Kalau saja tidak pernah bertemu Puthut EA mungkin saat ini saya sedang menebang kayu di hutan terlarang di pedalaman Sumatera, atau menjadi calo imigrasi di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, atau mondar-mandir di ibukota sebagai makelar politik tanpa visi yang jelas kecuali menyicipi APBN, atau malah menjadi admin Twitter Cak Imin, atau Gerindra, atau Dino Patti Djalal, sekitar-sekitar itulah. Kalau bukan karena Puthut EA, saya tidak akan bertemu dengan Nial FC, tidak akan ditagih-tagihnya tulisan, dan tentu saja tidak akan pernah menuliskan ini.
Semua
bermula di Twitter, dari percakapan-percakapan aneh tentang sepak bola dan
politik, lalu pertemuan-pertemuan yang selalu dipenuhi gelak tawa,
proyek-proyek yang menyenangkan, sampai berdirilah Mojok. Puthut EA mengajari
saya banyak hal, terutama nilai-nilai, lebih dari yang mungkin ia sendiri sadari. Mojok hanyalah salah satu
monumen dari nilai-nilai itu, yang bisa dilihat, diraba, diterawang, diteliti, dan dipelajari oleh siapa saja
hingga bertahun-tahun nanti.
Saya
sempat tergoda untuk menggali dan kemudian menuliskan banyak hal tentang
perjalanan Mojok sejak awal didirikan. Tetapi deadline dari Nial FC sempit sekali. Jadi biarlah itu menjadi tugas
orang lain kelak, kalau ada yang mau menuliskannya sebagai satu buku utuh.
Kalau tidak ada ya tidak apa-apa.
Ikut
serta Puthut EA dalam mendirikan Mojok adalah keistimewaan yang tidak dimiliki
banyak orang, karena itu saya akan senantiasa bersyukur mengingatnya. Saya
tidak akan pernah lupa momen-momen kami rapat hingga menjelang pagi di Kopi
Phoenam di Jalan Kaliurang, bersama Muammar Fikrie, Rifqi Muhammad, Aditya Rizki,
dan Nody Arizona. Juga obrolan-obrolan
tentang banyak media, mulai dari strategi konten, kekhasan, platform,
teknologi, inovasi-inovasi dan terobosan, perubahan-perubahan yang demikian
cepat dan kehendak zaman, yang terus berlanjut dan berlanjut dan berlanjut di Warung Mas Kali. Pengalaman
membangun Mojok adalah pengalaman di usia duapuluhan yang saya tidak akan
pernah rela menukarnya dengan pekerjaan idaman yang
orang-bersedia-membunuh-untuk-mendapatkannya mana pun.
Bekerja
di Mojok bagi saya adalah mematuhi wejangan Kiai di pesantren. Suatu kali Pak
Kiai pernah bilang yang kira-kira begini: di awal usia bekerja, usia
duapuluhan, sebaiknya kamu tidak bekerja di mesin besar seperti perusahaan
multinasional atau negara, bekerjalah di perusahaan kecil, kalau bisa bangun
sendiri, sehingga kamu tahu semua seluk-beluk pekerjaanmu, alif hatta ya, a
sampai z. Sungguh Kiai saya visoner dan
pandai sekali membaca zaman, ia mengucapkan itu bahkan jauh sebelum startup-startup
bermunculan—yang sekarang jumlahnya melebihi twit yang pernah dihasilkan Dony
Iswara.
Mojok
mirip sekali dengan pesantren saya Pondok Pabelan. Keduanya sama-sama lahir 28
Agustus, dan saya banyak belajar di sana.
Di
Mojok saya mulai benar-benar menyadari bahwa perubahan di dunia ini cepat sekali,
bukan hanya di bidang pekerjaanmu, tetapi semua hal yang mempengaruhi
pekerjaanmu, juga semua hal yang tidak mempengaruhi langsung pekerjaan dan
hidupmu. Kau senantiasa harus membuka mata dan menyesuaikan diri dengan segera.
Ya, semua karena internet. Internet asu buntung, internet babi blangsak,
internet yang melahirkan spesies bernama netizen, internetku kampusku,
internetku istanaku.
Di
Mojok kami memindai pelbagai perubahan cepat itu dengan santai sambil
ngopi-ngopi. Perubahan algoritma Google dan Facebook dan Twitter, kenaikan
media sosial baru bernama Instagram, kemunculan Snapchat, bagaimana seseorang
atau kumpulan orang atau perusahaan atau merek meresponsnya, bagaimana bila strategi
a diterapkan pada situasi b, bagaimana media di Amerika mengantisipasi
penemuan-penemuan teknologi baru, bagaimana perusahaan-perusahaan media tua di
Indonesia bisa bertahan, apa yang bisa membuat mereka bertahan, strategi apa
yang harus mereka tempuh menghadapi sekian tantangan baru, langkah apa saja
yang akan ditempuh konglomerasi tua dan mapan di Indonesia untuk menyongsong
meledaknya industry digital, marketplace mana saja yang bisa berkembang, apa
pengaruh pertumbuhan marketplace itu dalam kehidupan sosial masyarakat kita, untuk
apa big data, apa lagi yang harus dilakukan Jokowi untuk mempertahankan
eksistensinya di dunia daring, apa yang harus dilakukan Prabowo untuk menang di
pilpres berikutnya, parfum apa yang sebaiknya dipakai Windu Jusuf dan Dedik
Priyanto, apa yang harus Beni Satryo lakukan agar bisa melampaui Joko Pinurbo, mengapa
Arman Dhani laris manis di Twtter tapi tidak di Facebook, mengapa Dea Anugrah
tidak menjadi artis Korea saja, karier apa yang pas buat Iqbal Aji Daryono
setelah ia pulang dari Australia, jurus apa yang harus Bilven Sandalista
pelajari untuk mengalahkan Goenawan Mohamad Magnus Carlsen, dan masih
banyak lagi. Padahal konten Mojok hanya satu dalam sehari. Kalau
dipikir-dipikir, kayaknya waktu itu kami memang terlalu serius. Rapat tahunan
saja kami sampai menginap di sebuah resort di Pantai Indrayanti.
Sebenarnya
saya tidak mau berandai-andai lagi, tapi saya kira pengandaian berikut ini
perlu. Kalau bukan karena pengalaman saya di Mojok, saya tidak akan bisa
melakukan apa yang saya lakukan di Tirto dan tempat-tempat lain saya bekerja
setelahnya.
Berkat
pengalaman di Mojok, setelah tidak lagi menjadi penulis saja, saya jadi tahu
apa yang harus saya lakukan dengan media sosial Tirto. Bagaimana membangun
merek, bagaimana mengembangkan model konten, bagaimana menjangkau audiens yang
lebih luas, bagaimana mencoba-coba strategi baru, dan yang paling penting:
bagaimana merespons bagaimanapun perubahan mutakhir.
Karena
pengalaman bekerja di Mojok yang menyenangkan dan patut disyukuri itu pula,
saya adalah salah satu netizen yang sedih sekali ketika Puthut EA, Prima
Sulistya, dan Agus Mulyadi mengumumkan Mojok ditutup. Untungnya, di tempat saya
bekerja saat itu, Tirto, ada banyak netizen lain yang berduka dan belum bisa
menerima, termasuk para atasannya, sehingga mereka dengan senang hati
mengulurkan tangan menawarkan kerja sama agar Mojok bisa terus menyapa para
pembaca setianya.
Lalu
Mojok lahir kembali dengan wajah baru, semangat baru, tujuan-tujuan baru,
hingga bisa berkembang seperti sekarang. Saya senang sekali bisa kembali ke
Mojok, dikhlaskan kantor Tirto Jakarta untuk sementara bertugas meletakkan
pondasi-pondasi penting Mojok yang baru di Yogyakarta. Sekali lagi saya mudik
ke pekerjaan impian saya, bersama tim baru yang luar biasa. Selain Prima dan
Agus, dan Aditya Rizki yang setia menjaga gawang situs web, ada Ega yang
menancapkan tonggak visual baru Mojok, ada Ali Ma’ruf yang menegaskan
eksistensi Mojok di YouTube dan Instagram, ada Audian Laili yang memperbaharui
sistem kerja keredaksian dan memastikan segalanya berjalan di atas rel, ada
Dyah Permatasari yang telaten mengurusi keuangan dan keperluan kantor, dan yang
belakangan datang dan menciptakan persona yang kuat bagi Mojok di semua
platform media sosial: yang satu dan satu-satunya Dony Iswara.
Ada
banyak cerita mengenai proses kelahiran kembali Mojok, tapi saya tidak akan
membukanya di sini. Selain karena begitu banyak rahasia resep dapur kami, dan deadline dari Nial FC yang mepet,
beberapa teman pasti sudah menuliskannya di bagian lain buku ini. Paragraf ini
pun seharusnya tidak ada. Saya mengada-adakannya hanya untuk memenuhi nafsu
buas Nial FC agar saya menulis hingga 1500 kata. Lagipula saya pribadi
introver. Dengan kata lain, saya tidak mudah membuka mulut atau mengetikkan
sesuatu kalau tarifnya belum cocok.
Setelah
tiga bulan melihat dari dekat proses yang dilalui teman-teman untuk membangun
merek Mojok yang baru, setelah melalui satu kali puasa satu kali lebaran, saya
kembali ke Jakarta. Sekali lagi saya senang sekali mengikuti perkembangan Mojok
dari jauh, kembali menjadi pembaca setia Mojok, mengagumi pencapaian demi
pencapaian yang berhasil diraih tim di bawah komando Prima dan kemudian Agus.
Dari jauh saya juga bersaksi betapa kehadiran awak baru membuat Mojok semakin
berwarna: Yamadipati Seno dengan ciamik memoles naskah-naskah olahraga dan gaya
hidup, Ahmad Khadafi alias Ustaz Daffy Al-Jugjawi yang Savvy berhasil memastikan konten-konten berbau agama tersaji dengan
segar seperti baru keluar dari kulkas, Azka Maula membawa ingredien kegaringan
sebagai pengingat bahwa untuk menjadi lucu tidak perlu harus mengeluarkan
terlalu banyak upaya, Rean Aqila memberi sentuhan agar visual Mojok tidak
terlalu berkumis, Nial FC yang konon dengan penuh gaya menggantikan tugas
Audian Laili yang jadi redaktur, juga anak-anak magang yang tidak bisa saya
sebutkan satu per satu dan beberapa di antara mereka bisa kita tonton aksinya
di kanal YouTube Mojok.
Dengan
komposisi ajaib itu, Mojok melesat sebagai media yang tidak lagi bisa dipandang
sebelah mata oleh siapa pun mengikuti skena media digital di Indonesia. Saya
tentu senang dan berbangga hati menjadi bagian darinya.
Di
ulang tahun kelima, Mojok telah berhasil menggaet generasi pembaca baru yang
dulu belum bisa kami bayangkan utuh seperti apa karakter, perilaku, dan
kecenderungannya. Begitulah, segalanya berubah demikian cepat. Dasar internet
tapir bunting, internetmu akhiratmu, internet mbahmu salto sampai Meksiko. Akan
datang lagi gerombolan pembaca baru yang harus dipahami Mojok—serta media-media
lain yang ingin terus bertahan, apa mau mereka, juga perubahan-perubahan lain
yang mesti kita petakan secara seksama.
Selamat
ulang tahun, Mojok. Sudah siap jadi media raksasa, belum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar