oleh: Alejandro Zambra
desain: john brownjohn |
Tapi benar ternyata: ayahku kawan dekat
ayah Camilo, Pak Camilo—mereka bermain bola bersama di klub Renca.
Kami juga punya foto-foto pembaptisan, si bayi menangis dan seorang
dewasa dengan khidmat menatap kamera. Semuanya baik-baik saja selama
beberapa tahun—ayah adalah bapakbaptis yang baik, dan ia menaruh
perhatian penuh untuk anakbaptisnya—tapi kemudian ayah dan Pak
Camilo bertengkar dan, beberapa bulan setelah peristiwa kudeta, Pak
Camilo dipenjara, dan setelah dibebaskan ia menjadi eksil. Rencana
Pak Camilo, Juli istrinya menyusul ke Paris memboyong Camilo Kecil,
tapi Juli tak mau, dan pernikahan mereka akhirnya bubar. Maka Camilo
Kecil tumbuh tanpa ayah, menunggu kepulangan ayahnya, menabung agar
suatu saat bisa mengunjunginya. Dan suatu hari, setelah berusia
delapan belas, ia menginsafi jika belum bisa bertemu ayahnya
setidaknya ia bisa menemui bapakbaptisnya.
Aku tahu semua cerita di atas saat
pertama kali Camilo bersantai sore minum teh bersama kami, atau
mungkin aku mengetahuinya secara bertahap. Aku perlu jelaskan di
sini, aku agak linglung. Tapi aku ingat bagaimana terpananya ayah
sore itu ketika ia melihat betapa mirip anakbaptisnya dengan kawan
lamanya. "Kamu persis ayahmu," kata ayah, yang belum tentu
berarti pujian, karena wajahnya biasa-biasa saja, tidak menarik, dan
meski Camilo memakai banyak produk untuk menata rambut kakunya agar
terlihat keren, itu cenderung lebih merusak untuknya.
Berkebalikan dari ketidakpercayaan
awalku, Camilo segera menjadi kakak sesungguhnya bagiku, ia begitu
perhatian dan selalu melindungiku, benar-benar baik. Ketika ia
berangkat ke Perancis untuk memenuhi impian seumur hidupnya, itulah
yang kupikirkan: yang pergi itu kakakku. Januari 1991; aku ingat
pasti.
*
Aku bukan satu-satunya orang yang
terpesona oleh Camilo. Kakak perempuanku malah sangat tergila-gila,
dan adik perempuanku, yang biasanya tidak bisa memperhatikan sesuatu
lebih dari dua detik, selalu memandanginya penuh perhatian ketika ia
datang berkunjung, meramaikan semua lelucon yang dibuatnya. Belum
lagi ibuku, yang bukan saja teman bercandanya melainkan juga teman
curhatnya, karena waktu itu Camilo sedangan mengalami—menurut
istilah Camilo sendiri—keresahan beragama, dan meski ibu bukan
orang yang taat, ibu gumun sekali mendengar gagasan bahwa orang bisa
menyangkal keberadaan Tuhan hingga ibu akan duduk tenang dan
terkagum-kagum mendengarkan Camilo.
Adapun ayah, kupikir, Camilo baginya
lebih seperti teman atau sobat daripada anakbaptis; ia bahkan
membiarkan Camilo bicara dengannya dengan "kamu" yang
informal. Mereka suka duduk-duduk sampai larut malam di ruang tamu,
ngobrol segalam macam—kecuali eksistensi Tuhan, karena ayah tidak
mungkin bisa terima hal itu dipertanyakan, atau tentang sepak bola,
karena Camilo adalah orang pertama yang tidak suka sepak bola yang
kutemui. Ia bahkan tidak paham aturan-aturan bola. Sekali-sekalinya
ia bermain bola di San Miguel, saat usianya lima tahun: Satu-satunya
sumber pengetahuannya tentang permainan itu adalah cuplikan gol-gol
yang ia tonton di televisi, maka sepanjang sore itu yang ia lakukan
adalah berlari ke sana ke mari, bersorak merayakan gol yang tidak
pernah ada dan dengan riang-gembira melambai ke arah kerumunan, ia
sama sekali tak tertarik pada bola.
*
Hubunganku dengan ayah, bagaimanapun,
terkait erat dengan sepakbola. Kami menonton atau mendengarkan
pertandingan, kadang ke stadion, dan setiap hari Minggu, di
siang hari, aku ikut ayah ke lapangan di La Farfana, di mana ayah
bermain sebagai kiper. Ayah kiper yang hebat—Aku ingat ayah
melayang di udara, meraih bola dengan dua tangan lalu
mencengkeramkannya di dada. Namun, aku selalu curiga rekan-rekan
setimnya pasti benci ayah, karena ayah adalah jenis kiper yang
menghabiskan seluruh pertandingan dengan menggonggongkan perintah,
menyuruh-nyuruh bek dan bahkan gelandang, semua dengan pekikan
terkerasnya. "Oper balik, Coy, oper balik! Sini! Oper balik,
Coy, oper balik!" Sering sekali aku mendengar ayah teriak begitu
dengan nada alarm yang paling mengganggu. Seruannya kepadaku—kalau
pernah—tidak pernah sekeras pekikan yang membuat rekan-rekan
setimnya jengkel, atau setidaknya begitulah asumsiku, karena bermain
dengan keberisikan nonstop di belakangmu tentu tidak menyenangkan.
Tapi ayah dihormati, ayahku. Dan kukatakan lagi, ayah benar-benar
hebat. Aku betah di belakang gawang ditemani Bilz atau Chocolito, dan
sesekali ayah akan melirik ke arahku untuk memastikan aku masih di
sana, dan lain kali ia akan bertanya, tanpa menoleh, apa yang
terjadi, sebab itulah masalah utama ayah sebagai kiper: itulah alasan
mengapa ayah tak pernah bisa menjadi pemain bola
profesional—miopianya begitu parah sehingga hanya bisa melihat
sejauh lini tengah. Namun refleksnya luar biasa, begitu pula
kenekatannya, yang harus ayah bayar dengan dua patah tulang di tangan
kanan dan satu di kiri.
Selama istirahat babak pertama aku suka
pergi ke titik kiper berdiri, dan selalu memikirkan betapa besarnya
gawang itu. Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin orang bisa menahan
tendangan penalti. Ayah jago menahan penalti—tentu saja. Satu
banding tiga atau empat: ayah tidak pernah melayang lebih dulu; ayah
selalu menunggu, dan ayah bisa mementahkan kalau eksekusinya kurang
bagus.
*
Aku ingat perjalanan kami ke kampung,
ketika Camilo mendapatiku berkedip di antara bangjo. Sampai sekarang
pun aku masih melakukannya, bahkan ketika mengemudi; Aku tak bisa
tahan. Segera setelah berada di jalan raya, aku mulai berkedip dengan
hati-hati, sebisa mungkin tepat di tengah pergantian lampu. Hari itu,
kami ramai-ramai di kursi belakang Chevette orangtuaku, bersama
kakakku, dan Camilo menyadari keteganganku, berkonsentrasi, kemudian
ikut berkedip di saat yang sama denganku, dan tersenyum kepadaku. Aku
waswas sekali, karena aku tak ingin membuat kesalahan; aku
sungguh-sungguh percaya hanya jika aku berkedip tepat di antara
pergantian bangjo kami semua akan selamat.
Kebiasaan gugupku itu tidak terlalu
menggangguku lagi sekarang, tapi di masa kecilku kebiasaan itu
membuatku begitu cemas bahkan hingga kegiatan yang paling sederhana
pun menjadi sangat pelik. Kukira aku terkena OCD. Seperti anak-anak
O.C.D lain, aku begitu hati-hati menghindari retakan trotoar. Jika
tanpa sengaja aku menginjak salah satu retakan itu, aku akan sangat
putus asa tiada terkira—dan aku tahu, dalam derjat tertentu, itu
semua terlalu konyol untuk dibicarakan. Aku juga punya obsesi
menyeimbangkan bagian-bagian tubuhku: jika satu kaki sakit, aku akan
memukul kaki yang lain biar impas. Kadang-kadang aku menggerakkan
bahu kananku mengikuti irama detak jantung, seolah-olah aku punya dua
hati. Aku juga punya beberapa rutinitas acak, misalnya naik-turun
tangga curam yang mengarah dari kolam ke taman sebanyak sembilan
kali. Ini tidak aneh benar—bisa jadi semacam permainan—tapi aku
berhasil memastikan agar tidak terlihat aneh dengan sangat hati-hati
menyarukannya: aku akan berhenti di tangga paling bawah,
menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan lupa sesuatu, kemudian
berbalik arah dan menelusuri langkah-langkahku kembali.
Aku ceritakan semua ini karena Camilo
yang selalu bersedia membantuku. Di Chevette waktu itu, ketika ia
mengetahui kegugupanku, ia mengusap-usap rambutku dan mengatakan
sesuatu yang tidak kuingat, tapi aku yakin itu menghangatkan, penuh
perhatian, dan lembut. Beberapa waktu kemudian, ketika aku bercerita
tentang keanehanku, ia berkata bahwa setiap orang memang berbeda, dan
mungkin hal-hal aneh yang kulakukan itu sebenarnya normal, atau
mungkin tidak, bukan masalah, karena orang normal itu payah.
*
Aku bisa mengisi banyak halaman
menuliskan pentingnya Camilo dalam hidupku. Untuk saat ini, aku ingat
bahwa Camilolah, setelah melalui perdebatan panjang dan canggih, yang
berhasil memintakan izinku untuk menonton konser pertama kali. (Kami
nonton Aparato Raro di Sekolah Don Orione di Cerrillos.) Ia juga
orang pertama yang membaca puisiku.
Sejak masih kecil aku menulis puisi,
yang, tentu saja, merupakan rahasia memalukan. Puisi-puisi itu jelek,
tapi waktu itu kupikir bagus, dan waktu Camilo membacanya ia
melakukannya dengan takzim, meski segera menjelaskan bahwa hari-hari
ini puisi tidak berima. Itu kabar baru bagiku. Belum pernah kubaca
puisi tak berima sebelumnya, dan aku selalu berpikir bahwa puisi
adalah sesuatu yang tidak berubah: purba dan kekal. Tapi aku senang
mendengar penuturan Camilo, karena ada saat-saat aku setengah mati
mencari rima, dan aku tahu aku tidak bisa terus-menerus menggunakan
kombinasi mudah.
Aku bertanya kepadanya, kemudian, apa
perbedaan puisi dan prosa. Kami berbaring di samping kolam
renang—dalam mode fotosintesis, katanya. Ia menatapku dengan
ekspresi pedagogis dan memberitahuku puisi adalah kebalikan dari
cerita. "Prosa itu membosankan. Puisi itu keedanan, puisi itu
liar, puisi itu aliran deras emosi ekstrem," katanya, atau
begitula kira-kira. Sulit untuk tidak membayangkan, tidak terbawa
aroma kenangan. Ia niscaya menggunakan kata "keedanan",
"liar," dan "emosi." "Aliran deras,"
mungkin tidak. "Ekstrem," kupikir iya.
Pulang ke rumah, diambilnya buku
catatanku dan mulai menulis puisinya sendiri. Ia butuh waktu
kira-kira setengah jam untuk menulis sepuluh atau dua belas teks
panjang, lalu membacakannya. Aku tidak mengerti apa-apa; kutanya
apakah orang lain akan mengerti puisinya. Mungkin orang-orang tak
akan paham, katanya, tapi itu bukan hal penting. Kutanya apakah ia
ingin menerbitkan buku. Ia bilang ya, pasti, tapi itu juga bukan hal
penting. Kutanya apa yang penting. Dan ia katakan ini, atau ini yang
aku pahami: "Yang penting ungkapkan perasaanmu, tidak takut
menampakkan diri sebagai pria yang menarik, asyik, dan barangkali
sedikit rapuh, menerima sisi feminin dalam diri." Itulah pertama
kali aku mendengar ungkapan "sisi feminin".
Lain hari, tidak lama setelah itu, ia
bertanya apakah aku menyukai laki-laki atau perempuan. Aku agak ragu,
karena ada laki-laki yang kusukai—Camilo sendiri, misalnya—tapi
aku cukup yakin aku lebih suka cewek, jauh. "Aku suka cewek,"
kataku. "Aku suka banget cewek-cewek. Kupikir mereka seksi."
"Oke," ujarnya, serius
sekali, lalu ia bilang jika aku suka cowok juga oke—ini terjadi
beberapa kali.
*
Aku ingat Camilo sore itu, berdiri di
jembatan melengkung di Providencia, merokok. Aku tahu itu bukan rokok
biasa, tapi aku tidak tahu persis apa. "Ini terlalu keras buat
bocah kecil," katanya berapologi ketika aku minta join, saat itu
aku sudah mulai merokok, sesekali. Ini mesti 1986 atau awal 1987; Aku
berusia sepuluh tahun atau sebelas. Aku tahu karena pada usia
tersebut aku masih belum hafal jalan sekitar Providencia atau pusat
kota Santiago, dan karena hari itu kami pergi membeli True
Stories-nya Talking Heads, yang waktu itu masih album baru.
"Kita harus bereskan masalahmu,"
kata Camilo pagi itu dalam perjalanan kami ke halte bus. Kutanya
masalah yang mana, karena kupikir aku punya banyak masalah, bukan
hanya satu. "Sifat pemalumu," jawabnya. "Cewek enggak
suka cowok pemalu." Dan aku memang pemalu saat itu; yang
kumaksud adalah rasa malu sungguhan, tidak seperti sekarang, ketika
rasa malu hampir selalu dipakai untuk lelucon. Jika seseorang tidak
mengatakan hai, itu karena dia pemalu; jika seorang pria membunuh
istrinya, itu karena rasa malu; jika ia mengibuli seluruh kota, jika
mencalonkan diri, jika makan Nutella terakhir dari stoples tanpa
meminta izin kepada siapa pun—malu. Tidak, maksudku sesuatu yang
lain: perasaan tidak aman yang menggagap.
"Aku akan membantumu," kata
Camilo. "Aku akan memberimu pelajaran, tapi jangan khawatir,
kamu tidak perlu melakukan apa pun—pokoknya jangan pergi dari
sampingku, enggak peduli apa yang kulakukan." Aku mengangguk,
merasa sedikit lengar. Selama satu jam perjalanan bus, ia ceritakan
beberapa lelucon, kebanyakan yang pernah kudengar, tapi kali ini ia
menceritakannya dengan suara sangat lantang, teriak-teriak. Kupikir
pelajarannya aku harus tertawa sama keras, tentu sangat sulit bagiku,
tapi kucoba. Lalu, saat kami turun dari bus, ia bilang bukan itu
pelajarannya.
Kami naik ke jembatan dan berhenti di
tengah. Camilo merokok dalam diam, sementara aku menatap air
sungai yang keruh dan bergegas, yang lebih tinggi dari biasanya. Aku
fokus pada aliran sungai, sampai sangat berkonsentrasi dan aku merasa
air itu diam dan kami di atas kapal yang bergerak, meski aku belum
pernah naik kapal seumur hidupku. Cukup lama aku seperti itu, lima
belas, mungkin dua puluh menit. "Kita sedang di kapal,"
kataku kepada Camilo. Aku kesulitan menjelaskannya; ia pun tak
mengerti, tapi kemudian tiba-tiba ia melihatnya, juga, dan ia
berteriak penuh ketakjuban. Kami lanjutkan memelototi arus dan ia
mengulang-ulang, "Luar biasa, luar biasa, luar biasa."
Setelah itu, saat kami berjalan menuju
Providencia, ia katakan kepadaku dengan tegas, "Aku selalu
menyukaimu, aku masih menyukaimu, tapi sekarang aku juga
menghormatimu." Sampai di satu simpang, mungkin antara
Providencia dan Carlos Antunez, ia menatapku, membuat gerakan cepat
dan hampir tidak kentara dengan kepalanya yang berarti sekarang,
menjatuhkan dirinya ke tanah, mencengkeram perut, dan mulai tertawa
terbahak-bahak boros sekali, terpingkal-pingkal keji sekali.
Segerombolan orang segera merubung kami, dan aku sangat tidak ingin
berada di situ, tapi aku tahu inilah pelajarannya. Ketika ia akhirnya
berhenti tertawa, lima polisi di sana memintainya keterangan. Camilo
memberiku anggukan isyarat senang—aku sudah bertahan di sampingnya,
ikut tertawa dikit-dikit pula. Kulihat wajah para polisi itu, bengis
dan datar, sedang Camilo mencerocoskan penjelasan tentang aku dan
sifat maluku, dan yang ia lakukan barusan perlu untuk memberiku
pelajaran agar aku, katanya kepada polisi, tumbuh dewasa. Ia telah
mengganggu ketertiban umum, dan kami hidup di bawah kediktatoran,
tapi Camilo berhasil meredakan kemarahan polisi-polisi itu, dan kami
dibiarkan pergi setelah mengucapkan janji aneh agar tidak pernah
tertawa di tempat umum lagi.
"Aku benar-benar lagi tinggi,"
kata Camilo kepadaku, atau mungkin pada dirinya sendiri, agak risau.
Kami pergi ke sebuah toko untuk membeli album Talking Heads.
Tempatnya tampak berbeda dari semua toko kaset yang pernah
kukunjungi—tampak mewah dan eksklusif di mataku. Setelah si petugas
menyerahkan True Story kepada kami, Camilo mencoba
menerjemahkan lirik pembuka "Love for Sale" untukku, meski
ia tidak menguasai bahasa Inggris. Kuambil album itu darinya,
memeriksa sampul merah-putihnya, lalu kuberi isyarat cepat seperti
isyaratnya untukku: sekarang. Ia baru saja punya waktu untuk
memahaminya dengan tatapan panik sebelum aku kabur dengan album di
tanganku, kami berlari, mengelak dari para pejalan kaki dengan
kecepatan penuh, cukup lama, tertawa seperti orang gila.
Sore itu, saat kami tiba di rumah, ada
pertandingan bola. Aku tidak ingat laga apa, tapi yang pasti
Colo-Colo yang main, dan Camilo ikut menonton bersama kami. Ayah
tanya kenapa. "Aku nggak punya bapak," kata Camilo. "Kamu
bapakbaptisku, jadi kamu harus ajari aku sesuatu tentang sepak bola.
Kalau nggak," katanya memperingatkan, sambil mengerling ke
arahku, "Aku akan jadi peri."
Camilo jadi rutin menonton pertandingan
bersama kami, tapi aku tak tahu apakah ayah senang atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan yang Camilo lontarkan sangat sepele dan
seringkali keliru sehingga, tak perlu waktu lama, kami jemu.
*
4 Desember 1987, aku berbuat dosa
besar. Los Prisioneros baru saja merilis La Cultura de la Basura,
album ketiga mereka; sumpah mati aku ingin membelinya, tapi aku tak
punya uang sepeser pun. Kupertimbangkan untuk mencuri lagi, tapi aku
tak yakin bisa melakukannya—keberhasilan mencuri Talking Heads
secara spontan menjadi inspirasi. Lalu aku punya ide yang lebih baik:
karena hari itu ada acara amal tahunan, aku minta uang ke orangtuaku
untuk membantu anak-anak cacat, dan aku pergi ke toko dan beli kaset.
Itu saat-saat yang mengerikan untukku.
Kukurung diri dalam kamar mendengarkan album itu, dan pada mulanya
setiap lagu terdengar, dengan satu dan lain cara, seolah-olah tentang
tindakan jahatku. Kuputuskan untuk melakukan pengakuan dosa, tapi aku
takut reaksi si pendeta. "Pengakuan dosa denganku saja,"
kata Camilo, setelah kukatakan kepadanya aku merasa berdosa. "Apa
gunanya kamu mengocehkan urusanmu di hadapan pendeta? Lagi pula,
kuberitahu, ya: masturbasi itu bukan dosa. Bahkan Yesus pun kupikir
pernah coli beberapa kali sambil membayangkan Maria Magdalena."
Aku tertawa terbahak-bahak sampai aku
merasa pening. Tak pernah sebelumnya aku mendengar bidah yang
demikian. Di atas meja di ruang tamu ada gambar Yesus, dan sejak saat
itu aku tak pernah bisa melihatnya tanpa berpikir seperti apa tampang
Yesus habis ejakulasi. Ngomong-ngomong, aku tak pernah berpikir onani
itu dosa. Setelah kuberitahu Camilo dosa apa yang telah kuperbuat, ia
bilang kegiatan amal itu sudah berhasil dengan sponsor tunggal, aku
lebih membutuhkan kaset itu, dan mungkin yang kulakukan sudah tepat.
"Aku enggak ngerti," kataku.
"Oke," katanya. "Kalau
kamu masih merasa bersalah, berdoalah dengan satu amalan di mana kamu
harus memukul-mukul dadamu."
*
Camilo masih bersikeras kami harus
mengajarinya tentang sepakbola, dan kadang-kadang kami memang
berlatih tendangan penalti di jalan. Tapi ayah dengan cepat akan
muntab; ia bilang Camilo tidak berkonsentrasi, minatnya tidak serius.
Namun, di satu akhir pekan, kami bertiga pergi ke Stadion Santa
Laura, menonton pertandingan dobel. Pertama Universidad de Chile
melawan Concepción. Camilo, supaya bikin aku dan ayah jengkel,
mendukung Universidad—yang merupakan tim ayahnya—walaupun tentu
saja ia bahkan tidak tahu nama-nama pemainnya. Ia suka cara semua
orang di stadion berteriak dan mencemooh para pemain, tapi kaget
melihat mereka memaki-maki wasit. Ia lalu membela wasit, dan meskipun
orang-orang tidak menganggapnya sungguh-sunggu, lucu sekali mendengar
Camilo, setiap kali wasit meniup peluit pelanggaran atau mengeluarkan
kartu, berdiri dan berteriak, "Bagus sekali, Sit! Keputusan yang
sangat bagus!"
Camilo terus bersorak untuk wasit
selama pertandingan berikutnya, antara Colo-Colo dan Naval,
seingatku. Aku bergabung dengannya sebentar, meskipun menonton
Colo-Colo bagiku adalah perkara yang sangat serius. Aku dibesarkan
mengagumi Chino Hisis, Pillo Vera, Carlos Caszely, Horacio Simaldone,
dan tentu saja Roberto Rojas—El Condor. Aku juga benci beberapa
pemain: Cristián Saavedra (aku tidak tahu kenapa), dan Mario Osbén,
tetapi hanya selama periode ketika pelatih secara misterius
menjadikannya sebagai starter alih-alih Rojas. Itu membuatku marah.
Salah satu kebahagiaan terbesar masa kecilku adalah turun ke pagar
untuk meneriaki pelatih, dan aku benar-benar memakinya. Di rumah,
dilarang keras bicara kasar, tapi di stadion aku punya kebebasan.
Tak satu pun dari para pemain itu
berada dalam tim ketika aku di stadion bersama Camilo, tapi tak pelak
lagi Condor Rojas adalah pemain yang paling kurindukan. Semua orang
Chili mengagumi Rojas, tapi bagiku, karena ia kiper, cara lain
mengagumi ayahku. Terlebih, aku paham sekali posisi ini, dan tanpa
keraguan, menurutku tugas kiperlah yang paling berat. Kadang-kadang
aku juga jadi kiper, mencoba meniru Condor Rojas, atau mungkin ayahku
(dalam semua hal kecuali teriak-teriak). Namun, ketika bergabung
dengan Liga Pemuda Cobresal, di Maipú, bermain di lapangan yang sama
denga Iván Zamorano ketika memulai kariernya, aku menjajal posisi
gelandang, bukan kiper. Aku khawatir, barangkali, kalau-kalau aku
tidak cukup bagus.
*
Mengapa Camilo menghabiskan begitu
banyak waktu bersama kami? Karena kami mencintainya, tentu. Dan ia
tidak suka berada di rumahnya sendiri. Ia bertengkar dengan ibunya
perkara keyakinan beragama dan situasi politik. Sebelum referendum
1988, Camilo ikut semua demonstrasi mendukung "Tidak", dan
itu menyebabkan pertengkaran hebat antara keduanya. Camilo ingin
"Tidak" menang bukan hanya karena ia benci Pinochet, tapi
juga karena dipikirnya dengan begitu ayahnya bisa kembali ke Chili.
Tapi ayah Camilo tak ingin kembali, atau setidaknya itulah yang Bibi
Juli selalu katakan—"Ayahmu sudah punya keluarga lain sekarang.
Ia juga punya negara lain. Ia bahkan tidak ingat kamu." Tapi
ayahnya masih sering berkirim surat untuknya, mengiriminya uang, dan
sekali waktu menelepon.
Bibi Juli memang keras. Meski begitu,
ia memperlakukan kami dengan sangat baik suatu kali kami mampir ke
rumahnya. Dia menghidangkan kue dan susu pisang untuk kami yang
sedang bermain Montezuma's Revenge bersama saudara tiri Camilo. Aneh
rasanya melihat Camilo di sana. Ia tampak tak nyaman. Kulihat-lihat
kamarnya, seolah-olah ia tidak tinggal di sana. Ia pernah menghadiahi
aku dan dua saudariku poster-poster yang bisa digantung di dinding
kamar kami, tapi tak ada satu poster pun di kamarnya sendiri: Aku
terkesan melihat tembok putih itu, kosong melompong, tanpa paku untuk
menggantung foto.
Oh, kuliah apa Camilo? Administrasi
atau Manajemen Sesuatu, di Universidad Tecnológica Metropolitana,
yang kemudian berganti nama jadi Instituto Profesional de Santiago.
Tapi ia tidak suka kuliah. Sekali waktu, ia mengajariku matematika,
tapi hasilnya memble, dan, lagi pula, aku tidak benar-benar
memerlukannya. Aku pun tak tahu apakah ia banyak baca, meski kurasa
ia suka membaca. Kadang aku berpikir, dari sudut pandang kekinian,
bahwa Camilo kurang dewasa. Tapi tidak. Ia dewasa. Atau ia juga punya
sisi lain, sisi yang intuitif, murah hati, cerdik.
Ia di sana bersama kami, di depan TV,
ketika Condor Rojas pura-pura cedera di Brasil dan timnas Chili
meninggalkan Stadion Maracana. Aku dan ayah tak percaya apa yang kami
lihat, dan Camilo pun kelimpungan. "Brazil bangsat!"
teriakku, menunggu apakah aku akan dimarahi, tapi tak ada yang
menegurku. Ayah tenggelam dalam keheningan amarahnya. Camilo segera
berangkat ke pusat kota, menjadi bagian dari kerumunan yang protes di
depan Kedutaan Besar Brasil. Aku ingin pergi bersamanya, tapi orang
tuaku tak mengizinkan, dan aku harus menelan kemarahanku sendirian.
Suatu malam, sementara topik itu masih
diperdebatkan dan Condor Rojas menyatakan tidak bersalah dalam setiap
wawancaranya, Camilo datang untuk makan bersama kami dan berkata
bahwa ia tak lagi percaya Condor tidak bersalah. Saat itu rumornya
sudah beredar, tapi aku dan ayah menganggap itu fitnah belaka. Ayah
memeloti Camilo dengan pandangan menghina, hampir dengan kebencian.
"Kamu nggak punya hak buat berpendapat. Kamu nggak tahu apa-apa
soal sepak bola," kata ayah. "Apa kamu pikir Condor cukup
bego hingga melakukan sesuatu seperti itu?" Ketika Rojas
akhirnya mengaku, tak lama kemudian, kami harus menerimanya. Kami
meminta maaf kepada Camilo, tapi ia bilang itu tidak terlalu penting.
Bahkan setelah Condor mengakui
kesalahannya, berbulan-bulan aku masih menolak percaya. Walhasil kami
harus berhenti mengagumi Condor Rojas, dan aku pun berhenti menonton
pertandingan ayah. Tak lama kemudian, tangan kanan ayah patah untuk
kedua kalinya, dan dokter berkata ia tidak boleh main sepak bola
lagi.
*
Pertengahan 1990, sesuatu yang luar
biasa terjadi: setelah satu dekade meminta saluran telepon, akhirnya
kami dapat. Kami diberi nomor 5573317. Pagi ketika petugas datang
untuk memasang, di rumah hanya ada aku dan ibu. Hal pertama yang ibu
lakukan adalah menelepon salah satu temannya, dan kemudian ia
menyuruhku menelepon juga, jadi aku telepon Camilo. Itu periode
ketika ia, tanpa penjelasan, berhenti mengunjungi kami. Ia terdengar
gembira, dan aku memintanya datang. Ia muncul beberapa hari kemudian.
Umurku empat belas waktu itu, dan hari
itu ia bilang ingin mengajariku cara merayu perempuan. Aku pernah
mencium beberapa gadis, tapi hubunganku dengan mereka tidak mulus.
Camilo bercerita ia baru bertemu seorang gadis bernama Lorena, dan
mereka kencan dan tidur bersama. Ia menjelaskan bagaimana seharusnya
memperlakukan seorang wanita di tempat tidur ("Kamu harus
perlahan-lahan membuka bajunya—Jangan buru-buru"), ia lalu
menawarkan untuk menelepon Lorena dan aku mendengarkannya dari kamar
ibu. "Dengan cara ini kamu bisa belajar bagaimana menggoda
wanita," katanya. Ia tidak bermaksud pamer—betul-betul ingin
mengajariku.
"Halo, Lorena, ini Camilo,"
katanya, dengan suara yang dalam.
"Oh, bagaimana kabarmu?"
Suaranya manis, manis dan agak serak.
"Kabarku baik, tapi aku butuh
ketemu kamu."
Lorena diam selama lima detik, kemudian
mengucapkan kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan. "Nah,
kalau sudah jadi kebutuhan, sebaiknya kita putus," katanya,
menutup telepon.
Aku ke dapur, menjerang air, dan
membuat secangkir teh untuk Camilo. Kupikir itu pertama kalinya aku
membuatkan teh untuk seseorang. Kutaruh banyak gula di dalamnya, yang
kupahami sebagai sesuatu yang harus dilakukan ketika membuatkan teh
untuk orang yang sedang sedih.
"Terima kasih," kata Camilo,
dengan sikap pasrah. "Tapi itu tadi bukan masalah. Aku senang.
Musim panas nanti sesuatu yang sangat penting akan terjadi."
"Apa itu?"
"Yah, bukan lagi musim panas
untukku. Tapi musim dingin."
Itu petunjuk yang lengkap, tapi aku
masih tak mengerti. Bodoh sekali.
"Aku akan ke Prancis bertemu
ayahku," katanya, kegembiraan jelas tergambar di wajahnya.
*
Sekarang aku melompat bertahun-tahun ke
depan; lebih tepatnya, dua puluh dua. Oktober 2012. Aku berada di
Amsterdam, pada pertemuan orang-orang Chili, kebanyakan eksil,
sebagian anak-anak dari eksil, sebagian lainnya mahasiswa. Dan ada
Pak Camilo, Camilo Senior. Seseorang memperkenalkan kami dan ketika
ia mendengar nama belakangku ada kilat ketertarikan di matanya. "Kau
tampak seperti ayahmu," katanya.
"Dan Anda terlihat seperti
Camilo," jawabku. Ia menanyaiku beberapa pertanyaan samar. Kami
berbincang tentang demonstrasi, tentang pemerintah yang secara
memalukan menolak hak pilih orang Chili yang berada di luar negeri.
Kami berbincang tentang Pinera, dan tiba-tiba saja kami menjadi teman
sebangsa yang mengeluhkan inkompetensi presiden kami. Dan kemudian:
"Bagaimana Hernán?" tanyanya.
"Baik," jawabku, memikirkan
sudah lama aku tidak bicara dengan ayah. Aku merasa sedikit
terganggu, aku tak tahu mengapa. Aku menanggapinya dengan dingin.
Lalu aku menyadari: Camilo sangat menderita karena ayahnya. Aku
merasa, dengan satu dan lain cara yang absurd dan gelap, bicara
dengan Pak Camilo adalah pengkhianatan terhadap temanku itu, kakakku.
Di saat yang sama, aku juga ingin bicara dengan orang ini, untuk
memahami siapa ia sebenarnya. Aku mengusulkan agar kami bertemu
keesokan harinya.
Kami sepakat bertemu di sebuah restoran
Meksiko di Keizersgracht. Bisa ditempuh dengan jalan kaki dari
hotelku. Aku tiba hampir dua jam lebih awal agar bisa menonton
pertandingan Barcelona. Alexis duduk di bangku cadangan. Selama
beberapa dekade, sepakbola telah menjadi semacam olahraga perorangan
bagi kami orang Chili. Setelah apa yang terjadi dengan Condor Rojas,
bukan hanya absen di Italia tahun 1990, kami juga dilarang ikut
serta dalam kualifikasi Amerika Selatan untuk Piala Dunia 1994 di
Amerika Serikat. Tak ada yang bisa kami lakukan, selama
bertahun-tahun, selain fokus pada kompetisi lokal dan pada kejayaan
dan kegagalan individu beberapa saudara sebangsa kami yang bermain di
luar Chili. Kami mendukung Real Madrid ketika Zamorano bermain di
sana, dan sekarang Barcelona, karena Alexis, selama ia berada di
sana. Kami terbiasa menonton dengan cara ini: apa pentingnya gol yang
dicetak David Villa dan Messi untukku? Satu-satunya yang kupedulikan
adalah Alexis main, dan, bahkan jika ia tidak bersinar, setidaknya
tidak melakukan hal-hal bodoh.
*
Pak Camilo juga tiba lebih awal.
Kupikir, aku akan menonton pertandingan bersama ayah Camilo.
Yang kutahu tentang Pak Camilo, tentang
pengasingannya, hanya yang anaknya ceritakan kepadaku: ia dipenjara
pada 1974, dan ia cukup beruntung, bisa keluar dari Chili pada 1975.
Ia pergi ke Paris, bertemu dengan seorang wanita Argentina yang
kemudian melahirnya dua anaknya. Ia memberi tahuku ia sudah tinggal
di Belanda selama lima belas tahun, pertama di Utrecht, lalu di
Rotterdam, dan sekarang di sebuah kota kecil dekat Amsterdam. Tak mau
buang-buang waktu, kupercepat penyelidikan. Aku bertanya kepadanya
mengapa Camilo begitu berubah ketika kembali ke Chili.
"Aku tak tahu mengapa,"
katanya. "Dia datang ke Paris untuk bertemu denganku. Dia ingin
kami pulang ke Chili bersama-sama. Dia tak tertarik pindah ke sini,
meski aku memintanya. Dia bilang dia orang Chili. Aku mengusulkan
agar dia kuliah. Kubicarakan rencana kami untuk menetap di Belanda.
Dia bilang dia tidak suka kuliah, tidak di Santiago dan tidak di
Eropa. Situasinya semakin memanas. Dia mengucapkan hal-hal mengerikan
di depan mukaku. Aku pun mengucapkan hal-hal mengerikan di depan
mukanya. Dan selanjutnya menjadi kompetisi, kompetisi siapa yang bisa
mengucapkan hal-hal yang paling mengerikan. Aku akhirnya merasa dia
yang menang. Dan dia akhirnya merasa aku yang menang. Bertahun-tahun
kami terus berhubungan, aku selalu memikirkannya, mengiriminya
uang—tidak banyak, tapi aku mengiriminya. Kelak, pertama kalinya
aku mudik ke Chili, kami bertemu lagi, beberapa kali makan siang
bersama, tapi kami selalu ribut."
"Itu tahun '92," kataku.
"Ya," jawabnya.
Lima belas menit memasuki babak kedua,
Alexis masuk; ia offside beberapa kali, tapi berperan untuk gol Xavi,
3-0. Kemudian Fabregas mencetak gol, lalu Messi lagi. Alexis
menyia-nyiakan peluang emas di menit akhir.
"Apa yang kamu pikirkan tentang
Alexis?" Pak Camilo bertanya.
"Dia tidak lebih baik dari Messi,"
kataku, Pak Camilo tersenyum. Kutambahkan bahwa Alexis tidak pernah
mencetak banyak gol—di timnas Chili juga dia buang-buang peluang
melulu—tapi ia pemain sayap yang istimewa. Tiba-tiba datang lagi
pikiran itu: mengobrolkan sepak bola dengan ayah Camilo, aku merasa
gemetaran. Perasaan yang sangat aneh. Aku bicara tentang Colo-Colo
2006, tentang Claudio Borghi, Mati Fernandez, Chupete Suazo, Kalule,
Arturo Sanhueza. Aku bicara tentang laga final yang melawan Pachuca,
di Stadion Nasional. Aku merasa canggung berbicara dengan cara
seperti ini. Naif.
Ia mendesakku memakai "kamu"
yang informal saja dengannya. Kukatakan tidak. Ia bertanya apakah
ayah dan Camilo memakai yang informal satu sama lain. Kujawab iya.
"Cobalah denganku, kalau begitu."
Aku lebih suka tidak. Kucoba menjawab
sesopan mungkin, tapi yang keluar dari mulutku hanya gumaman lemah,
"Tidak."
Aku bertanya apa yang ia dan ayah
tengkarkan. Ayah belum pernah memberi tahu Camilo atau aku ketika kami
menanyainya: Ayah selalu mengubah topik obrolan. Dan tidak ada orang
lain yang tahu. Aku selalu berasumsi itu pasti sesuatu yang sangat
serius.
"Kejadiannya menjelang akhir
musim," kenang Pak Camilo. "Kami semua kelelahan, dua-nol:
Aku bek tengah, tinggal beberapa menit tersisa, dan ayahmu berteriak
seperti orang gila: 'Oper, oper balik, oper, Camilo!' Kami sering
cekcok di beberapa pertandingan. Dia tidak pernah membiarkanku
membuat keputusan sendiri. 'Oper, oper balik!' Zaman itu, kiper masih
boleh menangkap bola dengan tangannya kalau kamu oper ke belakang."
"Aku tahu," kataku. "Aku
tak semuda itu."
"Kamu masih sangat muda,"
katanya.
Kami pesan bir lagi.
Pak Camilo melanjutkan, "Dia terus
berteriak berulang-ulang. 'Oper balik, Camilo, oper balik, ayolah!' Dan aku muak.
Karena kesal sekali aku menyarangkan bola ke sudut gawang dan
mencetak gol bunuh diri—'Makan tuh bola, bangsat!' kataku. Beberapa
orang tertawa, beberapa lainnya meneriakiku, ayahmu hanya
memandangiku penuh kebencian. Kemudian tim lawan mencetak gol, seri.
Kalau saja aku tak mencetak gol bunuh diri itu, kami sudah
memenangkan kejuaraan."
Saat itu teman Belandaku Luc datang; ia memberiku beberapa buku. Kukenalkan dengan Camilo. Ia duduk-duduk
sebentar bersama kami, dan dengan bertanya
kepada Camilo apakah ia seorang eksil. "Tidak lagi," jawab
Camilo. "Atau iya. Aku tak tahu lagi." Luc mengajakku
pergi, tapi aku merasa aku harus tinggal. Aku bilang jumpa lagi
nanti.
Pak Camilo tak pernah bercerita kepada anaknya bahwa ia disiksa, meski ia ditahan selama beberapa bulan.
"Mereka menyiksaku habis-habisan," sekarang ia memberi tahuku. "Tapi aku tak mau bicara tentang itu. Aku masih hidup. Aku
harus pergi, memulai segalanya dari awal lagi." Kami sama-sama
terdiam. Aku memikirkan toko kaset, lagu Talking Heads; mungkin aku
sedikit terluka.
I was born in a house with the
television always on
Guess I grew up too fast
And I forgot my name.
*
Kami berjalan di Prinsengracht. Cuaca
dingin. Tanpa maksud jelas, aku mulai menghitung sepeda yang melewati
jalan itu. Lima puluh, enam puluh, seratus. Keheningan antara kami
tampaknya tak mau minggat. Kurasa sudah waktunya mengucapkan selamat
tinggal. Dan, benar, saat itu pula ia mengatakan, "Yah, aku akan
pergi sekarang."
"Katakan kepada Hernán aku minta
maaf," imbuhnya. Kuyakinkan bahwa ayah telah memaafkannya
bertahun-tahun yang lalu, dan itu tak penting. Kami meminta seorang
anak mengambil foto kami dengan ponselku. Sementara kami berpose, aku
memikirkan besok akan menelepon ayah, dan kami akan berbincang
panjang tentang Pak Camilo, dan kami juga akan mengenang, seperti
yang kami lakukan kadang-kadang, malam mengerikan di awal '94, saat
Bibi Juli menelepon dan memberi tahu kami Camilo ditabrak mobil, dan
pekan celaka ketika ia hampir sembuh tapi ternyata tidak selamat.
Aku tak tahu mengapa aku bertanya
kepada Pak Camilo bagaimana ia mengetahui kematian anaknya. "Aku
baru tahu delapan hari kemudian," katanya. "Juli tahu
bagaimana menghubungiku, tapi dia tidak melakukannya." Kami
masih berdiri, menatap tanah, di pojokan sebuah toko lampu. Aku
pernah melihat ini beberapa kali di Amsterdam: jendela toko dipenuhi
lampu yang semuanya menyala di malam hari. Aku baru akan mengatakan
ini, untuk ganti topik. Lalu ia mengulangi, "Tolong
katakan kepada Hernán aku minta maaf atas gol itu."
"Akan kusampaikan," kataku. Kami mengucapkan salam perpisahan, ia memelukku dan mulai menangis. Kupikir sebuah cerita tidak seharusnya berakhir seperti ini, dengan Camilo Senior menangisi anaknya yang sudah mati, anak yang praktis asing baginya. Tapi beginilah akhirnya.
"Akan kusampaikan," kataku. Kami mengucapkan salam perpisahan, ia memelukku dan mulai menangis. Kupikir sebuah cerita tidak seharusnya berakhir seperti ini, dengan Camilo Senior menangisi anaknya yang sudah mati, anak yang praktis asing baginya. Tapi beginilah akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar