. Ia bisa menyelematkanku dari persoalan di sini, dan
kesulitan, nanti, dengan Lilia, ketika kami pulang. Begitu melihat
mesin kasir, Lilia pasti bakal merajuk.
"Jadi bagaimana?" tanya Pria
Gemuk kepada Lidor. "Xbox keren. Balapan, tembak-tembakan, apa
pun maumu."
"Mesin kasir," jawab Lidor,
memeluk kakiku erat sekali.
"Lihat betapa lugunya dia,"
kataku, dan kuserahkan uang tadi. "Bantu aku membahagiakannya di
hari ulang tahunnya."
"Ini bukan tokoku,"
protesnya. "Aku bahkan tidak bekerja di sini. Aku hanya berusaha
membantu—"
"Tapi kamu sama sekali tidak
membantu." Aku terus mendekat ke hadapannya hingga hidung kami nyaris
bersentuhan.
"Aku harus kembali ke tokoku."
Pria Gemuk menarik diri dan berkata kepada Muka-Bintik, "Kalau
dia macam-macam, telepon polisi saja," dan pergi. Pahlawan sejati.
Kutaruh seribu shekel di atas konter,
kucabut colokan mesin kasir, dan mulai menggulung kabelnya, dan, saat
Lidor melihatnya, dia tepuk tangan kegirangan.
"Aku telepon polisi," ujar
Muka-Bintil, dan mulai memencet nomor. Kurebut lagi teleponnya.
"Kenapa, sih?" kataku. "Ini
hari ulang tahunnya. Semua orang senang, tolong jangan rusak itu."
Muka-Bintil menatap teleponnya, yang ada dalam genggamanku, kemudian
ke arahku, dan tiba-tiba lari keluar toko. Kuletakkan telepon di atas
konter lalu kuangkat mesin kasir. "Sekarang cepat kita pergi
dari sini," kataku kepada Lidor, suaraku riang, seolah-olah ini
permainan. "Kita akan pulang dan tunjukkan kepada Ibu apa yang
kita dapat."
"Tidak," kata Lidor, tidak
mau bergerak. "Kita terbangkan helikopter dulu, baru pulang.
Ayah sudah janji."
"Ya," kataku dengan sura
paling lembut. "Tapi mesin kasir ini berat. Ayah tak bisa
menggotongnya sambil menerbangkan helikopter. Sekarang mesin kasir,
dan besok, sepulang sekolah, kita akan terbangkan helikopter di
taman."
Sejenak Lidor berpikir. "Sekarang
helikopter," katanya. "Dan besok mesin kasir." Saat
itu pula, tepat pada waktunya, Muka-Bintil kembali ke toko bersama seorang satpam.
"Kamu pikir apa yang kamu
lakukan?" kata si satpam. Dia pendek, penuh bulu, lebih mirip
anjing mini pinscher daripada seekor satpam.
"Bukan apa-apa." Kukedipi dia
dan kutaruh mesin kasir di tempatnya semula. "Hanya mencoba
membuat anakku tertawa. Ini hari ulang tahunnya."
"Selamat ulang tahun, Nak,"
kata satpam kepada Lidor, seolah ia tak mungkin ceroboh. "Semoga
bahagia senantiasa. Tapi sekarang kamu dan ayahmu harus pergi dari
tempat ini."
"Ya," jawab Lidor. "Kami
akan pergi dan menerbangkan helikopter."
*
Di taman, aku dan Lidor bermain drone multikopter. Brosurnya menyebutkan drone ini bisa melayang hingga
ketinggian empat puluh meter, tapi setelah lima belas meter saja ia
sudah tak bisa lagi menangkap sinyal dari remote, baling-balingnya
berhenti berputar, dan jatuh. Lidor suka itu.
"Siapa di dunia ini yang paling
mencintai Lidor?" tanyaku, dan Lidor menjawab, "Ayah!"
"Dan seberapa besar cinta Lidor
kepada Ayah?" tanyaku selagi drone multikopter berputar-putar
mengitarinya, dan dia berseru, "Besar sekali!"
"Ke langit yang tinggi,"
teriakku. "Ke bulan lalu kembali!"
Ponselku bergetar di saku celanaku,
tapi kuabaikan. Pasti Lilia. Di atas kami, drone itu semakin mengecil
dan mengecil. Sebentar lagi, ia akan menghilang dari pandangan kami
lalu jatuh. Dan berdua kami akan berlari melintasi rerumputan dan
berlomba menangkapnya, dan jika Lidor mengalahkanku lagi dia akan
tertawa terpingkal-pingkal. Tak ada yang lebih merdu di dunia yang
pengap ini daripada suara bocah tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar