3
Oktober 2014, Hari Kretek
Di
atas rerumputan basah, di tepi jalan yang biasa dilalui para petani tembakau
Dusun Lamuk, Mahayu duduk menghadap timur, menanti matahari terbit. Semalaman
ia belum tidur, dan sebelumnya harus mendaki bukit dengan perjuangan panjang
yang melelahkan. Beberapa kali terjatuh karena sandal plastiknya licin.
Barangkali kepalanya terasa berat. Atau justu terasa terlalu ringan seperti kapas yang melayang-layang. Matanya menatap kosong. Di sekeliling, teman-temannya mulai sibuk dengan kamera, ambil foto sana-sini. Beberapa mulai selfie dengan latar bunga-bunga tembakau. Langit mulai memerah, kabut perlahan turun meski matahari belum kunjung nongol batang hidungnya.
Perlahan
Ayu meraba saku jaketnya. Mengambil bungkus rokok kesukaannya, Djarum Black.
Mengambil satu batang dari kotak itu, meletakkan dengan gerakan hati-hati
tangan kanannya di sela-sela bibirnya, sambil tangan kirinya meraba saku jaket
dan celana, mencari-cari korek api. Apa yang dicarinya tidak ia temukan. Ia
menoleh kanan-kiri, lalu bangkit dan bergabung dengan kerumunan yang sedang
bercanda-tawa bercengkerama tentang alam yang indah, tanah yang subur, dan
Temanggung yang makmur karena tembakau.
Ayu
meminjam korek, menyalakan rokok yang sedari tadi diapit di antara dua
jemarinya, menghisapnya dalam-dalam dan mengepulkan asapnya ke depan, ke arah
timur. Matahari mulai timbul malu-malu. Kehangatan mulai menjalari sekujur
tubuhnya.
Mungkin
tak pernah terbayangkan olehnya empat tahun yang lalu, bahwa ia akan menjadi
seorang perokok pasifis. Perokok yang cinta damai. Perokok yang menikmati hidup
dan menghargai hidup yang diberikan oleh rokok.
Empat
tahun yang lalu, Ayu menulis di blognya tentang betapa buruknya seorang
perempuan yang merokok. Masyarakat yang membentuk pandangan itu. Tak lupa, Ayu pun mengingatkan bahaya rokok seperti yang banyak dikampanyekan orang-orang
dunia kesehatan. Bahwa rokok bukan hanya mengandung racun A sampai Z, tapi juga
racun hingga ke langit ke tujuh.
Kini,
Ayu bukan hanya perokok yang bebas (dari kekangan stigma masyarakat), tapi juga
seorang perokok yang tangguh, tahu hak-haknya sebagai perokok yang seringkali
didiskriminasi. Bahkan dari perjalananya selama tiga hari kemarin, Ayu
merasakan denyut hidup yang tinggi dari para petani tembakau, buruh kretek dan
orang-orang yang terlibat di pabrikan rokok. Perlahan ia memiliki kesadaran,
kretek adalah nadi ekonomi negerinya.
Tidak,
Ayu tidak sedang menjilat ludahnya empat tahun lalu. Ia hanya menemukan
kesenangan dan ketenangan yang lebih di sebatang kretek. Ia hanya semakin
memahami kenyataan yang lebih beragam.
Cintanya
kepada kretek semakin dalam.
***
30
September 2014
Mereka
memulai perjalanan dari Warung Mas Kali, Yogyakarta. Sekitar 30-an peserta dan
panitia menyemut di badan bus, menata ransel dan barang bawaan. Mereka akan
berlayar ke Kudus dan Temanggung, destinasi penting untuk mengetahui
seluk-beluk industri kretek. Melihat dari dekat, hulu sampai hilir produksi
kretek yang sehari-hari mereka isap.
Suasana
di dalam bus mirip pertemuan-pertemuan komunitas, sedikit riuh. Beberapa
panitia lalu-lalang, membagikan minuman dan makanan kecil. Seseorang berdiri di
depan, bicara dengan megafon, memberi petunjuk-petunjuk yang diperlukan selama
perjalanan. Sesekali beberapa orang nyeletuk, diikuti celetukan dan gelak-tawa
yang lainnya.
Ayu
duduk sendirian di barisan kursi nomor tiga bagian kiri. Sedianya ia duduk
bersama Agus Mulyadi, seorang selebriti asal Magelang yang sedang naik daun.
Tapi Mulyadi, yang pernah mendaku sebagai pemuja Sukarno sang flamboyan,
ternyata tak punya cukup nyali untuk duduk bersamanya.
Beberapa
lelaki mencoba menggoda Agus. “Gimana, Gus? Kugantikan posisimu?”
Agus
cuma cengengesan di bangku belakang.
Jika
suatu saat Anda berjalan di trotoar kota Anda dan berpapasan dengan orang yang
mengenakan kaos bertuliskan “Merokok gak apa-apa yang penting hafal Pancasila”,
ingatlah, Mulyadi adalah otak di balik kata-kata yang baik dan estetik itu.
Setelah kaosnya laku keras, ia mencoba peruntungan di dunia buku, dengan judul
yang napasnya sama: “Jomblo gak apa-apa yang penting hafal pancasila.” Menerbitkan
buku memang membuat Mulyadi makin terkenal, tapi tidak membuatnya mendapatkan
pacar.
Agus
tidak merokok. Alasannya, topografi wajahnya kurang memungkinkan baginya untuk
menjadi ahli sedot. Dengan gagah berani ia proklamirkan kepada dunia, “Saya
lebih suka disedot, daripada menyedot.”
Meski
bukan tukang kebal-kebul asap tembakau, Mulyadi bukan bagian dari kelompok
orang yang anti-rokok. Secara bersahaja, ia bisa melihat nilai-nilai dalam
sebatang kretek. Nilai ekonomi, nilai budaya, hingga nilai kesehatan jomblo.
Popularitas dan wawasan yang semakin meluas ternyata tidak membuatnya menjadi
jumawa. Ia masih adil dalam melihat dan memahami realitas di sekitarnya.
Mulyadi
pula yang mencetuskan slogan paling luar biasa yang pernah dihasilkan oleh
seorang jomblo. Semboyan yang kemudian menjadi pegangan hidup, sering
diwiridkan di kala sendiri, dan diteriakkan dengan lantang di keramaian oleh
seluruh jomblo di dunia dan akhirat: “Rokok kretek di tangan kiri, kopi hitam
di tangan kanan. Tinggal jodoh yang masih di tangan Tuhan!”
Ada
semangat zaman yang menggelegak di sana.
***
1
Oktober 2014
Ayu
terbangun oleh dering telepon kamarnya. Dengan malas ia mengangkat gagang telepon.
Seseorang di ujung saluran bertanya, “Tika udah bangun, Yu?”
Di
sampingnya, Tika masih tertidur pulas dan mendengkur. Begitu lelap seperti
bayi. Suara dari telepon memintanya segera membangunkan Tika. Sudah pukul 6,30
pagi. Para peserta mesti siap di bus pukul tujuh nanti. Hari ini akan menjadi
hari yang sangat panjang.
“Mbak
Tika.. Mbak Tika.. Banguuun. Udah setengah tujuh.”
Tika
adalah aktivis Komunitas Kretek. Bergabung sejak tahun 2011. Ia telah mengalami
banyak sekali asam-garam perjuangan Komtek; advokasi, aksi demonstrasi melawan
regulasi yang merugikan perokok sebagai konsumen, dan kegiatan-kegiatan lainnya
sebagai budaya-tanding. Cintanya bahkan bersemi di Komtek Yogyakarta.
(Saya
berdoa semoga tidak ada penulis skenario Film Televisi yang membaca tulisan
ini. Saya sangat khawatir, kisah cinta Tika jatuh jadi murahan jika diangkat ke
layar kaca.)
Pukul tujuh, sebagian peserta berbondong-bondong menuju bus.
Beberapa lainnya masih sarapan di lantai tiga Hotel Kenari.
Setelah sebagian besar kumpul, tinggal tiga orang yang belum
kelihatan. Maklum, ketiganya adalah legenda di kota asalnya masing-masing.
Beberapa panitia panik, mondar-mandir memeriksa kamar hotel. Setelah penantian
yang membosankan, satu per satu muncul dengan muka-kasur-mahasiswa-terlambat-masuk-kelas.
Untuk menjaga nama baik mereka, nama tiga selebriti itu tak usah kita sebutkan.
Di dalam bus, telah menunggu seorang pemandu dari Djarum. Ia
mengucapkan selamat datang kepada para peserta, lalu bercerita tentang sejarah
kretek secara umum, bagaimana industri kretek hidup di Kudus, dan secara khusus
memaparkan profil perusahaannya. Dan tak lupa, ia menjelaskan tempat-tempat apa
saja yang akan dikunjungi. Pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT), Pabrik Kretek
Mesin (SKM), Oasis Djarum, PB Djarum, makanan-makanan enak dan diskusi santai
bersama Noe Letto.
Di Pabrik SKT, Ayu disuguhi pemandangan ajaib. Ribuan orang
bekerja dengan kecepatan luar biasa untuk membuat sebatang demi sebatang
kretek. Dengan tangan! Sampai mata sulit mengikuti gerakan tangan mereka yang
cekatan luar biasa, rapi dan berirama. Nyaris mekanis.
Para peserta Wisata Kretek berkeliling, memperhatikan proses
kerja, pembagian tugas para karyawan dan menjajal pembuatan kretek tangan yang
ternyata sangat tidak mudah. Butuh latihan dan keterampilan khusus. Beberapa
orang yang mencoba membuat, gagal, dan gagal lagi. Setelah beberapa kali,
dengan kelambanan yang ampun-ampunan, baru percobaan itu berhasil.
Ayu merasakan ketakjuban yang mengharukan, berada di tengah
ibu-ibu yang berjasa memanjakan lidah para penghisap kretek. Pekerjaan yang
mereka lakoni selama bertahun-tahun, telah menyatu dalam jiwa. Mereka bekerja
dengan sangat baik, untuk kebaikan orang lain yang menikmati karya tangannya.
Sementara di luar sana, ada ribuan raksasa yang ingin merebut
dan memusnahkan apa yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan mereka: kretek. Para raksasa pemangsa yang kejam, tampil dengan
topeng kesehatan, yang seakan-akan ingin menyelamatkan peradaban manusia, namun
sejatinya datang dengan hasrat menghancurkan, untuk kepentingan entah.
Di twitter, Ayu sangat marah ketika seorang sejarawan muda yang
tengah naik daun menghina kunjungannya ke pabrik. Si sejarawan bilang,
melihat-lihat buruh bekerja kok disebut Wisata, kayak meneer Belanda mengunjungi perkebunan saja.
Macam ambtenar, kata seseorang yang lain
menyambar.
Ayu tentu berhak marah. Si sejarawan hanya asal bacot. Asal
menyamakan dan pukul istilah. Ia belum sempat memeriksa untuk dan dengan apa
Ayu datang ke pabrik. Arman Dhani, seorang selebtwit yang paling happening senusantara mengingatkan, sejarawan
muda itu tak perlu ditanggapi. Seringkali ia bercanda, dan kadang-kadang
candanya berlebihan.
***
Perjalanan dilanjutkan ke Oasis Djarum. Kawasan terpadu
perkantoran PT. Djarum. Selain kantor-kantor, di sana juga ada pabrik SKM dan
Pusat Pembibitan Tanaman (PPT).
Di gerbang Oasis, menjulang menara kretek karya perupa terbaik
negeri ini. Begitu pula di beberapa tempat di dalamnya. Di PPT, rombongan masuk
ke green house dan mendapat berbagai informasi
mengenai aneka ragam tanaman yang dikembangkan di kawasan ini.
Saking terpesonanya pada tumbuh-tumbuhan yang ada, Tika sampai
berguling-guling ala Syahrini di lahan pembibitan lavender. “I’m feel
free,” katanya menirukan Syahrini sambil badannya berputar-putar
dengan dua tangan mengembang, sebelum menjatuhkan badannya yang subur di atas
rerumputan. Ajaib sekali.
Setelah dimanjakan panorama PPT yang asri, pasukan bergerak
menuju Rumah Adat Kudus. Di depannya berdiri gapura seperti yang ada di Masjid
Kudus, bangunannya penuh dengan ukiran. Rumah ini hanya disangga satu tiang
yang bernama Soko Jejeg,
yang merupakan lambang dari Tuhan yang Maha Esa.
Setelah puas berfoto dengan barang-barang kuno, minum dari kendi
dan main dakon, rombongan bergeser ke pabrik SKM. Seperti berada di dimensi
berbeda, Ayu memasuki ruangan-ruangan yang dipenuhi mesin canggih, dengan aroma
kretek yang khas.
Jika di SKT Ayu menyaksikan perjuangan ribuan orang dengan
ketrampilan tangan yang luar biasa, di SKM sebagian besar pekerjaan
diselesaikan oleh mesin. Sedikit saja yang membutuhkan sentuhan manusia. Bahkan
untuk kerja-kerja pengangkutan, ada robot pintar yang hilir-mudik berjalan
sesuai dengan perintah mesin.
Setelah beberapa jam menghabiskan waktu di berkeliling SKM, rombongan
pun dijamu makan siang oleh pihak Djarum. Makanan enak luar biasa. Garang asem!
Sehabis ramah-tamah yang kekenyangan, tujuan selanjutnya adalah PB. Djarum yang
legendaris itu.
Sambil mengayunkan raket memukul kok, saya ngeri sendiri membayangkan
Indonesia tanpa PB Djarum. Barangkali tidak akan ada lagi yang bisa kita
banggakan di kancah internasional.
***
Di perkantoran PB Djarum, setelah makan malam, ada
ngobrol-ngobrol ringan bersama Noe Letto.
“Enak ya di sini. Baru masuk aja udah ada asbak,” kata Noe membuka
percakapan.
Ya, meski perkantoran, semua orang boleh merokok di sini. Di
lift, di kamar mandi, ruang rapat, ruang pertemuan hingga ruang direksi.
Semuanya menyediakan asbak ukuran besar yang bentuknya bagus.
Beberapa peserta Wisata Kretek tak bisa menyembunyikan hasrat
mereka untuk memboyong pulang asbak-asbak cantik itu.
“Saya melihat ketidakadilan. Semua tentang antirokok di
Indonesia ini absurd, menurut saya,” sambung Noe.
“Konon katanya, rokok mengandung bahan beracun. Nggak masuk akal
itu. Bahan apa? Untuk ngomong bahan beracun, kamu gak bisa ngomong bahannya aja
dan gak ngomong dosisnya. Nasi goreng itu nggak beracun, tapi kalo kamu makan
satu truk ya beracun. Vitamin C itu ya gak beracun, tapi jajal sekaleng?” ujar
Noe, disambut gelak tawa para peserta.
Ayu juga tertawa sambil mengepulkan asap kreteknya. Dari
samping, Ia terlihat seperti Rara Mendut.
“Obat itu pasti mengandung racun. Tapi karena dosisnya tepat,
dia jadi obat. Alexander the Great itu matinya karena minum obat, tapi dosisnya
berlebihan.”
Ayu mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menghisap
kreteknya.
“Saya tidak pernah mendengar yang namanya penyakit rokok. Tapi
saya sering dengar ada yg namanya penyakit gula. Tapi di mana-mana, gak ada
penjual gula yang ada gambar yang mengerikan. Penyakit gula jelas lho.
Produknya gula, menyebabkan penyakit gula. Jadi, makan gula menyebabkan
penyakitnya. Ini lebih dekat itu jaraknya. Kalo rokok kan gak ada? Gak enak
ini, gak adil.”
Ayu mengangguk-angguk, matanya menatap lurus ke depan.
“Semua yang dikonsumsi, mengandung resiko penyakit. Tapi kenapa
cuma rokok yang dipermasalahkan. Rokok, rokok, rokok. Kalo mau adil, ayo kita
kasih gambar serem semuanya. Semua tukang sate di pinggir jalan kasih gambar
peringatan: Sate Kambing menyebabkan darah tinggi, zina dan perselingkuhan. Ini
lebih dekat dengan bahaya.”
Ayu tergelak tertawa.
***
2
Oktober 2014
Saya
belum tidur selama hampir 56 jam.
Saya bukan perokok tapi selalu tergila-gila dengan bau tembakau. Jadi yah, saya setuju dengan anda
BalasHapus