24.1.14

Gaus

Saya baru bangun tidur. Tiba-tiba saja kepikiran untuk iseng setelah mengucek-ucek mata menguap dan meregangkan badan. Pagi ini tentu akan seru kalau melakukan hal-hal menyenangkan yang tak harus penting seperti garuk biji menonton ibu-ibu senam pagi dan membuat catatan tentang Ahmad Gaus. Penting di sini maksudnya kegiatan yang kalau saya lakukan bisa membuat langit runtuh dan bumi terbelah atau minimal membuat SBY datang berkunjung lalu difoto Bu Ani kemudian diunggah di akun instagram ibu negara paling nge-hit sedunia itu. Bagaimana tidak nge-hit? Oh iya, maaf lupa, saya mau menulis tentang Ahmad gaus, bukan Bu Ani walaupun saya masih terobsesi menonton konser tunggal Bu Ani senam. Pasti sensasinya jauh melampaui sekaligus membungi-hanguskan kenikmatan tontonan senam depan pondokan saya yang dihelat oleh seorang caleg wanita lokal. Para pengendus kursi legislatif jaman sekarang memang kreatif-kreatif ya. Ada-ada saja terobosannya. Ada yang... wah, saya ngelantur lagi. Begini.
Dua hari yang lalu, nama Gaus bersliweran di linimasa twitter. Saya sudah kenal nama itu cukup lama, karena saya pernah mendengar beberapa teman saya yang HMI membicarakan bukunya, Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visoner. Saya cukup tahu bahwa dia tidak berhubungan dengan Daus Mini. Namanya Gaus, bukan Daus. Catat itu, Kisanak! Teman-teman saya, para aktivis HMI yang berdarah panas penuh gelora menguasai Indonesia dan dunia itu, dengan gampang naik-turun otot lehernya begitu mendapati kata api, Islam, visioner dan yang mulia Nurcholis Majid di judul buku Gaus. Dengan segera buku itu mereka anggap sebagai karya luar biasa tiada tara tanpa diskon tak perlu diragukan lagi. Dalam bahasa yang lebih singkat mereka bilang "keren banget." Sampai sekarang saya belum pernah membaca buku itu. Sumpah. Barangkali memang keren. Dan, sepertinya terlalu berat buat saya yang bukan intelektual ini. Selera membaca saya pun tiba-tiba melorot seperti habis dimarahi Bu Ani begitu mengeja judulnya. Saya menggeleng ketika Ahda, teman saya yang HMI dan sekarang jadi caleg di Ponorogo, menawarkan buku itu. Sangat berbeda ketika Ahda menawarkan satu bundel kumpulan esai Cak Nur yang topik dan judulnya sederhana seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Saya melahap esai-esai itu dengan rakus karena sangat gurih dengan paparan konteks dan argumen yang belum pernah saya dengar sebelumnya di pesantren. Kualitas super deh. Saya tidak perlu berlebihan memberi testimoni tentang kualitas Cak Nur, bukan? Saya rela sunat dua kali agar isi otak saya bisa menyamai atau melampauinya. Wajar jika Gaus sampai menulis buku tentangnya dan menganugerahinya gelar yang peluangnya mampir di kepala SBY sangat kecil: visoner. Nah, gegeran soal Gaus kemarin itu tak berkaitan langsung dengan HMI, Islam, visioner dan Cak Nur. Namun kurang-lebih, ada hubungan dengan api. Api yang berkobar-kobar di dunia sastra Indonesia. Sedddaaap. Adalah Gaus dkk yang menamai diri mereka Tim 8 yang menyulut api itu. Mereka menelurkan buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" yang memicu kontroversi, gosip dan olok-olok tentang masuknya Denny JA di dalam daftar. Barangkali tak perlu dituliskan lebih jauh di sini bagaimana api itu melahap kanan-kiri lalu perlahan-lahan berbalik melahap Gaus dkk. Di luar sana, banyak sekali para pengulas buku itu yang lebih baik. Intinya memang lucu. Denny JA, yang karyanya seperti puisi anak-anak tapi sedikit dibumbui catatan kaki agar punya kesan cerdas dan dewasa, memang punya pengaruh di lingkaran terdekatnya yang kebetulan terdiri dari beberapa orang yang sudah cukup lama malang-melintang di dunia kesusastraan. Pengaruhnya kemudian diperluas oleh orang-orangnya, dengan membuat lomba-lomba mengikuti gayanya, menyewa seorang sineas terkemuka untuk membuat film berdasarkan bukunya. Luar biasa. Pengaruh buatan itulah yang kemudian disandingkan dengan pengaruh alami yang dimiliki 32 nama lain. Saya terus terang tertawa ketika mendengar namanya diagungkan dalam buku itu. Bukan apa-apa, baru seminggu sebelumnya saya ledek-ledekkan dengan seorang teman; dia bilang belum ada sastrawan besar Indonesia yang lahir dari kota asal saya, Palembang, sembari menyodorkan nama-nama asal daerahnya. Brengsek. Tiba-tiba muncul Denny JA. Tentu sangat menghibur. Untuk merasa terhibur oleh Sule dkk, saya perlu menonton Opera Van Java. Tapi tanpa membaca buku itu, saya telah terpingkal-pingkal dibuat Denny JA. Ini satu tingkat di atas komedi biasa. Hanya manusia-manusia terpilih yang bisa. Tentu saja buku 33 Tokoh Sastra tidak bisa dilihatnya sebagai proyek lucu-lucuan semata, begitu kata AS Laksana. Jelas itu proyek ambisius. Denny JA pernah melakukan hal serupa dengan memasukkan namanya sebagai salah-satu tokoh reformasi. Tidak terlalu ribut, gemanya kecil. Tapi kali ini gemanya cukup besar. Tidak sedikit yang protes dan menuntut pertanggungjawaban terbuka dari tim 8. Alih-alih membuka dialog, eh yang keluar malah postingan blog dari Gaus. Sensasional-spektakuler pula isinya. Merasa kurang dengan apa yang ditulisnya di blog, di twitter ia pun menambahkan “li an takunuu fi shirathil mustaqim.” (agar kalian berada di jalan yang lurus) Seketika saya menggumam,”ainuka!” (umpatan yang tidak dikenal di jazirah Arab, tapi dikenal di dunia pesantren, yang artinya “matamu!”) jalan lurus yang dimaksud Gaus adalah jalan martir untuk Denny JA yang memberinya nafkah. Sejauh Gaus tidak mendorong orang lain untuk berada di jalur yang sama, sesungguhnya tak masalah. Tapi Gaus berseru-seru kepada banyak orang bahwa itu rel kebenaran. Dengan argumen yang letoy pula. Alangkah.

Sumber gambar: change.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar