15.9.20

Berkenalan dengan Nabi Musa dan Para Pengumpul Rumput Purun

 


KAU tak akan tahu siapa aku sebelum membaca buku berjudul Petualangan Tom Sawyer; tapi itu bukan masalah. Buku itu bikinan Pak Mark Twain, dan dia menceritakan yang sebenarnya, sebagian besar. Ada beberapa hal yang dilebih-lebihkannya, tapi sebagian besar dia menceritakan yang sebenarnya. Tidak apa-apa. Tak pernah kutemui seorang yang tak pernah berbohong barang sekali dua kali, kecuali Bibi Polly, atau Nyonya Janda, atau mungkin juga Mary. Bibi Polly—Bibi Tom—dan Mary, dan Nyonya Janda Douglas, semuanya diceritakan dalam buku itu, sebuah buku kisah nyata, dengan beberapa bualan, seperti kubilang tadi.

Beginilah akhir ceritanya: Tom dan aku menemukan uang yang disembunyikan para perampok di dalam gua, kami jadi kaya raya. Masing-masing kami mendapat enam ribu dolar uang emas. Aneh sekali kelihatannya uang sebanyak itu bertumpuk. Nah, Hakim Thatcher menyimpankan uang itu di bank sehingga berbunga, dan masing-masing kami mendapat satu dolar setiap hari sepanjang tahun—jumlah yang cukup membuatku bingung mau belanja apa. Nyonya Janda mengambilku sebagai anak, dan dia diperintahkan pengadilan mendidikku menjadi orang baik-baik; tapi sungguh tak menyenangkan terus-terusan tinggal di rumahnya, dengan segala peraturan ketat dan mengesalkan; akhirnya aku tak tahan lagi dan suatu hari aku melarikan diri. Aku kembali memakai baju compang-campingku, tidur di tong-tong kosong lagi, merasa puas dan bebas. Tapi Tom Sawyer memburu dan menemukanku dan berkata dia akan mendirikan kawanan perampok, dan aku boleh bergabung jika aku kembali ke rumah Nyonya Janda dan menjadi orang baik-baik. Apa boleh buat, terpaksa aku pulang. 

Nyonya Janda menangisiku, menyebutku domba hilang yang malang, dan banyak lagi sebutan lainnya, tapi maksudnya bukan menghina. Dia memakaikanku baju-baju baru lagi, dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain berkeringat dan terus berkeringat, dan sekujur tubuhku terasa kaku. Nah, mulailah lagu lama. Nyonya Janda membunyikan lonceng tanda makan, dan kau harus ke meja tepat waktu. Sesampai di meja makan kau tak bisa segera bersantap, kau harus menunggu sampai Nyonya Janda selesai menundukkan kepala dan bersungut-sungut kecil di atas makanannya, padahal tak ada yang kurang dari hidangan itu—maksudku, memang tak ada yang masak dengan sendirinya; kalau barang-barang dalam tong rongsokan, itu baru berbeda, semuanya bercampur, saripatinya semacam saling bertukar, dan semuanya jadi lebih bagus.

Habis makan malam, Nyonya Janda mengeluarkan bukunya dan membacakan kisah Nabi Musa dan Para Pengumpul Rumput Purun, dan aku sangat penasaran ingin tahu semua kisahnya, penuh perhatian aku mendengarkan; tapi ketika akhirnya Nyonya Janda membeberkan bahwa Nabi Musa itu sudah mati sejak lama sekali, hilanglah perhatianku, karena aku tak peduli orang mati.

Setelah itu aku ingin sekali merokok, kukatakan kepada Nyonya Janda. Nyonya Janda tak mengizinkan. Katanya merokok adalah kebiasaan buruk dan tidak sehat, dan aku harus berusaha menghindarinya. Memang begitulah sebagian orang. Mereka memburuk-burukkan sesuatu yang mereka tidak tahu-menahu. Di sini Nyonya Janda meributkan soal Nabi Musa, yang bukan sanak saudaranya, dan tak ada gunanya lagi bagi orang lain, karena telah lama tiada, kautahu, tapi Nyonya Janda masih bisa-bisanya melarangku melakukan sesuatu yang berguna bagiku. Dan dia juga punya kebiasaan mengisap tembakau cium; tentu saja itu bukan masalah, karena dia melakukannya untuk dirinya sendiri.

Saudara Nyonya Janda, Nona Watson, seorang perawan tua yang lumayan kurus dan berkacamata, baru saja ikut tinggal bersamanya, sekarang menyiksaku dengan pelajaran mengeja. Sejam aku harus menderita sebelum Nyonya Janda menyuruhnya memberiku sedikit kelonggaran. Aku betul-betul tak tahan. Sejam terasa sangat membosankan, aku jadi gelisah. Nona Watson menegurku, “Jangan taruh kakimu di situ, Huckleberry!” dan “Jangan duduk membungkuk seperti itu, Huckleberry—duduklah tegak-tegak!” tak lama kemudian, “Jangan menguap dan menggeliat seperti itu, Huckleberry—mengapa kau tak bisa bersikap sopan?” Kemudian dia bercerita tentang neraka, dan aku berkata betapa senangnya bila aku berada di sana. Nona Watson marah, padahal aku cuma bercanda. Aku hanya ingin pergi; tak peduli ke mana asal bisa lepas dari cengkeraman Nona Watson. Nona Watson berkata aku berdosa karena mengatakan itu tadi; dan diupah berapa pun dia sendiri tak akan sudi mengucapkannya; dia akan hidup baik-baik supaya bisa masuk surga. Yah, kulihat tak ada untungnya juga pergi ke surga bersamanya, jadi kuputuskan aku tak mau ikut-ikutan. Tentu saja itu tak kukatakan, bisa berabe nanti.

Agaknya karena aku terdiam, Nona Watson mengira aku betul-betul memperhatikannya. Panjang lebar ia bercerita tentang surga. Dia berkata bahwa di sana tak ada yang harus dikerjakan kecuali mondar-mandir memetik kecapi dan menyanyi sepanjang hari, selama-lamanya. Ini malah membuatku semakin tak tertarik pergi ke surga, tapi tak kuucapkan. Aku bertanya apakah kira-kira Tom Sawyer bisa masuk surga, Nona Watson berkata itu tak mungkin terjadi. Aku gembira, karena aku ingin Tom dan aku selalu bersama.

Masih lama lagi Nona Watson menyiksaku dengan pelajarannya, sampai tiba saatnya mengumpulkan seluruh budak negro di rumah itu untuk doa bersama, dan kemudian semua orang harus tidur.

Aku naik ke kamarku dengan membawa sebatang lilin, dan kutaruh lilin itu di meja. Kemudian aku duduk di kursi dekat jendela, mencoba memikirkan sesuatu yang menyenangkan, tapi tak berhasil. Aku merasa begitu kesepian sampai-sampai kupikir lebih baik mati saja. Bintang-bintang gemerlapan, dan daun-daun di hutan berdesau-desau menyedihkan; dan kudengar seekor burung hantu, di kejauhan, bernyanyi tentang seorang yang telah mati, seekor burung cabak iblis dan seekor anjing menangisi seseorang yang akan mati; dan angin mencoba membisikkan sesuatu kepadaku, sesuatu yang sama sekali tak bisa kupahami, hingga membuat seluruh tubuhku menggigil. Jauh di dalam hutan kudengar jenis suara yang biasa hantu keluarkan ketika dia ingin menyatakan sesuatu tapi sadar bahwa itu tak akan dimengerti manusia, hingga dia menjadi gelisah di dalam kuburnya, dan terpaksa tiap malam tersedu-sedan. Semua suara itu membuatku takut dan ngeri dan berharap ada yang menemani. Seekor laba-laba merambati bahuku, kujentikkan hingga laba-laba itu terlempar ke api lilin; sebelum aku bisa berbuat apa-apa, binatang itu sudah mati hangus. Astaga, pertanda buruk! Takutku menjadi-jadi, kukibaskan bajuku. Aku beranjak dan berjalan berputar-putar tiga kali dan setiap putaran kubuatkan tanda silang di dada; dan kuikat sedikit rambutku dengan benang untuk mengusir roh jahat. Namun aku tak terlalu yakin. Itu penolak bala jika kau kehilangan sepatu kuda yang kautemukan di jalan, yang seharusnya kaupakukan di atas pintu, tapi aku belum pernah mendengar itu juga bisa mencegah mara bahaya gara-gara membunuh seekor laba-laba.

Aku duduk lagi, gemetar seluruh tubuhku, kukeluarkan pipaku; kini rumah sunyi senyap, jadi Nyonya Janda tak akan tahu aku merokok. Lama sekali sampai kemudian kudengar lonceng kota berbunyi teng-teng-teng dua belas kali; setelah itu sunyi lagi, jauh lebih sunyi daripada tadi. Tapi, segera kudengar suara dahan patah di kegelapan—di antara semak-semak itu, ada sesuatu yang bergerak. Aku menahan napas dan mendengarkan. Saat itulah kudengar suara, sangat perlahan, “Meeeonggg! Meeeonggg!” di bawah sana. Super sekali! Aku menjawab “Meeeonggg! Meeeoonggg!” selembut mungkin. Kumatikan lilin dan aku naik ke luar jendela, merangkak di atas atap menuju gudang kayu dan dari sana meluncur ke tanah, lalu aku merangkak di semak-semak, dan, benar saja, di sana kudapati Tom Sawyer sedang menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar