28.8.19

Apa yang Saya Bicarakan Ketika Saya Bicara Mojok



Kalau saja tidak pernah bertemu Puthut EA mungkin saat ini saya sedang menebang kayu di hutan terlarang di pedalaman Sumatera, atau menjadi calo imigrasi di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, atau mondar-mandir di ibukota sebagai makelar politik tanpa visi yang jelas kecuali menyicipi APBN, atau malah menjadi admin Twitter Cak Imin, atau Gerindra, atau Dino Patti Djalal, sekitar-sekitar itulah. Kalau bukan karena Puthut EA, saya tidak akan bertemu dengan Nial FC, tidak akan ditagih-tagihnya tulisan, dan tentu saja tidak akan pernah menuliskan ini.

Semua bermula di Twitter, dari percakapan-percakapan aneh tentang sepak bola dan politik, lalu pertemuan-pertemuan yang selalu dipenuhi gelak tawa, proyek-proyek yang menyenangkan, sampai berdirilah Mojok. Puthut EA mengajari saya banyak hal, terutama nilai-nilai, lebih dari yang mungkin ia  sendiri sadari. Mojok hanyalah salah satu monumen dari nilai-nilai itu, yang bisa dilihat, diraba, diterawang,  diteliti, dan dipelajari oleh siapa saja hingga bertahun-tahun nanti.

Saya sempat tergoda untuk menggali dan kemudian menuliskan banyak hal tentang perjalanan Mojok sejak awal didirikan. Tetapi deadline dari Nial FC sempit sekali. Jadi biarlah itu menjadi tugas orang lain kelak, kalau ada yang mau menuliskannya sebagai satu buku utuh. Kalau tidak ada ya tidak apa-apa.

Ikut serta Puthut EA dalam mendirikan Mojok adalah keistimewaan yang tidak dimiliki banyak orang, karena itu saya akan senantiasa bersyukur mengingatnya. Saya tidak akan pernah lupa momen-momen kami rapat hingga menjelang pagi di Kopi Phoenam di Jalan Kaliurang, bersama Muammar Fikrie, Rifqi Muhammad, Aditya Rizki, dan Nody Arizona.  Juga obrolan-obrolan tentang banyak media, mulai dari strategi konten, kekhasan, platform, teknologi, inovasi-inovasi dan terobosan, perubahan-perubahan yang demikian cepat dan kehendak zaman, yang terus berlanjut dan berlanjut  dan berlanjut di Warung Mas Kali. Pengalaman membangun Mojok adalah pengalaman di usia duapuluhan yang saya tidak akan pernah rela menukarnya dengan pekerjaan idaman yang orang-bersedia-membunuh-untuk-mendapatkannya mana pun.

Bekerja di Mojok bagi saya adalah mematuhi wejangan Kiai di pesantren. Suatu kali Pak Kiai pernah bilang yang kira-kira begini: di awal usia bekerja, usia duapuluhan, sebaiknya kamu tidak bekerja di mesin besar seperti perusahaan multinasional atau negara, bekerjalah di perusahaan kecil, kalau bisa bangun sendiri, sehingga kamu tahu semua seluk-beluk pekerjaanmu, alif hatta ya, a sampai z.  Sungguh Kiai saya visoner dan pandai sekali membaca zaman, ia mengucapkan itu bahkan jauh sebelum startup-startup bermunculan—yang sekarang jumlahnya melebihi twit yang pernah dihasilkan Dony Iswara.

Mojok mirip sekali dengan pesantren saya Pondok Pabelan. Keduanya sama-sama lahir 28 Agustus, dan saya banyak belajar di sana.

Di Mojok saya mulai benar-benar menyadari bahwa perubahan di dunia ini cepat sekali, bukan hanya di bidang pekerjaanmu, tetapi semua hal yang mempengaruhi pekerjaanmu, juga semua hal yang tidak mempengaruhi langsung pekerjaan dan hidupmu. Kau senantiasa harus membuka mata dan menyesuaikan diri dengan segera. Ya, semua karena internet. Internet asu buntung, internet babi blangsak, internet yang melahirkan spesies bernama netizen, internetku kampusku, internetku istanaku.

Di Mojok kami memindai pelbagai perubahan cepat itu dengan santai sambil ngopi-ngopi. Perubahan algoritma Google dan Facebook dan Twitter, kenaikan media sosial baru bernama Instagram, kemunculan Snapchat, bagaimana seseorang atau kumpulan orang atau perusahaan atau merek meresponsnya, bagaimana bila strategi a diterapkan pada situasi b, bagaimana media di Amerika mengantisipasi penemuan-penemuan teknologi baru, bagaimana perusahaan-perusahaan media tua di Indonesia bisa bertahan, apa yang bisa membuat mereka bertahan, strategi apa yang harus mereka tempuh menghadapi sekian tantangan baru, langkah apa saja yang akan ditempuh konglomerasi tua dan mapan di Indonesia untuk menyongsong meledaknya industry digital, marketplace mana saja yang bisa berkembang, apa pengaruh pertumbuhan marketplace itu dalam kehidupan sosial masyarakat kita, untuk apa big data, apa lagi yang harus dilakukan Jokowi untuk mempertahankan eksistensinya di dunia daring, apa yang harus dilakukan Prabowo untuk menang di pilpres berikutnya, parfum apa yang sebaiknya dipakai Windu Jusuf dan Dedik Priyanto, apa yang harus Beni Satryo lakukan agar bisa melampaui Joko Pinurbo, mengapa Arman Dhani laris manis di Twtter tapi tidak di Facebook, mengapa Dea Anugrah tidak menjadi artis Korea saja, karier apa yang pas buat Iqbal Aji Daryono setelah ia pulang dari Australia, jurus apa yang harus Bilven Sandalista pelajari untuk mengalahkan Goenawan Mohamad Magnus Carlsen, dan masih banyak lagi. Padahal konten Mojok hanya satu dalam sehari. Kalau dipikir-dipikir, kayaknya waktu itu kami memang terlalu serius. Rapat tahunan saja kami sampai menginap di sebuah resort di Pantai Indrayanti.

Sebenarnya saya tidak mau berandai-andai lagi, tapi saya kira pengandaian berikut ini perlu. Kalau bukan karena pengalaman saya di Mojok, saya tidak akan bisa melakukan apa yang saya lakukan di Tirto dan tempat-tempat lain saya bekerja setelahnya.

Berkat pengalaman di Mojok, setelah tidak lagi menjadi penulis saja, saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan dengan media sosial Tirto. Bagaimana membangun merek, bagaimana mengembangkan model konten, bagaimana menjangkau audiens yang lebih luas, bagaimana mencoba-coba strategi baru, dan yang paling penting: bagaimana merespons bagaimanapun perubahan mutakhir.

Karena pengalaman bekerja di Mojok yang menyenangkan dan patut disyukuri itu pula, saya adalah salah satu netizen yang sedih sekali ketika Puthut EA, Prima Sulistya, dan Agus Mulyadi mengumumkan Mojok ditutup. Untungnya, di tempat saya bekerja saat itu, Tirto, ada banyak netizen lain yang berduka dan belum bisa menerima, termasuk para atasannya, sehingga mereka dengan senang hati mengulurkan tangan menawarkan kerja sama agar Mojok bisa terus menyapa para pembaca setianya.

Lalu Mojok lahir kembali dengan wajah baru, semangat baru, tujuan-tujuan baru, hingga bisa berkembang seperti sekarang. Saya senang sekali bisa kembali ke Mojok, dikhlaskan kantor Tirto Jakarta untuk sementara bertugas meletakkan pondasi-pondasi penting Mojok yang baru di Yogyakarta. Sekali lagi saya mudik ke pekerjaan impian saya, bersama tim baru yang luar biasa. Selain Prima dan Agus, dan Aditya Rizki yang setia menjaga gawang situs web, ada Ega yang menancapkan tonggak visual baru Mojok, ada Ali Ma’ruf yang menegaskan eksistensi Mojok di YouTube dan Instagram, ada Audian Laili yang memperbaharui sistem kerja keredaksian dan memastikan segalanya berjalan di atas rel, ada Dyah Permatasari yang telaten mengurusi keuangan dan keperluan kantor, dan yang belakangan datang dan menciptakan persona yang kuat bagi Mojok di semua platform media sosial: yang satu dan satu-satunya Dony Iswara.

Ada banyak cerita mengenai proses kelahiran kembali Mojok, tapi saya tidak akan membukanya di sini. Selain karena begitu banyak rahasia resep dapur kami, dan deadline dari Nial FC yang mepet, beberapa teman pasti sudah menuliskannya di bagian lain buku ini. Paragraf ini pun seharusnya tidak ada. Saya mengada-adakannya hanya untuk memenuhi nafsu buas Nial FC agar saya menulis hingga 1500 kata. Lagipula saya pribadi introver. Dengan kata lain, saya tidak mudah membuka mulut atau mengetikkan sesuatu kalau tarifnya belum cocok.

Setelah tiga bulan melihat dari dekat proses yang dilalui teman-teman untuk membangun merek Mojok yang baru, setelah melalui satu kali puasa satu kali lebaran, saya kembali ke Jakarta. Sekali lagi saya senang sekali mengikuti perkembangan Mojok dari jauh, kembali menjadi pembaca setia Mojok, mengagumi pencapaian demi pencapaian yang berhasil diraih tim di bawah komando Prima dan kemudian Agus. Dari jauh saya juga bersaksi betapa kehadiran awak baru membuat Mojok semakin berwarna: Yamadipati Seno dengan ciamik memoles naskah-naskah olahraga dan gaya hidup, Ahmad Khadafi alias Ustaz Daffy Al-Jugjawi yang Savvy berhasil memastikan konten-konten berbau agama tersaji dengan segar seperti baru keluar dari kulkas, Azka Maula membawa ingredien kegaringan sebagai pengingat bahwa untuk menjadi lucu tidak perlu harus mengeluarkan terlalu banyak upaya, Rean Aqila memberi sentuhan agar visual Mojok tidak terlalu berkumis, Nial FC yang konon dengan penuh gaya menggantikan tugas Audian Laili yang jadi redaktur, juga anak-anak magang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu dan beberapa di antara mereka bisa kita tonton aksinya di kanal YouTube Mojok.

Dengan komposisi ajaib itu, Mojok melesat sebagai media yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata oleh siapa pun mengikuti skena media digital di Indonesia. Saya tentu senang dan berbangga hati menjadi bagian darinya.

Di ulang tahun kelima, Mojok telah berhasil menggaet generasi pembaca baru yang dulu belum bisa kami bayangkan utuh seperti apa karakter, perilaku, dan kecenderungannya. Begitulah, segalanya berubah demikian cepat. Dasar internet tapir bunting, internetmu akhiratmu, internet mbahmu salto sampai Meksiko. Akan datang lagi gerombolan pembaca baru yang harus dipahami Mojok—serta media-media lain yang ingin terus bertahan, apa mau mereka, juga perubahan-perubahan lain yang mesti kita petakan secara seksama.

Selamat ulang tahun, Mojok. Sudah siap jadi media raksasa, belum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar