8.12.12

Biografi Ingatan Saya tentang Ahmad Makki

Selamat menempuh hidup baru, Kak Nina dan Bang Makki.

Pada satu siang yang terik. Ratusan mahasiswa pawai berkeliling kampus UIN Jakarta. Hari ini adalah puncak rangkaian kampanye Partai Persatuan Mahasiswa, partai mahasiswa yang konon terbesar di kampus. Saya ada di barisan itu.


Kampanye mengalami reduksi arti dalam nalar banyak orang di negeri ini. Dikiranya, kampanye melulu politik praktis atau dilakukan partai politik demi meraup suara. Padahal kampanye punya makna yang jauh lebih luas, semisal kampanye selamatkan lingkungan hidup, kampanye pluralisme dan lain-lain. Sampai-sampai, banyak yang lebih memilih menggunakan kata Inggrisnya: "campaign," untuk menonjolkan makna positif. Ah, sudahlah.

Sebagai umumnya kampanye politik, kampanye ala mahasiswa ini juga meneriakkan slogan-slogan dan nyanyian. Siapa nyana disana saya akan mengenal Ahmad Makki?

Ya, saya menonton Bang Makki bernyanyi berteriak-berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Bayangkan saja; badannya tinggi-besar, menyanyi seperti Giant dalam serial kartun Doraemon. Kesan saya, orang ini bernyanyi seperti Bagus Netral minus bermain bass dan berambut belah-tengah. Lagu yang dinyanyikan berjudul 'Bandung', lagu kuncian anak-anak PPM. Jauh dari indah. Tapi saya beserta ratusan orang di sana, menari dan melompat-lompat mengikuti irama. Hanyut. Dan gembira.

**********

Ada waktu saya rutin mengunjungi sebuah warnet di bilangan Kertamukti. Biasanya malam. Disana, dalam banyak kesempatan, Bang Makki sedang sibuk di depan laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya. Sebagai junior di organisasi, canggung juga rasanya untuk menyapa. Tapi sesekali saya beranikan diri. Hasilnya, respons secukupnya.

"Bang..."
"Yuk!"
"Nge-net dulu."
"Mantap."

"Duluan, Bang..."
"Yak, ati-ati!"

Makin ke sini makin kenal dengan Bang Makki. Ia punya semua syarat menjadi teman nongkrong yang baik. Wawasannya luas. Bisa ngobrol apa saja, sepak bola, film sampai ekonomi-politik Internasional. Selera humornya segar. Main gitar dan menyanyinya jauh lebih baik daripada band-band yang belakangan sering tampil di televisi di pagi hari. Jauh dari kesan awal saya bahwa ia menyanyi seperti Giant. Maafkan saya. Kita memang acap salah menilai dengan kesan pertama.

Singkat cerita, sejak 2010 akhir, saya sering nongkrong dengan Bang Makki bersama teman-teman lainnya di Warkop Tampomas, seberang jalan Kampus II UIN Jakata. Di tongkrongan ini, Bang Makki presidennya. Malam ketemu pagi, malam ketemu pagi lagi. Terus begitu. Bang Abah, sempat menganugerahi Bang Makki sebagai salah-satu Pembegadang Pilih Tanding yang pernah di kenalnya.

Tentu banyak hal yang terjadi dan diperbincangkan di Warkop. Dari perkara orang kampung sini yang beberapa kali reseh sampai SBY yang doyan bilang prihatin. Dari tunggakan hutang kami di warkop sampai hutang negara. Dari penderitaan para pengemis dan gembel di Ciputat sampai penderitaan manusia-manusia di belahan bumi lain. Kami bicara dan berbagi apa pun sampai mabuk. Satu hal yang membuat saya akan selalu terkenang masa ini adalah semakin bersemangatnya saya memburu dan melahap buku-buku. Itu karena Bang Makki. Karena perbincangan tentang buku-buku dengan Bang Makki.

Di Ciputat, saya pernah sangat berharap mendapati lingkaran belajar, diskusi dan menulis bersama. Tapi di masa saya kuliah, saya harus kecewa karena tak kunjung menemukannya. Ada kelompok belajar, tapi tak begitu suka berdiskusi dan menulis. Ada grup penulis, tapi miskin diskusi kering kajian. Ada forum diskusi, tapi mandul menulis. Mau tak mau harus ciptakan sendiri. Tongkrongan di Warkop cukup memenuhi harapan.

Dari tongkrongan ini, kami menggelorakan gerakan #KoinSastra di kampus. Ya, kami jadi juru kampanye Koin Sastra. Gerakan untuk menyelematkan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin ini kemudian massif di berbagai tempat. Bang Makki adalah salah-satu penggagas, bersama Bli Putu Fajar Arcana, Daeng Khrisna Pabichara dan Mbak Indah Ariani.

Mulai Juni 2011, saya nge-kos bareng Bang Makki. Ada beberapa lemari buku yang tak cukup menampung koleksinya. Banyak buku terpaksa harus ditumpuk di atas lantai bersandarkan dinding dan beralaskan koran bekas. Tumpukan yang terlihat rapi itu beberapa waktu harus dirombak kembali, karena sering berantakan sehabis buku di bagian bawah diambil. Bahkan beberapa kali tumpukan itu roboh seperti istana pasir di pantai diterjang ombak, persis gedung WTC yang ditabrak teroris 11 September 2001.

Kosan ini diberi nama Macondo oleh Bang Makki. Barangkali lantaran sangat terpesona oleh gambaran Gabriel Garcia Marquez tentang kota imajiner itu dalam novel One Hundred Years of Solitude. Periode awal di Macondo, kami semakin jarang nongkrong di warkop. Periode ini, saya perkirakan membuat omset Tampomas menurun drastis, kehilangan sekumpulan anak muda yang setiap malam menghabiskan bergelas-gelas kopi hitam. Gerombolan kami pindah. Untungnya tak harus menunggu cukup lama, ada banyak gerombolan baru yang menggantikan. Tapi gerombolan itu tak akan pernah sama lagi.

*********

Dari Macondo, saya bisa mencatat beberapa fase perjalanan Bang Makki.

Kami pernah begitu terobsesi membuat majalah mingguan atau bulanan di lingkungan kampus UIN. Karena pertimbangan dan dorongan ideal ini-itu.Tapi dua kali majalah itu dipersiapkan dengan nama berbeda, dua-duanya gagal terbit karena hal ini dan hal itu.

Majalah pertama, bernama Bongkar, slogannya: bukan sekadar slogan. Edisi perdananya kami dedikasikan untuk Gus Dur. Nomor ini memang tak pernah terbit. Tapi, dari berbagai diskusi panjang dengan Bang Makki, bersama Bang Abah dan Bang Abi, saya jadi sangat mengerti betapa besar cinta Bang Makki untuk Gus Dur. Di majalah ini, ia menulis "Biografi Ingatan Saya tentang Gus Dur." Esai tersebut, menurut saya, adalah salah-satu esai terbaik tentang Gus Dur. Saya bahkan berani bilang, esai ini jauh lebih baik dibanding Caping tentang Gus Dur milik Goenawan Mohammad. Entah kenapa, hingga kini Bang Makki belum mau memublikasikannya. Judul esai brilian itu saya comot untuk judul artikel ini.

Majalah kedua? Namanya Medan Muda. Jangan tanya lebih jauh. Saya masih menyimpan obsesi itu di salah-satu laci lemari di Macondo.

Rupa-rupanya, kecintaan Bang Makki akan sesuatu pasti membawanya pada pendalaman yang luar biasa.  Kecintaannya pada Gus Dur, sebagai contoh, membuatnya rela kesana-kemari untuk melengkapi sumber bacaan, belum lagi ngobrol ngalor-ngidul dengan berbagai macam orang mengenai Gus Dur. Saya menyaksikan, berbulan-bulan Bang Makki bergumul dengan segala tentang Gus Dur seakan-akan tiada hal lain yang lebih penting. Begitu gandrung.

Lain waktu, ia pernah begitu bergairah mendalami Mahbub Djunaidi. Bang Abah dan Kak Hafiz adalah dua rekan utamanya yang sangat berbahaya. Komplotan ini bergerak menggeledah Mahbub seperti Para Paisano menikmati hidup di novel Dataran Tortilla-nya John Steinbeck. Sungguh sangat rasional dan meneduhkan hati perilaku mereka. Ketika mereka saling baku-balas-kutipan Mahbub, percayalah, tak ada di dunia ini yang lebih berbahagia daripada mereka bertiga. Setidaknya, dari sini, Bang Makki menghasilkan satu esai seminal: Kata-kata Haji Mahbub yang ditayangkan NU Online. Selain sebuah blog yang ia buat untuk mendokumentasikan esai-esai pendekar pena dari Betawi itu; Pojok Mahbub Djunaidi.

Dari sononya, Bang Makki punya kecintaan luar biasa pada sastra, musik, Bahasa Indonesia, sejarah, kopi, jengkol, film dan sepakbola. Tak pelak kecintaan-kecintaan itu berujung pada pendalamannya yang mengagumkan. Soal Bahasa Indonesia, Bang Makki adalah orang kedua -yang saya kenal- setelah Khrisna Pabichara yang begitu teguh dan gencarnya mengajak khalayak mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia.

Kecintaan Bang Makki pada sastra dan musik bisa dilihat dari usahanya menggawangi blog Anggur Torelli. Pernah beberapa saat ia bekerja untuk Majalah Historia, sehingga kecintaannya pada sejarah lebih teruji. Di sana, ia penah menulis tentang kopi, hal lain yang dicintainya, dengan sangat baik. Soal film, saya tak tahu lagi harus mencari orang mana di Ciputat yang minatnya pada film sebesar Bang Makki. Koleksi filmnya di Macondo sampai sekarang belum semua saya habiskan. Mengenai jengkol, saya kehabisan kata-kata.

Khusus untuk kecintaanya pada sepakbola, beberapa bulan belakangan, Bang Makki sangat antusias mempelajari dengan sabar A sampai Z sepakbola. Dengan tekun ia membaca karya-karya Simon Kuper, Jonathan Wilson, Michael Cox dan penulis-penulis hebat lainnya. Dari hulu sampai hilirnya seperti tak mau ia lewatkan. Kultur, industri hingga detail taktik. Ia tahu semua blog keren tentang sepakbola dan khatam membacanya. Saya tak akan pernah lupa, fase ini Bang Makki semakin jarang tidur di Macondo. Ia banyak tinggal di Cafelosophy untuk lebih banyak membaca dan menulis. Beberapa artikelnya tentang sepakbola pada periode ini pernah diterbitkan Angkringan Warta. Tandem utamanya bicara sepakbola ialah Bang Mahfudh.

Kecintaannya pada sepakbola pula yang membuatnya menggagas sebuah portal sepakbola daring, Sepakbolamania.

Perihal cintanya kepada Kak Nina, saya tidak tahu banyak kecuali beberapa kali Kak Nina bergabung dengan kami nongkrong di Warkop. Saya pun hanya beberapa kali saja berbincang-bincang pendek dengan Kak Nina. Yang jelas, Bang Makki, pemuda Betawi asal Bekasi ini, gaya bicaranya mendadak lembut jika berhadapan dengan Kak Nina. Sangat lembut. Selembut desir angin di kala senja.

4 komentar:

  1. Wuidih.....kayanya klo ente bikin buku biografi Beliau,bisa ngalahin Biografinya Mahbub Djunaidi nich...!!! Congrat Bang Makki...

    BalasHapus
  2. sepakat, ditunggu bukunya mas b4na

    BalasHapus