Semacam catatan pertanggungjawaban FPKRSENIN, 16 DESEMBER 2013. Ruang utama Klinik Buku EA. Azan subuh telah lewat kumandangnya. Masing-masing orang menghadapi komputer jinjing. Di atas meja, buku-buku berserakan, bungkus-bungkus makanan kecil, rokok dan gelas-gelas minuman tak tertata dibiarkan begitu saja. Beberapa mulut mengepulkan asap. Kotak televisi yang di dinding belakangnya terpampang kain merah bergambar lambang AS Roma masih mengoceh sendiri.
“Jagoanku masih F1112. Soalnya dia yang paling lengkap; dia mengungkap gimana praktek layanan kesehatan di lapangan, dia bercerita dengan sangat baik pengalaman pribadinya mengakali tenaga kesehatan yang bebal dan birokrasi rumah sakit yang ribet. Detail tulisannya rapi. Selain mengkritik dengan halus, dia juga menginspirasi bahwa pasien atau masyarakat sebaiknya berinisiatif sendiri mencari second opinion. Dan yang lebih penting, dia gak ada cacatnya.”
“Iya. Di antara ketiga naskah ini, sebenarnya F402 yang paling kuat. Teknik kepenulisannya paling bagus. Dia nulis dengan gaya esai, beda dengan dua naskah lain. Dari kualitas isi dan pilihan diksi, dia menunjukkan kalau dia paling matang di antara yang lain. Tapi ya itu tadi, apa yang ditulisnya sama dengan kecenderungan beberapa media yang sering menggunakan sumber anonim. Walaupun itu udah jadi rahasia umum, tapi kita tetep butuh verifikasi. Kalau nggak ya nanti jatuhnya hanya sebatas obrolan warung kopi.”
“Aku bisa terima argumen Wisnu soal verifikasi. F402 ini memang di situ kelemahannya. Meski cuma lomba blog, bukan lomba laporan jurnalistik yang ketat, kita tetap harus memverifikasi sumber karena ini akan jadi konsumsi publik. Apalagi naskah-naskah yang juara ini kan mau dibukukan. Oke, bungkus! F1112 juara satu. F402 juara dua. F135 juara tiga. Gimana, Ban, Nu?”
“Sip. Komposisiku juga gitu.”
“Aku kok kurang sepakat je. Aku lebih milih F135 aja yang juara dua. Alasannya, F135 lebih sedikit kelemahannya. Dia memang menggunakan kata “sebut saja,” tapi itu pasiennya sendiri, pengalaman di depan matanya. F402 kan mengunakan sumber “sebut saja” untuk sebuah cerita yang harus diperiksa lagi kebenarannya. Lagipula F135 cuma sekali menggunakan sebut saja. F402 dua kali.”
“Oh, yaudah. Dengan argumen gitu kupikir cukup adil kalo F402 juara tiga.”
“Yowis, gakpopo. Aku juga sepakat. Bungkus!”
Seorang yang merasa paling ganteng di ruangan itu berdiri, mengambil spidol dan menuliskan nomor plat para juara di papan putih. Dengan gaya Tantowi Yahya ia berlagak mengumumkan pemenang. Delapan belas orang menyambut dengan tepuk tangan. Tiga orang juri. Dua orang panitia. Sepuluh malaikat. Dan, tiga lembar setan urban.
Hari mulai terang.
***
DUA JAM SEBELUMNYA. Penentuan juara mengalami deadlock. Gonzalo Higuain membobol gawang Handanovic. Wisnu Prasetya Utomo hampir saja terpelanting dari kursinya. Wajahnya terlihat sangat gusar dan mulai mengumpat, “kampret. Asu, Higuain!” Tak cukup sekali ia mengumpat. Wasit tak luput dari sasaran kemarahannya.
Setiap kami telah menulis lima kode naskah di papan putih. Rata-rata, kami menunjuk naskah berbeda. Hanya dua naskah yang sama-sama kami pilih. Di luar dua itu, satu naskah yang pilihan saya dan Nuran jatuh kepadanya. Selain itu tak ada lagi. Tidak Wisnu dan Nuran. Tidak pula saya dan Wisnu. Ada sepuluh naskah yang harus disaring menjadi tiga besar. Artinya, semakin beraneka ragam preferensi kami, semakin pusing kami menentukan pemenang. Semakin kecil, misalnya lima, akan semakin mudah.
Wisnu mengusulkan agar setiap juri mempresentasikan alasannya memilih lima naskah yang telah ditulisnya. Dimulailah presentasi itu dari Wisnu sendiri, lalu Nuran, kemudian saya. Setiap naskah punya kelebihan dan kekurangannya sendiri yang harus kami timbang.
Setelah presentasi layaknya orang kantoran, terjadilah perdebatan seru seperti di Parlemen Inggris. Makin susah mencapai titik temu.
“Asy.. mumet. Ngetwit sik. Istikharah sik,” ujar Wisnu sambil memutar badan dan kursinya menghadap televisi. Tangan kirinya meraih berihitamnya. Pertarungan Inter Milan melawan Napoli berlangsung seru. Sebagai seorang Interisti, Wisnu pasti merasa punya kewajiban moral untuk menyaksikan timnya berlaga. Kami maklum.
Sebagai anggota tim juri yang baik, saya langsung mengikuti instruksi Wisnu, sang ketua tim. Di twitter saya curhat, “susah juga ya menentukan yang juara.”
Dan sebagai seorang yang religius, instruksi Wisnu untuk salat istikharah bukanlah hal berat bagi saya. Maka saya langsung menunaikannya.
Sementara Nuran Wibisono, seorang bohemian yang sedang dikejar deadline tesis, mulai menggoda Nody Arizona, “Nod, bir dingin enak ‘ki, Nod.” Nody, jomblo yang di twitternya mengaku macan yang pura-pura jadi kucing, begitu gampang tergoda. Lemah sekali imannya. Hanya dalam satu ayunan rayuan gombal Nuran, ia langsung tersenyum bahagia seperti Ikyu-San mendapatkan ilham. Macan lemah.
Sebagai seorang alim, saat itu juga saya mengirim pesan kepada Uni Fahira Idris, pejuang anti-miras kelas hiu. Sayangnya tak berbalas.
Ba’da istikharah, saya langsung membuka twitter lagi. Ternyata akun @PuthutEa membalas apa yang saya twit, tanpa mention, “kalau menentukan calon juara saja kamu susah, apalagi menentukan calon istri. Problem yang gak keren banget…”
Nody dan Nuran datang membawa plastik putih khas toko serbaguna yang telah menggurita sampai ke desa-desa. Plastik berukuran sedang itu penuh. Isinya macam-macam. Tango. Kacang Garuda. Kripik singkong. Dan astaga, bir Bintang!
Inter kebobolan lagi. Wisnu misuh-misuh lagi. Saya mulai membedah bungkus wafer. Sambil mengunyah, saya coba bertausiyah pada Nody dan Nuran tentang bahaya bir. Tanpa menggunakan dalil agama, saya kutip dalil dari Kedai Kopi, “Kopi tidak akan membuncitkan perutmu. Bir iya.” Tapi Nuran hanya terkekeh-kekeh. Biarlah.
Di sebelah saya, Danu Saputra masih suntuk dengan pekerjaannya, membuat desain kaos untuk perusahaan yang baru dibuatnya, Epinefrina Clothing. Sebagai penggemar band religius yang lagu-lagunya banyak dinyanyikan di TK/TPA, Wali, Danu kelihatan tak tertarik dengan bir.
Saya kira twit @PuthutEA sudah tak berlaku lagi. Gak relevan banget. Saya telah tercerahkan berkat istikharah. Saya pun mengusulkan agar kami membuat daftar juara 1 2 3 versi sendiri-sendiri, dari lima besar yang telah kami genggam, untuk kemudian diadu, didiskusikan lebih mendalam dan memilih tiga besar sebelum menentukan urutannya. Usulan diterima.
Wisnu memfavoritkan F254, F204, F402, F135 dan F110. Nuran F402, F1116, F135, F1112 dan F343. Saya F1112, F402, F216, F135 dan F468. Terlihat kami punya koncian berlainan. Saya menjagokan F112, Nuran F402 dan Wisnu F254. Kesemuanya dengan argumentasi sama kuat. Perdebatan kembali terjadi. Kali ini lebih panas.
Setelah rally diskusi cukup panjang, Wisnu akhirnya setuju juga koncian saya, F1112, masuk tiga besar. Saya bisa menjelaskan dengan terang-benderang keunggulan F112. Barangkali inilah hikmah istikharah. Fakta bahwa dia juga masuk dalam daftar milik Nuran mendukung alasan Wisnu. Favorit pertama Nuran, F402, otomatis masuk tiga besar karena Wisnu dan saya juga memilihnya. Saya menjagokannya di peringkat dua dan Wisnu di tangga ketiga. Tinggal menyeleksi satu naskah lagi.
Sebenarnya gampang saja kami menentukan F135 masuk tiga besar, karena naskah itu ada di semua daftar. Tapi sekali lagi, kurang seru kalau belum debat. Ada pertimbangan juga untuk memasukkan naskah terbaik versi Wisnu. Tapi, setelah dibaca ulang, naskah itu memiliki banyak kelemahan di teknik penulisan. F135 ternyata jauh lebih unggul, sementara gagasan yang ditawarkannya tak kalah dibanding F254. Wisnu akhirnya setuju F135 dibungkus. Fakta bahwa artikel itu ditulis seorang tenaga kesehatan turut memperkuat keputusan kami, agar bersanding dengan dua artikel dari mata pasien.
Kedudukan sementara Napoli-Inter masih 3-2. Wisnu masih memelihara harapan.
***
ENAM JAM SEBELUMNYA. Sesuai dengan kesepakatan kami seminggu yang lalu, masing-masing harus memilih 50 tulisan agar diseleksi menjadi 15 besar.
Prosesnya, sekilas terlihat gampang. Namun, kami para juri yang serius. Kami sulit percaya blogger-blogger senior di luar sana akan melakukan pekerjaan menjuri sesungguh-sungguh yang kami lakukan. Dalam dua hari, kami membaca ke-139 naskah yang lolos persyaratan administrasi Lomba Blog Wajah dan Sistem Kesehatan di Indonesia. Malam ini, kami bahas satu per satu. Luar biasa.
Setelah membuat tiga kolom di papan tulis, setiap kami menulis daftar 50 naskah. Kami tak sempat menghitung berapa naskah yang tercantum, yang pasti 12 naskah yang sekaligus ada di semua kolom. Ke-12nya kami bahas perlahan-lahan agar kami mendapat pemahaman yang lebih utuh.
Mereka adalah F114: (Bukan) Jaminan Persalinan. Kisah tentang morat-maritnya pelayanan Jampersal. Penulis menceritakan pengalamannya mengurus persalinan pertamanya menggunakan kartu Jampersal. Bidan di tempatnya berkonsultasi dan melahirkan ternyata menipunya demi mendapat keuntungan pribadi yang tidak kecil. Wajah bopeng pertama.
F127: Jika Anda Miskin, Sebaiknya Jangan Sakit. Pengalaman seorang kakak mengantar adik iparnya ke Rumah Sakit. Sang Adik yang berprofesi pedagang keliling, dilayani perawat yang tidak profesional dan pihak Rumah Sakit hampir saja memerasnya dengan jumlah uang yang tidak sedikit. Untung Sang Kakak punya pengalaman sebagai perawat sehingga keadaannya bisa diatasi meski dengan dana terbatas. Wajah bopeng kedua.
F134: Pesan Dokter: Jangan Makan yang Tajam-tajam! Narasi tentang Jaminan Kesehatan Aceh, yang jauh dari hingar-bingar ekspos media ibukota. Artikel ini bernada positif mengenai sistem pelayanan kesehatan di Aceh. JKA menjangkau banyak rakyat miskin. Penulisnya merasakan sendiri kemudahan dan manfaat dari program itu. Di akhir tulisan, penulis sangat mengharapkan program JKA berkelanjutan dan berkembang. Oase pertama di tengah padang gersang.
F135: Meraba Denyut Informasi Pelayanan Kesehatan. Penulisnya, seorang tenaga kesehatan, tahu betul kekurangan tempatnya bekerja adalah komunikasi yang buruk dengan pasien, dan penyebaran informasi yang tidak efektif. Padahal komunikasi adalah ujung tombak persentuhan institusi kesehatan dengan masyarakat. Ia bercerita dengan baik pengalamannya menghadapi pasien yang komplain. Meski bukan jalan keluar utama, usulannya membenahi sistem informasi kesehatan yang kacau patut dipertimbangkan.
F204: Rabiah, Suster yang Bermain Dadu. Publik telah mengenal sosok dalam artikel ini dengan sebutan Suster Apung. Dokumenter yang memenangkan lomba di salah satu satasiun televisi swasta mengangkat figurnya. Tulisan ini berkisah ulang dengan cukup baik, dengan menyoroti pula realitas dunia kesehatan Indonesia dewasa ini. Oase kedua.
F216: Pendidikan Kesehatan Usia Dini dan Transisi Budaya Kesehatan (Sebuah Saran Mengurai Persoalan Kesehatan) Mengenai pentingnya edukasi kesehatan sejak sekolah dasar dan masyarakat membiasakan diri mencari second opinion dalam pengobatan medis. Tulisan ini tidak berpretensi untuk menyelesaikan semua persoalan kesehatan, tapi setidaknya mencoba urun saran. Langkah kecil pertama.
F254: Edukasi TORCH untuk Masyarakat Indonesia. Cerita tentang seorang ibu yang mendirikan Rumah Ramah Rubella, untuk mengedukasi publik, khususnya ibu-ibu agar tidak terjangkit virus TORCH saat hamil. TORCH adalah kumpulan virus yang terdiri dari Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes. Mengingat belum banyak yang tahu, langkah kecil kedua ini patut diapresiasi dan disebar-luaskan.
F402: Pengkhianatan Kaum Dokter. Esai ini paling kuat di antara semua tulisan yang masuk. Terlihat dari cara bertutur, pilihan diksi dan pengungkapan masalahnya. Ia menggedor pikiran kita. Namun sayang, identitas sumber ceritanya tak diungkap dengan jelas.
F468: STOVIA, ELAM, dan Paradigma Kedokteran Kita. Mengangkat semangat anak-anak STOVIA di masa lalu, ELAM di Kuba yang pendidikannya gratis dan membandingkannya dengan realitas pendidikan kedokteran Indonesia mutakhir. Kritik pedas.
F1112: Orang Sakit Boleh Miskin tapi Tidak Boleh Bodoh. Artikel ini provokatif sejak dari judul. Gaya bertuturnya sangat apik. Membacanya seperti membaca sebuah cerita pendek dengan karakter-karakter unik dan konflik yang cukup menegangkan. Tapi bukan fiktif. Penulisnya menjlentrehkan pengalamannya diperiksa di dua rumah sakit, swasta dan pemerintah, membandingkannya, dan mengakali petugas rumah sakit kedua agar mendapatkan apa yang menjadi haknya, layanan gratis. Ia menginspirasi agar pasien menjadi cerdas.
F1116: Permainan Resep. Kita tak pernah tahu bagaimana belakang layar tulisan tangan dokter yang mirip ceker ayam itu. Kita selalu percaya dokter punya itikad baik menyembuhkan. Kita susah percaya bahwa ternyata ada permaninan kuasa obat. Artikel yang ditulis oleh seorang asisten apoteker ini mengungkap praktik tak sehat yang pernah disaksikannya. Kongkalikong antara dokter, apoteker dan perusahaan farmasi. Pasien jelas dirugikan. Bopeng ketiga.
F1141: Mereka yang Mengajari Saya. Curahan hati seorang dokter tentang karut-marut sistem kesehatan Indonesia. Dibungkus dengan dialog dengan dua pesohor, pasiennya. Sedikit-banyak artikel ini membicarakan kenyataan buruk pelayanan kesehatan sejauh penglihatan penulisnya.
Setelah diurai, kami akhirnya sepakat 12 naskah di atas langsung lolos 15 besar, lantaran memang unggul di antara ratusan naskah lainnya. Tugas kami selanjutnya adalah memilih tiga sisanya. Bagian yang tak kalah menyebalkan. Kami harus menandai artikel-artikel yang dipilih dua orang tapi tidak oleh satu lainnya. Si orang yang tidak memilih harus mempertanggungjawabkan kenapa. Kira-kira ada dua puluh lebih yang harus diukur demikian. Makan waktu dan menggerogoti energi. Dan kami tetap lakoni. Hasilnya sebagai berikut:
F110. Kisah Hilman dan Potret Kesehatan Indonesia. Ternyata saya terlewat membaca ini. Setelah membaca, saya berkesimpulan bahwa naskah ini kuat sekali. Penulisnya berkisah tentang sebuah keluarga kecil di tempatnya praktik lapangan, secara khusus tentang Hilman yang kekurangan gizi dan tidak tersentuh oleh tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan apapun. Saya tak habisnya mengutuk diri, bisa-bisanya melewatkan artikel sebagus ini..
F343. Dokter-dokter Twitter yang Berdedikasi. Naskah ini pilihan Nuran dan Saya. Temanya menarik, baru, segar dan pantas dirayakan. Artikel positif ini layak dibaca bersama artikel-artikel lain yang kebanyakan bernada negatif. Dokter-dokter di twitter bukan fenomena biasa jejaring sosial. Ia berbeda dengan selebtwit yang ujung-ujungnya menjadi buzzer capres. Mereka memberikan pemahaman baru, second opinion gratis kepada khalayak. Apa yang mereka lakukan sangat menolong buat awam. Begitu Wisnu mengangguk, saya dan Nuran tos!
F1114. Ketika Puskesmas Overload. Potret Puskesmas Majalaya, Bandung, yang setiap harinya menerima pasien membludak. Dalam bahasa penulisnya, “Puskesmas ini seperti lampu bagi laron, magnet besar bagi penduduk.. sakit… dan miskin semua berbondong-bondong. Mau ke rumah sakit jauh, mahal.” Ia menyerukan agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, membenahi dan menambah tenaga, fasilitas dan sarana-prasarana kesehatan.
***
WISNU MASIH URING-URINGAN. Inter menyerah 2-4 dari Napoli. Wasit jadi sasaran utama caci-maki kekesalannya.
"Bagaimana bisa kayak gitu kartu merah? Dasar wasit bayaran!”
“Wasit berbuat zalim kepada Inter!”
“Bagaimana Liga Italia mau menguasai Eropa kalau wasit macam ini dibiarkan memimpin pertandingan? Ha?”
“Gimana sit wasit? Puas lihat Inter kalah?”
Saya membayangkan, di luar sana bakal banyak yang berteriak, macam Wisnu, karena kami menetapkan A juara, memasukkan B ke dalam 15 besar sementara C tidak.
Kami tak ubahnya wasit yang berlarian di lapangan, menghayati pekerjaan kami, mencoba mengambil keputusan seadil mungkin. Wisnu memegang peluit, Nuran dan saya mengusung bendera kecil. Otoritas kami selama pertandingan tentu saja tak bisa diganggu-gugat. Tapi saya ingin bertanya, apakah kami cukup adil?
Ps: Naskah 15 besar ini dibukukan dalam "Mereka Bicara Fakta: Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan Indonesia." Penyuntingnya Wisnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar