16.12.13

Ihsan

Hari ini saya senang sekali. Beberapa kewajiban yang harus dibereskan telah saya tunaikan. Sementara di Ciputat sana, sahabat karib saya telah memastikan langkahnya menjadi sarjana.

Meski menyesal dan sedih tak bisa menyaksikan langsung sidang skripsinya, saya sangat senang mendengar kabar bahwa ia berhasil menaklukkan para penguji. Saya pikir ia memang pantas mendapatkannya.

Ia hanya terlalu khawatir akan banyak hal sejak lima sampai tiga hari yang lalu. Dalam perjalanan menuju ritual malam kami menyantap Soto Cak Toha, ia yang membawa motor beberapa kali salah tempuh jalan sehingga harus berputar arah. Padalah jarak ke Cak Toha pendek saja. Ia seperti linglung, telalu gugup dan merasa terbebani. Ia juga tak bisa tidur lelap. Sebentar-sebentar terbangun dengan ekspresi ketakutan. Tapi sepertinya itu memang cukup beralasan, ia hanya tak bisa tenang sebelum memastikan semua persiapannya matang: presentasi terbaik, mendaftar kemungkinan pertanyaan tersadis yang akan diajukan berikut antisipasi jawaban terhebat.

Sampai dua hari yang lalu saya harus ke Yogyakarta, saya telah yakin ia pasti mampu, menyarankannya agar lebih relaks dan menghabiskan waktu sendiri di tempat yang tak mungkin dijangkau orang. Ia masih was-was, tapi saya tahu ia bisa mengatasi keadaan dengan baik. Saya telah mengenalnya bertahun-tahun dan tahu betul bagaimana ia mengatasi persoalan-persoalan hidupnya.

Ia seorang kakak yang bertanggung jawab. Setiap bulan mengurusi nyaris semua keperluan ketiga adiknya yang kuliah di Jakarta, Depok dan Bandung. Tak jarang ia harus mondar-mandir ke tiga kota tersebut dan sekali pun tak pernah saya dengar ia mengeluh. Ia lakoni itu semua dengan caranya, yang seringkali lamban tapi tak ada yang kelewatan.

Ia juga seorang pembelajar tangguh. Kami memulai karir kewartawanan bersama-sama pada April 2011. Ia masih sangat culun ketika itu, perkara struktur kalimat yang baik saja masih kelimpungan. Tapi lihatlah sekarang, ia telah melesat sebagai seorang wartawan senior yang disegani.

Lebih dari segalanya, ia orang yang kesetiakawanannya tak bisa diragukan. Ia selalu ada untuk teman-teman. Di masa saya merasakan pahitnya pengkhiatanan oleh beberapa orang, ia salah-satu kawan yang masih kokoh berdiri bersama saya. Tak pernah pergi. Begitulah Ihsan.

Juli 2007, di Wisma Syahida, kami berkenalan. Ia selalu mengulang-ulang peristiwa perkenalan itu di berbagai kesempatan berkumpul dengan kawan-kawan. Perkenalan bodoh.

“Bana,” saya mengulurkan tangan.

Karena melihatnya memiringkan kepalanya ke kanan, saya tambahkan, “Bana. Banana. Gampang diingat, kan?”

Ajaib sekali. Hanya sekali itu saya memperkenalkan diri dengan cara sinting yang hanya bisa didapati di film-film Quentin Tarantino. Sekali saja terjadi, Ihsan yang berjenggot tebal itu mengoloknya berkali-kali. Kapok!

Sejak orok, putra Mandailing ini tinggal di Saudi. Pulang ke Indonesia bisa dihitung jari. Baru setelah duduk di bangku SMA ia menetap di Jakarta, di sebuah pesantren di Ulujami.

Saya pernah tertawa terkekeh-kekeh ketika di awal kuliah ia mengaku seumur hidupnya belum pernah makan nangka. Layak dikasihani. Segera setelah pengakuan dosanya itu, tanpa pikir panjang saya blusukan ke pasar seperti Jokowi demi sepotong nangka. Sebagai seorang humanis, saya kira langkah yang saya ambil sangat tepat; menyelamatkan lidah anak manusia. Bagaimana menurutmu?

Pernah pula ia dengan sepeda motornya nyelonong di jalur cepat kawasan elit Jakarta yang hanya boleh dilalui mobil. Kontan polisi bermotor besar dengan suara berisik mengejar dan menghentikannya. Ia belum memegang kartu sakti wartawan saat itu. Tapi dasar otak bulus, ia bilang baru sehari tiba dari Jeddah dan belum tahu seluk-beluk ibukota sambil menyorongkan paspor dan visanya. Dengan polosnya polisi itu hanya merespons dengan, “selamat datang di Indonesia! Silakan jalan.”

Ya, selamat datang di “Indonesia,” Lae.. Lanjutkan perjalananmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar