3.6.13

Bapak

Ia datang dengan kejutan yang tak mengejutkan. Tanpa memberi tahu sebelumnya, Bapak datang menemani Man, adikku, ke Ciputat.


Mulanya Man, yang sama-sekali belum pernah melihat Jakarta, dengan sangat aneh menolak tawaran jemputan di Kampung Rambutan. Hari masih sangat gelap, belum ada angkot yang beroperasi.

Tapi Man bilang dia bisa ke Ciputat sendiri, naik Taksi.

"Nanti ditipu sama sopir taksinya, diputer-puter."

"Nggak, Kak. Nggak apa-apa. Jemput aja depan kampus UIN."

"Emang tau Kampus UIN?"

"Tanya sopir taksinya,"

"Kalo sopir taksinya nggak tau?"

"Udah gak apa-apa. Nanti dikabarin kalo ada apa-apa. Jemput aja depan kampus."

Telepon mati.

Keanehan itu menjadi beralasan karena ternyata ada Bapak di belakang Man. Bapak tertawa terbahak-bahak.

Karena kedatangannya, saya harus pontang-panting membersihkan dan merapikan pondokan. Agar beliau nyaman bermalam disini.

Pakaian yang bertumpuk tak karuan. Buku-buku yang berserakan. Wastafel yang berkarat kopi. Lantai kamar mandi yang mulai kecokelatan. Bak air yang berlumut. Jamban yang ah sudahlah.

Beruntung begitu sampai di pondokan, Bapak langsung istirahat. Saya jadi punya waktu untuk berbenah.

Bapak bangun ketika hari mulai terang dan pondokan telah cukup bersih dan rapi. Bapak langsung mau mandi. Setelah beberapa gedebur air, ia tiba-tiba memanggil dari kamar mandi. Bapak minta dibelikan sabun batangan. Merk apa saja yang penting sabun batangan.

"Sabur cair itu ngapo?"

"Idak beraso."

"Idak beraso cakmano, Pak? Lebih bersih pakai sabun cair itu malah."

"Sudah belikela bae. Lemakla sabun batangan."

Sebagai anak yang berbakti aku bergegas ke warung sebelah pondokan demi memenuhi permintaannya. Setelah beberapa langkah tak urung saya memikirkan perkara ini. Bagaimana mungkin Bapak bisa bilang sabun batangan lebih baik daripada sabun cair, lebih terasa dalam istilahnya.

Dari sini pikiran saya kemana-mana. Bahkan urusan sabun saja telah membentangkan jarak antara bapak dan anak.

*********

Aku merindunya meski tak merindukannya.

Barangkali karena telah sangat terbiasanya jauh darinya. Sejak usia 12 aku mulai menempa diri agar tak cengeng jauh dari rumah. Menjadi cengeng adalah kejahatan bagi seorang lelaki.

Tentu saja sekarang saya telah kebal-rindu, -atau bebal. Tapi aku bahagia bila melihatnya, mendapatinya ada di dekatku. Aku bahagia melihatnya tertidur, melihatnya makan, minum, merokok, sok serius membaca, mengutak-atik angka togel, tertawa.

Bapak datang mengantar Man untuk kuliah. Kuliah dimana saja karena Man sendiri pun belum jelas ingin kuliah dimana. Setelah makan siang, topik obrolan kami semuanya seputar pilihan kuliah untuk Man.

Agak susah memang, Man belum jelas minat dan kehendaknya kemana, kemampuan akademiknya pun tampaknya masih layak diragukan. Bapak dengan sabar memberi arahan untuk masa depannya.

Saya sendiri ingin Man kuliah disini, agar saya bisa memantau perkembangannya dan membantu menyelesaikan  kesulitan-kesulitannya. Saya yakin saya akan bisa banyak membantunya karena saya punya jam terbang kuliah di atas rata-rata. Ya, Anda benar, saya termasuk veteran di kampus. Tentu itu modal yang baik untuk menjadi kakak yang baik, bukan?

Di lain pihak, pilihan untuk kuliah di Yogya sangat menarik hatinya. Selain pertimbangan biaya hidup yang murah, disana ada Aden dan Didit, juga dekat dengan Pabelan, tempat adik kami, Al dan Asep, mondok. Tapi masalahnya, jurusan yang (cukup) diminati Man, hanya ada di Universitas Gajah Mada. Kampus yang rasa-rasanya sukar ditembus olehnya.

Bapak ingin Man hanya kuliah di universitas negeri. Jurusan itu ada di kampus ini, tidak ada di UIN Yogya dan UNY.

Seiring mengalirnya obrolan, pilihan-pilihan lain pun muncul. Di antara sekian itu, kuliah di Bandung adalah pilihan yang sangat memikat bagi Man. Hingga detik ini, belum bulat benar pilihan mana yang akan diambil. Untuk sementara, biarlah dia mengikuti berbagai tes masuk dan berlibur ke Yogya terlebih dahulu.

"Biar melihat luasnya dunia," kata Bapak.

*********

Sore hari, ketika Man sedang berkunjung ke rumah Bi Atik di Pamulang, saya menunjukkan Maritime Magz yang memuat artikel "Pemuda Indonesia ke Laut Aje."

"Ado lagi 'dak, majalahnyo?"

"Wah, 'dak katik caknyo, Pak. Di tempat kawan caknyo ado, kagek kucarike dulu."

"Iyo, kagek di rumah pasti banyak wong yang berebutan nak mbaco. Umak kau pasti ngamuk-ngamuk kalu tempatnyo bepindah-pindah. Kalu ado banyak kan pacak disimpan sikok."

"Iyo, Pak, kagek kucubo carike."

Begitu Man kembali, dengan ceria langsung dipaksanya Man membaca tulisan itu. Begitu sumringah Bapak membahas tulisan itu. Aku tahu beliau senang, beliau bangga.

Tanpa saya inginkan, terlintas pikiran tentang betapa bangganya nanti Bapak bila aku lulus. Dan tentu saja tentang kelulusan itu dijadikan topik obrolan di malam hari. Mumpung bertatap muka.

Telah beberapa waktu Bapak menyampaikan betapa inginnya ia melihat aku diwisuda. Keinginan itu dibumbui dengan cerita betapa banyaknya orang di desa yang mempergunjingkan betapa lamanya saya kuliah. Umak bahkan sampai terbawa mimpi. Dalam mimpi umak, ia dan Bapak di sebuah aula yang besar yang berisi banyak orang bertoga, wisuda. Mimpi itu segera menjadi horor bagi umak karena mereka mencari saya dan tak mereka temukan disana. Mimpi buruk.

Telah berpuluh-puluh kali Bapak menceritakan ulang mimpi itu. Mimpi sialan.

Sebisa mungkin saya mengalihkan pembicaraan agar tak terlalu panjang membahas kelulusan. Saya tanyakan keadaan desa, bagaimana keributan menjelang Pemilukada dan Pilkades, bagaimana rumus menghitung nomor togel dan sebagainya.

Setiap dialihkan, Bapak tetap teguh dan berhasil membelokkan tema menjadi kelulusan. Obrolan tentang desa tentu saja akan dengan mudah dihubungkan pada saya dan dengan demikian mensyaratkan kelulusan.

Aha, saya punya ide cemerlang. Bapak adalah pemuja cerita silat. Saya ingat, waktu saya kecil Bapak sering menghabiskan waktu melahap berjilid-jilid novel Wiro Sableng di rumah. Kadang di atas kursi depan rumah, kadang sambil berbaring di dipan. Obrolan tentang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan jauh dari urusan pribadi. 

"Bapak galak, 'dak, kubelike novel Wiro Sableng? Ado toko buku bekas yang jual murah"

"Ah, idak ah. La khatam galo."

"Iyo idak apo-apo, kalu lagi ada waktu luang bae pulok baconyo. Jadila buat hiburan."

"Idak ah. Bapak sekarang la malas mbaco. Lemakla nonton tipi tu la. Raden Kian Santang bagus. Sekarang ado Gajah Mada pulo yang baru."

Mendadak Bapak ingat serial televisi kesayangannya dan segera menyalakan televisi. Benar saja, sinetron silat yang bagi saya aneh dan berlebihan itu sedang tayang. Bapak begitu khusyu' menikmatinya.

Jarak lain terbentang lagi antara saya dan Bapak. Dari sabun mandi hingga selera tontonan.

Tidak jarang, saya ingin sekali segera melepas beban kuliah dan tak perlu lagi memikirkan soal kelulusan. Saya percaya saya bisa mencapai apa yang saya inginkan tanpa gelar sarjana.

Tapi ketika menonton Bapak yang sedang menonton, saya sadar sepenuhnya bahwa saya terlalu pengecut untuk mengecewakan Bapak.

1 komentar:

  1. Apakah Anda perlu 100% Loan? Saya dapat melayani kebutuhan keuangan Anda dengan lebih sedikit masalah pengembalian itu sebabnya kami mendanai Anda untuk hanya 2%. apapun Anda situasi, wiraswasta, pensiunan, memiliki peringkat kredit yang buruk, kami dapat membantu. pembayaran yang fleksibel lebih 3 sampai 20 years.Contact eveylnharrisonloancompany@gmail.com yang Anda mencari pinjaman jangka panjang atau pendek

    1 Nama Lengkap: ............................
    2 Kontak Alamat: .......................
    3 Jumlah Pinjaman: ....................
    4. Durasi Pinjaman ...................
    5. Nomor Telepon Langsung: .................

    Salam,
    Ibu Evelyn

    BalasHapus