PUKUL SEPULUH mereka memulai pemblokiran. Truk tangki air pabrik yang mau lewat mereka hadang, dengan memasang lesung besar di tengah jalan dan mendudukinya. Untuk menyingkirkan hadangan, tanpa banyak basa-basi, polisi segera mengangkati ibu-ibu yang duduk di tengah jalan itu, dilempar ke semak-semak. Ibu-ibu menjerit histeris.
![]() |
Poster: Nobodycorp |
Aksi pembubaran dari polisi pun semakin mengganas. Semakin tinggi matahari, semakin kasar perlakuan mereka terhadap ibu-ibu. Dan semakin kehilangan akal sampai-sampai salah tangkap.
“Korlapnya mana? Korlapnya mana?” teriak Kasad Intel mencari korlap aksi, setelah satu jam lebih tak berhasil memukul mundur ibu-ibu.
“Tapi waktu itu saya belum tahu korlap itu apa. Jadi saya diam saja,” kenang Sukinah, “yang mau ditangkap itu sebenanya saya, tapi malah Bu Yani yang ditangkap.”
Yani adalah salah satu dari puluhan ibu-ibu yang merasakan keberingasan polisi. Ia di barisan terdepan saat mengangkat dan menduduki lesung besar melintang jalan. Yani termasuk yang pertama diangkat dan dibuang ke siringan bersemak.
“Ada yang diangkat dua orang, ada yang tiga, ada yang empat, tergantung berat ibu yang diangkat. Saya digotong dua orang, terus dilempar di pinggir jalan,” katanya.
Meski kelihatan mustahil untuk kembali ke barisan, Yani tetap bertekad kuat untuk kembali menguatkan pemblokiran. Polisi yang diturunkan hari itu jauh lebih banyak dari jumlah ibu-ibu. Operasi gabungan dari Polres Rembang, Polsek Gunem, dan Polsek Sale. Sekitar dua kompi.
Tidak melihat jalan lain selain menerobos barikade polisi, ia melihat celah kecil yang masih mungkin dilaluinya: dua kaki polisi yang agak renggang.
Polisi semakin mudah naik darah. Beberapa ibu dipukuli. Berang karena belum juga menemukan korlap yang bertanggungjawab atas aksi blokir, mereka pun asal tangkap. Malang bagi Yani yang aksi penerobosannya mengundang banyak perhatian, ia kemudian dituduh provokator, dianggap korlap.
“Ini provokator ini, harus ditangkap ini!” kata seorang polisi sambil menunjuk Yani.
Habis dibilang provokator, ia diangkat diangkat dua polisi, diseret sampai beberapa meter, sampai sandalnya copot.
“Ada polisi yang teriak, ‘ngikut aja, Mbak, ngikut.’ Tapi saya tetap berontak. Itu posisi udah nggak pake alas kaki, pas diseret-seret itu gak pake alas kaki. Luka sih nggak, cuma sakit.”
Yani meronta-ronta dan berteriak kesakitan. Ia pun digotong lagi, sempat ada polisi yang mencekik lehernya. Sampai di mobil patroli, ia mendapati sejumlah temannya yang sudah ditahan terlebih dahulu.
Masuk waktu salat zuhur, Yani minta izin salat tapi tidak diperbolehkan. “Izin sama Kasad Reskrim, Mbak,” kata polisi yang jaga.
“Orangnya yang mana? Solat saja kok mendadak harus izin to, Pak?”
“Saya ini tugas, Mbak. Nanti diamuk atasan saya.”
***
RUMAH SUKINAH terlihat kusam dan tua. Dindingnya terbuat dari papan tampak menghitam, berdiri di atas fondasi 50 sentimeter, dengan dua anak tangga di muka teras. Setengah ruang depan dilantai semen adukan, tampak pecah-pecah di beberapa titik. Setengah lainnya, tempat satu meja panjang membujur bersama dua bangku, berlantai tanah.
Ketika saya datang pada Jumat malam penghujung Januari, di atas lantai semen itu digelar tikar plastik bergambar Manchester United—klub sepakbola Inggris. Tikar gulung yang sebagian besar sablonannya telah terkelupas. Saya duduk di kursi panjang yang bersandar di dinding kanan rumah. Di seberang saya, salah satu dari dua kamar di rumah itu, gordennya terbuka sehingga terlihat ranjang diselimuti kelambu, kamar tidur. Kamar sebelahnya, kamar paling depan, dimanfaatkan sebagai warung.
Di dinding rumah dipajang beberapa foto: foto Sukinah seluruh badan dan foto seorang tua berjanggut yang saya duga adalah lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani. Juga foto Sukinah dan Pesiden Jokowi bersama beberapa orang lainnya.
"Itu foto waktu saya ketemu Jokowi di kantor Gubernur DKI, sebelum dia dilantik presiden," terangnya.
"Ngomongin apa aja sama Jokowi?"
"Ya ngomongin semen ini."
"Jawaban Jokowi?"
"Katanya sejak dari Solo dia sudah mengikuti isu semen di Jawa Tengah. Waktu itu, dia bilang lagi mempelajari lengkap. Nanti kalau sudah dilantik dia tindaklanjuti."
"Oooh..."
"Semoga ucapannya dia buktikan ya, Mas."
Sukinah menyambut saya dengan hangat. Beberapa bapak datang bertamu ke rumahnya, duduk di atas tikar plastik, menghadap televisi yang sedang menyiarkan film Jackie Chan, Around the world in 80 days. Sukinah bangkit ke dapur, membuatkan kopi tamu-tamunya. Dalam hati saya mengutuk Jackie Chan yang telah melakukan blasfemi terhadap mahakarya Jules Verne. Tapi bapak-bapak yang menonton terlihat senang dan bersemangat. Pelan-pelan saya berusaha memaafkan aktor asal Cina itu.
Film dipotong pariwara, bapak-bapak terlibat obrolan seputar penggalangan dana yang seminggu sebelumnya dilakukan di Yogyakarta. Sesekali terdengar suara Sukinah menimpali dari dapur. Tidak tampak beban mereka yang sedang melawan raksasa sebesar Semen Indonesia. Mereka memang berjuang, sebisa mungkin melindungi lahan pertanian mereka agar jangan sampai dirusak orang luar, selebihnya mereka tetap menjalani hidup dengan riang gembira, tidak kehilangan selera guyon.
Sukinah datang dengan enam gelas kopi, termasuk untuk saya, Jackie Chan kembali beraksi.
Orang-orang Tegaldowo menikmati hidup dengan cara sederhana: minum kopi, menghisap kretek, dan menonton televisi.
***
SEBELUM PERISTIWA 16 Juni 2013, Sukinah tak penah membayangkan akan bertahan di tapak pabrik sebagaimana dia tak menduga aksinya bakal kena gebuk polisi. Keputusan untuk bertahan di tapak pabrik diambil secara spontan, karena tak menyangka aparat begitu represif. Spontan saja Sukinah berikrar tak akan mundur sampai pabrik semen hengkang dari tanah kelahirannnya. Ibu-ibu lain mengamini sumpah Sukinah.
“Tenda-tenda juga dibikin seadanya. Kalau di truk kan banyak terpal, buat tiker, buat duduk, nah itu yang dipakai. Bambu-bambu diambil dari hutan,” katanya.
Sukinah juga tidak menyangka, apa yang dilakukannya bersama ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan akan mendapat simpati yang luar biasa dari banyak pihak. Sukinah bersyukur, solidaritas untuk warga Kendeng mengalir dari berbagai penjuru, dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lain-lain.
Beberapa hari setelah tenda berdiri, Camat Gunem datang ke lokasi. “Aku lupa tanggalnya. Pak Camat dateng katanya mau nengok ibu-ibu. Sehat-sehat apa gimana? Terus Pak Camat ditanyain (mengenai semen), gagap gitu. Pak Camat itu gak bisa jawab,” kata Sukinah.
Dua hari kemudian, Plt Bupati datang. Plt yang sama dengan yang meresmikan kegiatan pabrik semen beberapa hari sebelumnya. Plt bertanya, apa saja tuntutannya? Ibu-ibu meminta Plt tarik alat berat, dijawabnya dengan berkilah bahwa dia tak punya wewenang. Tapi dia mencatat dengan seksama, katanya akan disampaikan ke atasannya.
“Atasan yang mana saya gak tahu. Mungkin nyangkut di pohon ya, Mas,” kata Sukinah.
Mereka mengerubungi dan memegangi Plt Bupati, sampai lepas maghrib. Sempat pula diajak bersama-sama ke tapak pabrik, “Dia mau naik mobil, kami pegangi lagi. Pokoknya harus jalan. Biar merasakan sakitnya pejuangan ibu-ibu. Sakitnya bumi itu gimana.”
Sepanjang perjalanan itu, Plt Bupati cuma mengulang-ulang apa yang telah dikatakannya sebelumnya. “Katanya dia gak wewenang, gitu. Yang wewenang itu Pak Gubernur, gitu. Ini bukan wewenang saya, bukan wewenang saya. Gitu…”
27 Juni, giliran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang datang. Dengan gaya flamboyan, begitu sampai Pranowo langsung membentak: “Mulehlah, oralah!” Lalu dengan berkacak pinggang, Ganjar bertanya, “Apa ibu-ibu sudah baca AMDAL?”
Sukinah memang diam ketika Pranowo bertanya begitu, tapi di hadapan saya, mengingat perilaku gubenurnya, ia tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahan.
“Ganjar tanya ibu-ibu yang mukanya kayak gini kok tanya AMDAL? Yang bodoh itu Ganjar atau ibu-ibu petani? Kalau ibu-ibu ditanya apa sudah mencangkul, apa sudah ambil rumput, mungkin ibu-ibu bisa jawab. Tapi tanyanya Amdal?! Yang bodoh itu Ganjar-nya atau ibu-ibunya?”
Seharusnya Ganjar itu ya mikir, Amdal itu yang bikin ya siapa? Kalau yang bikin petani, ditanyain gitu ya mungkin pantes. Lumrah. Dari kapan ada Amdal itu, kami ndak tahu. Ndak pernah dikasihtahu. Lha aku sendiri ya bingung, Amdal itu seperti apa? Makanan apa? Kalo aku sendiri, Amdal itu ya lahan kami sendiri. Lahan yang harus kami pertahankan.”
Padahal waktu kampanye itu Ganjar bilang, Jawa Tengah mau dibikin ijo royo-royo, Jawa Tengah Berdikari. Kok Jawa Tengah mau ditanami tambang?”
Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Ternyata ngapusi—kalau korupsinya ndak tahu ya, Mas… Ngapusine sing mesti, sing wis ketok, wis keruan.”
Sukinah berhenti sejenak, menarik napas dan melepaskannya tergesa-gesa, meminum air putih.
“Pemilihan gubernur kemarin warga sini kebanyakan pilih Ganjar, Bu? “ tanya saya.
Seharusnya Ganjar itu ya mikir, Amdal itu yang bikin ya siapa? Kalau yang bikin petani, ditanyain gitu ya mungkin pantes. Lumrah. Dari kapan ada Amdal itu, kami ndak tahu. Ndak pernah dikasihtahu. Lha aku sendiri ya bingung, Amdal itu seperti apa? Makanan apa? Kalo aku sendiri, Amdal itu ya lahan kami sendiri. Lahan yang harus kami pertahankan.”
Padahal waktu kampanye itu Ganjar bilang, Jawa Tengah mau dibikin ijo royo-royo, Jawa Tengah Berdikari. Kok Jawa Tengah mau ditanami tambang?”
Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Ternyata ngapusi—kalau korupsinya ndak tahu ya, Mas… Ngapusine sing mesti, sing wis ketok, wis keruan.”
Sukinah berhenti sejenak, menarik napas dan melepaskannya tergesa-gesa, meminum air putih.
“Pemilihan gubernur kemarin warga sini kebanyakan pilih Ganjar, Bu? “ tanya saya.
“Iya, semua pilih Ganjar. Harapannya, mungkin ndak seperti Bibit (Waluyo). Katanya ndak korupsi, ndak ngapusi. Tapi ternyata ngapusi.” []
Ps: Ini adalah cuplikan dari reportase saya yang berjudul "Orang-orang Tegaldowo". Versi lengkapnya bisa dibaca di buku pertama saya, "Merry Christmas, Felix Siauw!".
Ps: Ini adalah cuplikan dari reportase saya yang berjudul "Orang-orang Tegaldowo". Versi lengkapnya bisa dibaca di buku pertama saya, "Merry Christmas, Felix Siauw!".
aku selalu merinding kalo ibu Sukinah cerita.. dlm bbrp kali kesempatan beliau ke Jogja.. baca tulisan ini aku keluar air mata
BalasHapus