Saya baru saja tiba di Ciputat tadi pagi. Setelah menghabiskan waktu seminggu di desa saya pikir ada baiknya berbagi kesan tentang pulang, tentang tempat saya berasal dan selalu merasa ingin kembali, tentang merumah.
Tidak ada kemajuan berarti di sana. Desa saya, Ruos, masih seperti dulu bentuknya. Di depan rumah, memang sedang dibangun galeri yang rencananya akan jadi tempat dijualnya souvenir khas Ogan Komering Ulu Selatan. Tapi saya kira itu bukan kemajuan, karena saya sendiri pun tak tahu, apa saja souvenir dan oleh-oleh khas OKU Selatan itu? Siapa saja bakal pengunjung dan pembelinya? Saya masih belum paham manfaatnya, kecuali untuk menghabiskan anggaran dan mengisi kantong beberapa orang.
Terpisah dua rumah di kanan rumah saya, ada kantor Kepala Desa yang sangat jarang dipakai. Seminggu penuh, tak pernah sekalipun saya mendapati aktivitas disana. Di halaman depannya banyak ditumbuhi rumput liar.
Saya khawatir nasib galeri itu nanti akan berujung seperti nasib kebanyakan kantor kepala desa di sini. Semoga kekhawatiran saya pada akhirnya tak terbukti.
Baiklah saya ceritakan sedikit mengenai OKU Selatan. Kabupaten ini kabupaten ingusan, hasil pemekaran dari Ogan Komering Ulu yang beribukota di Baturaja. Diresmikan pada tanggal 14 Januari 2004 di Muara Dua yang menjadi ibukota kabupaten, dua belas kilometer dari desa Ruos. Di lambang resmi kabupaten, ada gambar burung Walet, salah satu potensi besar daerah ini. Tapi yang lebih menentukan keberadaan burung Walet di sana adalah Muhtadin Serai, pengusaha Walet terkenal. Muhtadin berjasa besar, moril maupun materil, dalam usaha memperjuangkan agar OKU Selatan menjadi kabupaten.
Muhtadin kini masih menjabat di periode keduanya sebagai Bupati. Ia pertama kali resmi dilantik pada Selasa, 23 Agustus 2005. Padahal waktu itu statusnya masih tersangka pemalsuan ijazah. Tapi Tadin, begitu ia biasa disapa, berhasil lolos dari lubang jarum. Pernah juga ia tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Pasar Saka-Selabung, kasus yang kemudian tidak jelas juntrungannya.
Saya mencintai kota kecil Muara Dua. Saya punya banyak kenangan masa kecil di sana. Rasanya baru kemarin pagi saya begitu girang setiap berkesempatan pergi ke Pasar Pagi bersama Ajong (nenek). Dulu belum ada Pasar Saka-Selabung. Sebenarnya, seluruh bagian Muara Dua, disebut “pasar” oleh kami orang desa. Memang sepanjang jalan utamanya merupakan pasar, ada pertokoan, bank dan warung-warung makanan. Pasar pagi yang terletak di Pasar Ilir adalah pasar tradisional, dimana orang desa seperti Ajong bisa mengulak hasil kebun; pisang, pepaya, terong atau sayur-mayur.
Saban hendak ke pasar, saya selalu bangun lebih awal, mandi pagi demikian semangatnya dan memilih pakaian terbaik untuk dikenakan. Di meja makan, sambil menyantap hidangan sarapan, saya mulai ribut mau beli ini-itu, dan Ajong hampir pasti selalu mengiyakan dengan tatapan sayang. Walaupun keinginan itu nantinya ada yang tidak terpenuhi, Ajong selalu berhasil mendinginkan saya dengan alasan yang masuk akal. Ajong cuma dapat uang sekian, uang ini harus terlebih dahulu digunakan untuk ini. Kalau mendahulukan keinginan kamu yang itu, bisa begitu. Dan saya tidak pernah bisa merajuk dengan Ajong, karena sebelum pulang biasanya ia menyogok dengan makanan kesukaan; Sate Padang. Makan di tempat, plus bungkus.
Kalau tidak dengan Ajong, saya biasanya ke Pasar dengan Bibi atau Bapak, atau dengan teman. Dengan Bibi biasanya jika akan membeli pakaian baru, untuk sekolah atau lebaran. Dengan Bapak untuk macam-macam keperluan atau sekadar jalan-jalan. Dengan teman, membeli mainan, bahan-bahan layangan seperti kertas dan benang, atau membeli komik Petruk yang saya gemari, di Tangga Batu, Pasar Ulu.
Muara Dua juga selalu saya kenang sebagai tempat yang mengasyikkan untuk bermain. Setiap lebaran datang, kota kecil yang di jantungya mengalir Sungai Selabung ini menjelma surga bermain bagi kami, anak-anak pedesaan dari berbagai penjuru. Di sana, para penjual mainan telah menunggu kami yang sedang berkantong tebal karena THR dari para orang tua.
Mainan favorit anak-anak lelaki adalah pistol-pistolan. Serunya, seperti ada kesepakatan tidak tertulis untuk segera bermain tempur-tempuran, dengan kelompok dari desa lain yang baru dikenal. Bangunan-bangunan di sana segera berubah menjadi benteng-benteng tempat kami bersembunyi, berlindung sekaligus menyerang musuh.
Bosan bertempur, dengan suka-cita kami menceburkan diri ke sungai, berenang, bermain “cari batu,” permainan adu ketangkasan meyelam untuk mendapatkan batu terpilih yang dilempar di tempat yang sebisa mungkin paling dalam, atau sekadar melompat dari ketinggian dengan salto dan permainan-permainan lainnya. Sangat menyenangkan. Lelah bermain air, kami biasanya menyantap “menu wajib” di pasar, Mie Tek-tek, yang bertebaran sepanjang jalan utama.
Pulangnya, kami gagah-gagahan dengan naik atap angkot, agar bisa menembak gerombolan musuh yang kebetulan terlihat bersenjata di jalanan. Perbuatan itu sudah barang tentu membuat kami dimarahi orangtua masing-masing jika ketahuan.
Kebiasaan itu tak pernah kami tinggalkan sampai tamat SD. Kami yang tadinya ikut-ikutan rombongan yang lebih besar, perlahan-lahan juga harus membimbing dan melindungi yang lebih kecil. Makin besar, makin dituntut untuk membeli senjata lebih canggih dan mulai bertanggung jawab atas keselamatan adik-adik. Tradisi itu turun-temurun, entah generasi siapa yang memulai. Sampai sekarang, adik-adik saya di desa masih beli pistol mainan di hari lebaran lalu perang-perangan. Rejeki nomplok laten bagi para penjual mainan.
Pada gilirannya, secara natural anak-anak yang telah menamatkan SD mulai malu beramai-ramai ke pasar, tak lagi mau menghabiskan uang untuk senapan tiruan.
Mulai kelas 5 SD, tiga hari dalam sepekan saya rutin ke pasar. Bukan untuk bermain atau belanja, tapi mengaji di rumah Ustadz Khairul Akmal. Di rumah Wak Kemal, begitu saya memanggilnya, saya belajar tajwid dan qiraah. Sepulang dari ngaji, saya selalu takjub menikmati langit Muara Dua menjelang maghrib.
Di atas gedung-gedung di sepanjang jalan utama itu, beterbangan ribuan burung Gereja dan Walet ketika gelap mulai menyelimuti bumi. Sampai sekarang saya masih terpukau oleh pemandangan itu. Mudik kemarin, sekali saya sempatkan melihatnya sambil mengenang masa kecil yang takkan terulang. Lalu sembahyang maghrib di Masjid Agung.
Gambar burung-burung beterbangan di langit Muara Dua. Sayang, kamera berihitam yang saya pakai untuk mengabadikan kualitasnya rendah. |
Di masjid terbesar di Muara Dua, dulu saya pernah membahagiakan dan membuat bangga banyak orang. Teringat Ajong menangis haru tersedu-sedu sambil memeluk saya. Bibi berkaca-kaca lalu menciumi saya berulang-ulang. Dan Akas (kakek) Amer, guru ngaji sekaligus sepupu kakek saya, sinar matanya begitu merona. Beliau bilang seharian itu beliau tidak makan, bukan lantaran tidak nafsu, tapi karena merasa kenyang melihat saya, anak-didiknya, menjadi juara umum Munaqosyah Tilawatil Quran. Bapak tidak hadir di acara itu, tapi tiba-tiba menjadi sangat baik dengan menawari saya mau dibelikan apa sesampai di rumah.
Nyaris tak ada yang berubah dari Masjid Agung, kecuali dindingnya yang tampak mulai ringkih dan catnya yang terkelupas di banyak titik. Tidak ada kemajuan signifikan dibanding belasan tahun lalu ketika saya menerima penghargaan. Oh ya, tentu saja ada yang baru. Di taman depan masjid kini berdiri tugu dengan patung Walet di puncaknya. Apakah itu tanda kemajuan? Melihat kanan-kirinya, sah untuk bilang bahwa Muara Dua belum juga beranjak berbenah. Sementara kabupaten tetangga, OKU Timur yang sesama kabupaten baru, telah melesat dalam pembangunan fisik dan nonfisik.
Sejak dulu, saya hanya memimpikan adanya perpustakaan besar di Muara Dua. Tapi jangankan perpustakaan, lapak-lapak penjual koran pun telah habis gulung tikar. Dulu sehabis mengaji, saya sering mengunjungi beberapa kios koran untuk membeli majalah Bobo atau tabloid Bola. Kini kios-kios itu telah tiada, ditelan rimba entah.
Dalam lima tahun belakangan, saya hanya menemukan satu tempat yang menjual koran. Itu pun bukan kios koran, melainkan toko emas yang nyambi jual koran. Koleksinya menyedihkan, koran nasional hanya Harian Kompas yang kadang ada kadang tidak. Yang selalu ada dengan kualitas lumayan adalah Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post. Ada pula Harian OKUS yang hanya terdiri dari 8 halaman, sedikit memuat berita kabupaten sisanya berita dari jaringan Jawa Pos. Selebihnya adalah majalah-majalah gosip yang tak perlu saya sebut namanya dan majalah musiman dengan sampul bergambar cewek-cewek Korea.
Entah dengan apa pemerintah OKU Selatan mendefinisikan dan merumuskan kemajuan.
***
Bagian paling menyenangkan dari mudik adalah berbagi cerita, ngobrol-ngobrol dengan keluarga, sanak famili, teman-teman kecil dan kenalan lama. Saya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke banyak rumah di desa. Tapi ada juga yang tidak menyenangkan dari itu, kaset lama tetap diputar berulang-ulang dalam obrolan saya selama di desa, lagu tentang keadaan yang tak kunjung membaik.
Setiap tahun, saya mendapati selipan keluhan tentang betapa pemerintah tak pernah punya niat baik menyejahterakan. Kerja keras di kebun tak akan pernah mengubah keadaan, karena nihil kepedulian dari mereka yang menghabiskan uang pajak. Tak ada langkah-langkah pemberdayaan. Tak ada pembangunan yang terasa manfaatnya. Alih-alih peduli, korupsi justru semakin telanjang dipertontonkan.
Setiap tahun, saya mendapati selipan keluhan tentang betapa pemerintah tak pernah punya niat baik menyejahterakan. Kerja keras di kebun tak akan pernah mengubah keadaan, karena nihil kepedulian dari mereka yang menghabiskan uang pajak. Tak ada langkah-langkah pemberdayaan. Tak ada pembangunan yang terasa manfaatnya. Alih-alih peduli, korupsi justru semakin telanjang dipertontonkan.
Setiap kali pulang, tak urung topik korupsi banyak menyumbat kuping saya. Hampir setiap rumah yang saya kunjungi menyinggung soal Ratu Atut, Wawan dan Akil Muchtar. Lalu merembet ke berbagai proyek ganjil di OKU Selatan.
“Ah, pemerintah ini tidak ada yang beres. Dari SBY sampai Tadin sama saja. Lihat, tak ada yang berubah dari desa kita. Korupsi makin jadi. Pejabat-pejabat makin sibuk memperkaya diri, orang kecil seperti kita ini cuma bisa gigit jari,” kata paman saya, Asnawi Yakub.
Korupsi jelas-jelas adalah musuh bagi kemajuan, musuh utama bagi penyelenggaraan pemerintahan yang sehat dan baik. Mustahil Muara Dua bisa maju, kemiskinan bisa dientaskan dan angka pengangguran dipangkas jika korupsi masih menjadi gaya hidup para pejabat publik. Kenyataannya, korupsi masih saja jadi penghias meja kerja para pengambil keputusan.
“Tengoklah proyek pelebaran jalan dari Muara Dua ke desa ini. Kelihatan benar nafsu korupsinya. Jalan dilebarkan tapi permukaannya tidak rata. Ujung-ujungnya hasil pelebaran itu tidak terpakai, padahal anggaran yang dipakai sangat besar,” tambah paman.
Dua tahun yang lalu, saya pernah ngobrol dengan Kepala Bappeda OKU Selatan, Romzi, , SE., MSi. Saya bertanya bagaimana sebenarnya cetak biru pembangunan kabupaten, kenapa seperti tidak ada kemajuan berarti dan lain sebagainya. Waktu itu, Romzi berkilah soal infrastruktur yang kurang memadai. Dibandingkan dengan OKU Timur, katanya, OKU Selatan jelas dianak-tirikan. OKU Timur sejak zaman Soeharto punya jalan negara, jalan raya besar yang pembangunannya dapat dana kucuran pusat. Sementara jalan raya di OKU Selatan hanya jalan provinsi.
Sekarang, saya pikir ucapan Romzi itu hanya dalih bagi inkompetensi pemerintahan Tadin. Jika memang infrastruktur menjadi fokus pembangunan, harusnya hasil kinerjanya sudah kelihatan. Tadin telah memerintah selama lebih dari delapan tahun. Nyatanya, pembangunan infrastruktur yang memakan anggaran besar dikerjakan asal-asalan. Dan masyarakat OKU Selatan tahu benar soal korupsi di balik berbagai proyek itu.
Pergunjingan mengenai korupsi Proyek A, Proyek B hingga Proyek Z hidup dan bertumbuh di masyarakat Muara Dua. Karena kasus-kasus tersebut memang sangat vulgar. Proyek pembangunan jalan yang setengah hati dengan anggaran raksasa, proyek pembangunan pasar atau fasilitas umum kurang tepat-guna yang lagi-lagi memakan dana besar dan lain-lain. Pergunjingan itu semakin membuat masyarakat sinis terhadap para penentu kebijakan.
Maka tidak terlalu mengejutkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis informasi, terdapat 2.700 kasus korupsi di Sumatera Selatan. Bayangkan, 2700 kasus! Dari skala teri hingga skala kakap. Gejala yang sangat mengkhawatirkan bagi kemajuan Bumi Sriwijaya. Dan saya percaya, dari ribuan kasus itu, ratusan diantaranya terjadi di OKU Selatan.
“PNPM Mandiri itu, misalnya anggaran dari pusat 300 juta, yang riil sampai kesini paling-paling 75 juta. Sisanya jadilah itu rebutan pejabat-pejabat sampai wartawan-wartawan nakal,” kata Bapak saya, yang beberapa kali bersentuhan langsung dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
“Lain dengan jaman Pak Harto dulu. Kalau aggaran buat desa sekian, sampai sini ya sekian. Pejabat-pejabat yang di atas itu waktu Orde baru memang korupsi, tapi korupsinya selesai di atas, bukan nyunat anggaran yang harusnya sampai ke bawah,” imbuhnya berteori.
Bapak saya barangkali naïf. Ia rakyat biasa yang hanya bisa menilai apakah wujud pemeritah itu ada, menyentuh dan memberikan manfaat langsung atau tidak. Baginya, pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan terbaik, karena dampak positifnya bisa ia rasakan, sementara pemerintahan setelahnya tidak. Maka jargon “Penak zamanku, tho?” dengan wajah Harto menyungging senyum sangat mengena bagi orang seperti Bapak.
Mungkin Bapak juga lupa, Tadin berasal dari partai yang sama dengan Harto.
Kalau boleh berandai-andai, betapa berkembangnya Muara Dua jika proyek-proyek pembangunan berjalan sebagaimana mestinya tanpa dikorupsi. Tentu akses-akses ke berbagai daerah pedalaman akan semakin lancar dan kegiatan ekonomi lebih bergairah. Seandainya pembangunan berbagai fasilitas umum benar-benar tepat-guna, dengan perencanaan terukur dan tanpa sepeser pun diselewengkan, permasalahan kesehatan, pendidikan dan lain-lain perlahan-lahan bisa diatasi.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Orang Muara Dua sehari-hari disuguhi kenyataan pahit betapa banyak pejabat sibuk memperkaya diri.
Jika sudah begini, kata-kata Bung Karno terus terngiang di telinga: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
dari dulu sampai sekarang yang berubah hanya dari kecamatan berubah jadi kabupaten OKU Selatan
BalasHapusmuaradua dan seisinya hanya dipenuhi raja raja kecil di lini pemerintahan
raja raja kecil yang paling kejam
jika ingin melihat hasil dari pekerjaan PU lihat lah jalan menuju ke arah ranau apa yang terjadi dahulu masih enak jalan nya masih lumayan mulus namun sekarang seperti di kerjakan setengah hati dan juga lihat aliran listrik di daerah ranau cukup sangat memperihatinkan dan masih banyak lagi masalah di oku selatan terutama di tempat obyek wisata..
BalasHapusjika ingin daerah oku selatan maju dan tak tertinggal dengan daerah lain marilah kita bergandengan tangan untuk menumpas para TIKUS-TIKUS KANTOR yang ada di oku selatan karena penyebab utama dari kemunduran oku selatan yakni banyak nya tikus-tikus kantor yang berkeliaran.!!! aku sudah muak dengan semua tingkahlaku pejabat pemerintahan yang hanya memikirkan perut sendiri tanpa memikirkan perut masyarakatnya..... SUDAH SAAT NYA MASYARAKAT OKU SELATAN BERSATU DAN BERSUARA UNTUK MENYELAMATKAN OKU SELATAN DARI TIKUS-TIKUS KANTOR YANG SEPATUTNYA MEREKA BERADA DI SAMPAH!!!
BalasHapuskampung serdang muaradua oku selatan. kenangan terindah masakecilku :)
BalasHapuswow inget kampung halaman yang indah pingin kembali ke kampung halaman bercanda bersama teman masa kecil
BalasHapus