22.1.14

Pemburu vs. Pemburu (Bagian Pertama)

Sebuah tribut untuk Bazar Buku Murah Gramedia Cinere.


Bersama beberapa kawan, Jumat, 17 januari 2014, saya bermain ke Taman Ismail Marzuki. Taman ini indah sekali, banyak bunga kota berkeliaran. Sungguh sedap dipandang mata dan menghangatkan dada. Lebih-lebih musim penghujan dan banjir, kautahu, sedang melanda Jakarta. Kembang urban tentu akan mengalihkan duniamu, seperti kata Afghan.

Setan! Seseorang membubuhkan Afghan di paragraf pertama ketika saya sedang kencing.

Di TIM, kawan-kawan saya begitu bahagia bertemu dengan idola mereka. Idola yang buruk, sebenarnya: para penulis buku yang boleh jadi hanya dikenal oleh tak lebih dari lima persen penduduk Indonesia. Tidak cukup populer untuk jadi caleg. Tak pernah ikut main sinetron atau layar lebar. Belum pernah jadi bintang iklan produk kecap maupun capres. Jarang nongol di acara berita apalagi infotainmen. Lebih sedih lagi, nama-namanya belum tercantum di buku pelajaran Bahasa Indonesia.

Tapi kawan-kawan saya itu pengidola yang teguh, lagi gigih dan tangguh. Mereka memiliki semacam perasaan menjadi keren karena idola mereka bukan pujaan pasaran. Bukan sembarang pujaan. Pujaan sesejati-sejatinya pujaan. Alasannya apa, tentu kurang elok membeberkan rahasia para sahabat karib saya di sini. Lagipula bukan maksud tulisan ini membocorkannya.

Selesai acara Anugerah Kritik Sastra DKJ dan penampilan Band Float, hujan mulai turun. Beberapa saat kami bercengkerama di depan Teater Kecil, mencoba sok akrab dengan beberapa penulis yang kami kagumi sambil menunggu reda hujan. Apa mau dikata, hujan malam itu begitu kolokan. Sebentar berhenti, sejurus kemudian ambyar lagi. Mulai sepi. Kami lalu menyeberang ke Toko Buku Jose Rizal. Di depan pintunya, sedang berdiri Bandung Mawardi. Langsung kami salami dan ajak ngobrol ini-itu. Haha-hihi sampai cukup lama sampai kami sadar hujan malam ini tak bisa diajak kompromi. Kami menerobos gerimis.

Teman saya, seorang jomblo budiman, mengantar Mas Bandung ke hotel tempatnya menginap. Ketika kami mengatur rencana untuk mengisi perut, air dari langit tumpah lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Kami langsung menarik gas untuk ke pom bensin terdekat. Zakky dan Adi melaju. Saya yang dibonceng Ahsan, memutuskan singgah dan berteduh di Seven Eleven Cikini, meghindari basah yang lebih kuyup, begitu pula si jomblo budiman.

Malang bagi jomblo budiman, setelah menghangatkan badan dengan mie instan, beberapa potong roti dan segelas kopi, matanya tertumbuk pada Grato Café & Bistro, persis di depan tempat duduknya. Tatapannya mulai nanar, pikirannya mengembara ke rimba entah. Saya dan Ahsan sempat prihatin oleh raut mukanya. Selang beberapa menit, ia membuka mulut.

“Di tempat itu gua pertama kali ngobrol panjang sama X.”

Kami mengangguk, mencoba memasang wajah bersimpati. Dalam hati, saya bersorak-gubrak: yaelah, bro.

Tak ada keterangan lanjutan. Jomblo budiman kita kemudian membuka laptop, mencoba menuliskan sesuatu. Saya memutuskan keluar agar bisa merokok. Sengaja memilih tempat duduk yang bisa memantau perkembangan ekspresinya. Khawatir kalau-kalau ia mengamuk dan tiba-tiba berubah jadi harimau, kan repot?

Setelah dua paragraf, jomblo budiman kita memegang kepalanya, meremas rambut bagian kiri atas. Ia terlihat geram, kautahu, oleh entah. Dua paragraf budiman barusan dihapusnya. Ia mulai lagi menulis dari awal dengan bentuk percakapan. Setelah beberapa baris, matanya menerawang seperti hendak menangis.

Hujan mulai menenggelamkan Jalan Cikini. Bahu jalan seperti pinggir kali. Beberapa kendaraan bermotor yang lewat mesinnya mati kemasukan air. Banyak orang mengabarkan air meluap di berbagai titik di Jakarta. Peluang kami untuk segera pulang dalam keadaan kering semakin kecil. Harus menunggu air surut.

Menjelang pagi kami baru pulang ke Ciputat.

***

Saya bangun tidur jam 3 sore. Keluar dari kamar, di ruang depan ada Reval, Udin dan Ahsan sedang bercengkerama tanpa juntrungan tentang status jomblo dan LDR. Biarlah, memang begitu anak muda jaman sekarang. Saya bergabung dengan mereka untuk minum air putih. Tak lama kemudian, Udin ke dapur memasak mie dan menawari kami. Betapa kreatif dan perhatiannya.

Sore yang cukup indah. Halaman depan telah kering. Angin sore menggoyang-goyangkan daun jambu biji, pepaya dan jeruk nipis depan pondokan. Sementara memanaskan air untuk kopi, bungkus-bungkus plastik yang berserakan saya sapu dan buang ke kotak sampah. Setelah beres, ruang depan jadi lebih sedap dipandang. Jendela dan gorden saya buka agar udara segar masuk. Adem sekali. Udin pun datang dengan semangkok mie telor.

Berihitam saya berbunyi, sendokan mie yang sempat terangkat jatuh lagi ke mangkok. Pesan dari Zakky Zulhazmi. Tumben. Barangkali ada sesuatu yang urgen, segera saya baca.

“Ada surga di Cinere Mall. Segera kunjungi. Hehe,” katanya via BBM. Benar-benar darurat.

“Dapet apa aja?”

“Wah banyak. Cek aja sendiri,”

“Oke, abis maghrib ke sana. Dapet apa aja?”

Cantik Itu luka, Burung-burung Cakrawala, Manjali Cakrabirawa, Lalita, 1Q84 dan lain-lain. Semua 34 buku. Rata-rata 10 ribu.”

Asu buntung!

“Ini hari pertama. Masih seger-seger.”

Taek. Saya risau tak alang kepalang. Bazar buku selalu untung-untungan. Lain ladang lain belalang, lain tangan lain peruntungan. Saya tak tahu apakah masih akan kebagian atau kehabisan. Pengalaman di Bintaro Plaza akhir tahun kemarin menunjukkan itu, Jomblo Budiman dan Zakky menang banyak sedangkan saya gigit jari karena ketinggalan. Ahsan langsung saya ajak berangkat. Reval dan Udin mau ikutan. Setelah mie habis, kami siap-siap berburu.

Karena jalan berombongan, persiapan jadi ribet bukan main. Reval harus pulang ke indekosnya terlebih dahulu untuk mandi, berganti pakaian, coli dan lain-lain. Makan waktu. Saya hanya bisa bersungut-sungut menunggu. Memikirkan ketertinggalan, kekesalan saya pada Zakky semakin memuncak. Setelah puas dan bahagia dengan hasil buruannya, baru dia beritahukan khalayak tentang hutan terlarang itu. Brengsek sekali.

Hari mulai gelap ketika akhirnya kami meninggalkan Ciputat. Menelusuri jalan perkampungan di belakang Pondok Cabe, kami melalui gang-gang sempit. Di beberapa tempat, terlihat pohon rambutan yang buahnya mulai memerah. Terlihat ranum. Menggoda iman untuk sejenak berhenti memetik beberapa biji dan menikmati. Tapi iman saya cukup teguh. Saya kuatkan tekad: tujuan kami adalah Cinere, berburu buku. Buku yang tidak akan habis dalam sekali comot. Buku yang boleh dibilang akan abadi, bisa dinikmati oleh anak-cucu nanti. Bukan mencuri rambutan yang, lewat dari tenggorokan, rasa manisnya cepat hilang.

Sampai di tenda bazar, Adi, rekan kosan Zakky di Lembah Bunin, sedang membolak-balikkan tumpukan buku. Wajahnya sumringah dan memancarkan kemenangan, seolah mengatakan “kalian terlambat” kepada kami yang baru datang. Menyebalkan. Tapi Adi rupanya masih menyisakan kebaikan hati. Dia menawarkan 1Q84 jilid 2 karya Murakami yang diperolehnya dua, tapi segera saya tolak, karena tak melihat jilid 1-nya. Biar saya berburu sendiri, mengobrak-abrik tenda ini. Hari berikutnya saya baru tahu, buku itu kemudian dibarternya dengan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan milik Zakky.

Anda tahu berapa novel Cantik Itu Luka yang digondol Zakky dari Cinere? Tiga buku. Tiga! Tanpa menyisakan belas kasihan untuk para pencari setelahnya. Bejat, sangat bejat. Tidak bisa tidak saya memendam dendam kepadanya. Mulai hari itu, saya bersumpah akan memenangkan perlombaan ini. Tidak apa saya menyimpan sifat buruk. Saya memang mudah iri, dengki dan dendam dalam urusan buku.

Untuk sementara, saya cukup puas dengan mangsa yang saya tangkap. Tidak buruk. Dua puluh dua buku pilihan. Sebagian besar fiksi, beberapa non-fiksi. Saya tak perlu menyebutkan judul-judulnya, bukan? Sebagai gantinya, nanti akan saya pampangkan judul-judul buku yang dibeli Reval. Ahsan yang seleranya tak jauh beda dari saya, memboyong beberapa novel karya Paulo Coelho, Ayu Utami dan cerita-cerita anak. Ia kalap dan sepertinya melupakan rencana liburannya ke Bandung. Tanpa perhitungan yang cermat, uangnya dihabiskan untuk nafsu bukunya. Udin membeli beberapa buku untuk persiapan skripsinya: statistik, teori-teori sosiologi, tentang budaya massa dan lain sebagainya.

Reval sungguh membuat saya terpana. Malam itu ia terlihat amat ajaib. Belum pernah sebelumnya saya menyaksikan dia membeli buku sebanyak itu. Ia semakin ajaib di mata saya karena pilihan buku-bukunya. Saya berdecak kagum. Berikut judul-judul yang dibelinya: Rest in Peace Advertising: Killed by the Power of Mouth Marketing; Step Business Plan: Langkah Mudah untuk Memulai dan Memperbaiki Rencana Usaha; 77 Aplikasi Dahsyat Bisnis Online; Cara Mudah Membuat Template Blogger; Advanced Strategic Management: Back to Basic Approach; The 12 Factors of Business Succes: Kenali, Kembangkan dan Gali Kekuatan Anda; IT Ergonomics: Menjadi Sehat dan Produktif dalam Kantor Berbasis Teknologi Informasi; Kiat Jitu Kerja Praktek Membangun Software dan Web; Drucker Difference: Insiprasi Manajemen Terbesar di Dunia bagi Para Pemimpin Bisnis Saat Ini; The Next Evolution of Marketing: Memenangkan Hati Pelanggan dengan Pemasaran Jujur, Bersahabat dan Penuh Makna.

Jangan heran atas pilihannya itu. Reval memang sedang menekuni dua bisnis besar: agen perjalanan wisata dan usaha pakaian. Ia butuh buku-buku itu untuk mengembangkan usahanya. Skripsi di bidang Hubungan Internasional tampaknya hanya menempati ruang sempit di sebuah sudut kepalanya.

Sebelum pulang ke Macondo, pondokan saya, kami makan bebek di Legoso. Bebek yang telah menginvasi Ciputat. Tanpa tanda-tanda alam tertentu, banyak warung bebek mulai berdiri. Harganya terjangkau kantong mahasiswa pula. Seandainya buku-buku menyerang Ciputat dengan cara yang sama tentu akan sangat menyenangkan. Skala besar dan murah. Aih, tanpa perlu diburu, buku-buku berkualitas datang menghampiri. Nikmat betul, tapi tentu saja itu masih khayalan. Kita masih harus berburu. Lokasi berburu sudah ditentukan, tinggal diperlukan kesabaran untuk meraih mangsa terbaik.

Sebagai ungkapan syukur dan dengan maksud berbagi, saya menulis di twitter, “Malam minggu saya luar biasa, memboyong 22 buku bagus hanya dengan Rp. 250 ribu. Malmingmu gimana?” Beberapa teman merespons; menanyakan dimana, bertanya apakah akan saya baca semua? Sesenang hati Zakky memberi tahu setelah puas dengan perburuannya, saya pun kasih tahu tempatnya. Saya sudah akan mulai membaca ketika tiba-tiba ada mention dari Zakky, bunyinya, “dari 22 buku ada itu Cantik Itu Luka dan 1Q84, gak?”

Kita lihat saja nanti. Pertunjukkan masih jauh dari usai.

*** 

"Tumben ada sms," kata seorang jomblo ngenes yang ponselnya lebih menjadi aksesoris ketimbang alat komunikasi.

"Yaaah, dari Indosat," rutuknya kecewa.

Pura-pura tak mendengar monolog itu, saya ketawa terbahak-bahak memelototi buku sambil tiduran. Tentu saja buku yang saya baca bukan kitab lucu-lucuan: Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro. Ini buku seserius 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Sama disusun oleh orang banyak. Bedanya para penulis di buku pertama tidak mengaku sebagai sebuah tim yang mendapatkan mandat dari lembaga tertentu.

Buku kedua, kautahu, dua bulan ini membuat kehebohohan seperti penjaja obat keliling yang buka lapak di pengkolan jalan. Si penjaja terus-menerus ngoceh melalui pengeras suara, sementara orang-orang bergerombol berbisik-bisik tentang obat palsu, obat tipu-tipu, racun atau semacam itu. Tapi si penjaja tak peduli. Ia masih meyakini obatnya obat terbaik di dunia, --paling tidak di kampungnya. Ia terus berbusa-busa meski kata-kata yang keluar dari mikrofonnya makin tak karuan, acak-adut. Belakangan diketahui, lapak itu belum punya izin dari pihak terkait. Salah satu pentolan di belakang penjaja mengundurkan diri dan malah balik turut berbisik di tengah gerombolan. Tentu si penjaja kecewa, tapi ia terlanjur buka lapak. Dagangan yang laku belum seberapa, gunjingan tak sedap kian membabi-buta. Ditambah lagi, tukang gambar kemasan obatnya protes keras gara-gara gambar itu dipakai tanpa pemberitahuan. Skandal jepit!

Ngomong-ngomong, saya agak khawatir juga dicap neolib lantaran membaca buku pertama. Tapi buku ini cukup bagus dalam menghargai kiprah seorang tokoh di masa lalu. Tokoh ekonomi yang sungguhan berpengaruh, dengan kata lain pengaruhnya alami. Bukan tokoh dengan pengaruh buatan. Apalagi ditulis dengan sentuhan personal di sana-sini. Tidak melulu pembicaraan tentang kebijakan besar yang diambil sang tokoh. Jika boleh usul, ini hanya usul yang boleh digubris boleh tidak, barangkali akan keren juga bila kelak Ahmad Gaus menulis buku tebal berjudul Kesan Ahmad Gaus tentang Denny JA.

Setelah cukup lama hening, tenggelam dalam bacaan, tiba-tiba jomblo ngenes kita teriak, “yes!”

“Mas.. Mas! Besok ada stok buku baru datang,” katanya gembira.

“Serius?” saya tanya acuh tak acuh.

“Beneran! Ini aku baru di-sms Pak Ahmad Yani.”

“Ente kok seneng banget? Kayak abis jadian aja.”

Jomblo ngenes kita tertawa, lalu setelah menyeruput kopinya mulai sibuk mengatur rencana. Dia bilang malam ini dia akan tidur di kosannya, yang hanya sepenghisapan rokok putih jika ditempuh dengan jalan kaki dari Macondo, agar besok bisa bangun pagi dan langsung siap tempur. Singkatnya, biar persiapannya sangkil dan mangkus. Terus terang, saya sangat menyangsikan niatnya untuk bangun pagi. Dia makhluk malam yang kurang terpuji. Tapi saya mengangguk atas itikad sucinya.

Benar saja, sejak pukul sepuluh pagi saya hubungi si jomblo ngenes melalui telepon tapi nihil respons. Saya kirim pesan pendek, “San, jadi ke Cinere, gak?” Namanya Ahsan, lengkapnya Muhammad Ahsan Ridhoi. Tak ada balasan. Orang tuanya pasti menyisipkan doa dan berharap segala kebaikan di dunia ini dimilikinya ketika memberi nama yang canggih itu. Namun harapan memang seringkali berkebalikan dari kenyataan. Saya harus pergi ke Cinere seorang diri.

Di Cinere, saya kembali harus menelan kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Stok buku baru yang datang ternyata semuanya komik. Sempat terkulai lemas, tapi daripada tak dapat apa-apa saya menghimpun semangat untuk memeriksa timbunan buku secara seksama dan konsekuen. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, saya mendapat belasan buku non-fiksi menarik. Di antaranya, kumpulan kolom Gus Dur di Kompas mulai awal abad 21, Tahta untuk Rakyat-nya Sultan Hamengkubuwono IX. Lumayan.

Tiba di Macondo, sekitar pukul dua siang, saya disambut cengengesan Ahsan. Dalam hati saya berdoa, semoga dia lekas punya pacar dan perpustakaan pribadi yang lebih besar daripada Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Amin. (Bersambung)

Baca juga: Pemburu vs Pemburu (Bagian Kedua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar